Rabu, 10 Desember 2014
Solidaritas Anti Kekerasan : Hentikan Segala Bentuk Kekerasan terhadap Rakyat 10 Desember 2014
“Saya Menyerukan kepada semua Negara untuk menghormati kewajibannya untuk melindungi hak asasi manusia setiap hari sepanjang tahun. Saya mengajak semua orang (di dunia) untuk menuntuk pertanggungjawaban pemerintahnya” – Ban Ki-moon (Sekretaris Jenderal PBB)
Idealnya, Hak asasi manusia merupakan standar umum melihat pencapaian/keberhasilan semua Negara dan bangsa yang kemudian dapat diukur dari pembuktian konkret dari seluruh kerja-kerja strategi dan agenda yang diprioritaskan oleh Negara. Namun, kedua hal diatas; bukti konkret dan strategi, terlihat absen di awal pemerintahan Jokowi-JK. Penegakan hak asasi manusia, perlindungan atas hak-hak warga hingga pada jaminan atas hak-hak dasar kewarganegaraan masih belum tampak untuk dipenuhi.
Secara Internasional, pesan hari Hak Asasi Manusia sedunia pada 10 Desember 2014 adalah “Human Rights 365”. Pesan yang disampaikan oleh Kantor Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia PBB (Office of the High Commissioner for Human Rights) ini menitiberatkan pada penghormatan terhadap hak asasi manusia setiap harinya sepanjang tahun. Disamping itu, menuntut setiap Negara untuk melaksanakan dan bertanggungjawab atas kewajibannya dalam melindungi hak asasi manusia. Bahwa, seluruh warga negara disetiap-saatnya berhak atas berbagai macam hak asasimanusia, dimana pun ia berada. Tentunya, pesan ini senada dengan semangat yang terkandung dalam undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Sampai saat ini, praktik penegakan HAM di Indonesia, terutama di provinsi Sulawesi Selatan, masih belum dikelola secara baik. Masih banyak terdapat diskriminasi dan tindakan pelanggaran HAM yang masif terjadi di berbagai sektor baik menyangkut hak atas sipil-politik, hak atas ekonomi, sosial dan budaya hingga pada keberpihakan negatif aparat keamanan dan hukum. Oleh karena itu, Kami, berbagai elemen masyarakat yang tergabung dalam Solidaritas Anti Kekerasan,ingin memberikan perhatian khusus terhadap sejumlah isu yang menjadi ukuran penting penegakan HAM baik Sulawesi Selatan secara khusus maupun Indonesia pada umumnya, selain isu-isu lainnya, yaitu:
Pertama, minimnya mekanisme sanksi yang diterapkan kepada oknum polisi yang melakukan tindak kekerasan. Sanksi yang dijatuhkan kepada oknum polisi hanya bersifat internal seperti sanksi kode etik. Kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini terdapat pada proses pengamanan aksi unjuk rasa penolakan kenaikan harga BBM dan pengamanan sengketa lahan terutama di Takalar dan Sinjai. Aparat kepolisian dan TNI melakukan tindakan pemukulan dan bentuk kekerasan fisik lainnya terhadap para petani di Takalar saat berusaha menghalangi aksi pengolahan secara paksa atas lahan sengketa oleh PTPN XIV. Adanya kriminalisasi dialami oleh para petani baik di Takalar (Dg. Ngamin, Dg. Mangun dan Dg. Mone; Dg. Ngamin dan Dg. Mangun masih ditahan hingga sekarang) dan di Sinjai (pak Bachtiar masih ditahan). Pada isu penolakan kenaikan harga BBM, aparat kepolisian dengan brutal menggunakan kekuatan berlebihan dan melakukan pembubaran paksa aksi unjuk rasa mahasiswa hingga melakukan penyerangan masuk ke dalam kampus dan melakukan perusakan. Juga tejadi penembakan terhadap mahasiswa, berbagai bentuk kekerasan fisik dialami oleh sejumlah mahasiswa, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang.
Akibatnya, seorang warga sipil meregang nyawa dan sejumlah mahasiswa mengalami skorsing akbat kebijakan negatif dari pihak kampus. Aparat TNI juga terlibat penuh dalam pengamanan aksi unjuk rasa, yang mana bukan menjadi tugas utamanya. Sementara itu, polisi justru lemah dalam menghadapi aksi-aksi kekerasan dalam bentuk penyebaran kebencian atas kelompok-kelompok minoritas dan rentan padahal tindakan tersebut dapat berpotensi pada aksi kekerasan oleh kelompok-kelompok intoleran.
Kedua, ketiadaan perlindungan terhadap kelompok minoritas keagamaan dan kepercayaan serta kelompok LGBTIQ (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Intersexual, and Questioning) serta tindakan pembiaran atas maraknya penyebaran kebencian yang dilakukan oleh kelompok intoleran mengakibatkan hilangnya rasa aman dan keadilan serta ketidaknyamanan melakukan aktivitas harian kerap dialami oleh kelompok minoritas keagamaan-kepercayaan dan LGBTIQ.
Ketiga, kegagalan Negara dalam memberikan perlindungan terhadap pada jurnlis dan aktivis HAM. Setidaknya 7 jurnalis mengalami berbagai bentuk kekerasan fisik serta intimidasi saat melakukan peliputan aksi unjuk rasa penolakan kenaikan harga BBM. Hingga saat ini Negara (kepolisian) belum dapat memberikan rasa keadilan atas terjadi pelecehan profesi jurnalis yang mana telah diatur dalam undang-undang pers. Oknum polisi sebagai pelaku hanya diproses secara internal. Sementara itu, Eva Bande (aktivis HAM) hingga saat ini masih ditahan, sementara pihak kepolisian (Polres Luwuk) mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terkait pelaporan atas Murad Husein pelaku perusakan kawasan hutan untuk perkebunan sawit dan kakao seluas 6.010 Ha.
Keempat, ketiadaan sikap politik Presiden Jokowi dalam penyelesaian kasus pembunuhan berencana Munir. Malah, diawal pemerintahannya ini, Pollycarpus Budihari Prijanto bebas menghirup udara segar diluar sel penjara. Tentunya hal ini mengindikasikan tindakan pengabaian pemerintahan Jokowi-JK atas penuntasan kasus pembunuhan berencana terhadap aktivis HAM, Munir.
Kelima, Lambannya, bahkan terhentinya, proses penuntasan sejumlah kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Pemerintahan Jokow-Jk hingga saat ini belum menunjukkan komitmennya untuk memperioritaskan penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang utamanya terjadi di masa Orde Baru, mulai dari peristiwa kemanusiaan 1965/1966, Penembakan Misterius, Tragedi Talangsari,Tanjung Priok, Peristiwa Malari, pelanggaran di masa DOM Aceh, penculikan dan penghilangan paksa aktivis pro-demokrasi 1997/1998, kerusuhan Mei 1998, Peristiwa Trisakti dan Semanggi dan termasuk pelanggaran HAM yang terjadi atas penerapan operasi militer di Papua.
Catatan tersebut diatas merupakan point-point krusial yang semestinya segera direspon dan diselesaikan oleh pemerintah, baik di Sulawesi Selatan maupun pemerintah pusat. Untuk itu, Kami merekomendasiakan dan mendesak agar;
Pertama, Presiden Jokowi semestinya dapat menggunakan momen peringatan hari HAM sedunia untuk mempublikasikan kerja-kerja strategisnya dalam penuntasan kasus pelanggaran HAM.
Kedua, Para petinggi jajaran sektor keamanan, mulai dari panglima TNI, Kapolri, Kepala BIN, dan lainnya harus melakukan evaluasi atas berbagai tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparatnya, selain itu juga menghentikan segera penggunaan pratik-praktik kekerasan dalam menghadapi warga Negara dengan membuat terobosan baru yang mendorong profesionalisme dan akuntabilitas aparatnya.
Ketiga, Presiden Jokowi harus segera merealisasikan agenda kebenaran dan keadilan. Keluarga korban masih menunggu aktualisasi dari janji-janji terkait penanganan kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Keempat, Presiden Jokowi bersama apartur pemerintahannya segera memberikan jaminan sepenuhnya atas rasa aman terhadap kelompok minoritas keagamaan-kepercayaan dan kelompok rentan. Disamping itu, juga mencabut sejumlah kebijakan/peraturan yang bersifat diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok rentan lainnya.
Kelima, disamping itu, Kami juga mendesak pemerintah untuk segera menurunkan kembali harga BBM, memberikan upah layak kepada buruh, menolak kebijakan BPJS dan menghentikan sistem kerja outsourcing.
Mari Bersama Mengentikan Penerapan Kekerasan dan Menghormati Hak Asasi Manusia!
SOLIDARITAS ANTI KEKERASAN
FRONT PERJUANGAN RAKYAT SULAWESI SELATAN, AMARA, SAMURAI, GERAM, KONTRAS SULAWESI, LBH MAKASSAR, WALHI SULSEL, SP ANGIN MAMIMMIRI, FNBT, SEHATI, SCBM, SJPM, FMPR, SOL
Langganan:
Postingan (Atom)