Senin, 20 April 2015

AGRA Mengecam Penangkapan 18 Aktivis dan Campur Tangan AS dalam Konferensi Asia Afrika 2015

Pernyataan Sikap Aliansi Gerakan Reforma Agraria Atas Penangkapan 17 orang Aktivis Tani dalam Aksi memperingati 60 tahun KAA di Jakarta, 20 April 2015.

Pemerintah Jokowi-JK Anti Rakyat dan Anti Demokrasi !

Galang Solidaritas Rakyat Asia-Afrika melawan dominasi Imperialisme AS dalam KAA !

Laksanakan Reforma Agraria Sejati !

Salam Demokrasi !

Senin 20 April 2015, 40 orang anggota AGRA melakukan aksi peringatan 60 tahun KAA. Aksi yang digelar bertujuan untuk mengembalikan semangat KAA 1955, yang dengan tegas melawan penjajahan asing (Neo Kolonialisme dan Imperialisme) di negara-negara Asia dan Afrika.

AGRA menilai semangat KAA kali ini telah jauh melenceng dari semangat awal. Forum KAA kali ini telah menjadi ajang pengerukan keuntungan atas sumber daya alam di Asia dan Afrika oleh negara-negara maju pimpinan imperialisme Amerika Serikat (AS). 

Untuk mengecam campur tangan AS dalam forum KAA 2015, AGRA menggelar aksi massa yang rencananya dilakukan di depan kedutaan AS. Sayangnya, rencana aksi tersebut mendapat tindakan represif dari pihak kepolisian, berupa penangkapan para anggota AGRA. Penangkapan dilakukan saat perjalanan menuju Kedutaan Besar AS. Anggota AGRA yang ditangkap berjumlah 17 orang dan saat ini sedang menjalani pemeriksaan di Polda Metro Jaya.

Para anggota yang ditangkap antara lain Arif Trimayadi, Wahyu Setiawan, Ridwan Lukman, M. Saipul, Ujang Abdul Jafar, Yopi Hari, Siti Habibah, Unai Sugiarto, Muhammad Ali, Rosita Restiana, Helda Prasetya, Suharto Rahim, Rendy, Juned. Selain itu ada Nur Alim, Azwin, Juyung dan Jaenab.

Penangkapan tersebut semakin membuktikan bahwa Jokowi-JK merupakan rezim fasis dan anti rakyat. Kebijakan pelarangan untuk tidak menggelar aksi massa demonstrasi selama peringatan KAA 60 yang dikeluarkan oleh pemerintah, merupakan bukti pelanggaran terhadap hak berpendapat rakyat yang telah diatur dalam UUD 1945 dan UU nomor 9 tahun 1998.

Untuk itu, Pimpinan Pusat AGRA mengecam keras Penangkapan 18 aktivis AGRA, karena telah menghalangi kebebasan rakyat untuk menyampaikan aspirasi. Kami juga menuntut kepada pemerintah Jokowi-JK untuk :

1.     Segera bebaskan 18 aktivis AGRA
2.     Tolak campur tangan AS dalam KAA dan kembalikan semangat KAA melawan kolonialisme dan imperialisme.
3.     Hentikan semua kerjasama dan perjanjian Internasional (bilateral, regional dan global) dibawah dominasi AS. Termasuk pertemuan 650 CEO Manager Trans National Coorporation and Multi National Coorporation di Shangri-la Hotel.
4.     Mengecam pelarangan menyampaikan pendapat dimuka umum selama pelaksanaan KAA.
5.     Laksanakan land reform dan pembangunan Industri nasional untuk kesejahteraan rakyat.
6.     Ciptakan pembangunan untuk kepentingan rakyat dan bukan untuk keuntungan Investor Asing.
7.     Mendukung perjuangan pembebasan rakyat Palestina dan perjuangan pembebasan rakyat di seluruh negeri

Dalam kesempatan ini, kami menyerukan kepada seluruh kaum tani dan rakyat tertindas di Indonesia, untuk terus menggalang dan meningkatkan persatuan bersama kekuatan rakyat yang lain; melawan dominasi imperialisme AS melalui pemerintahan boneka di dalam negeri.

Hidup Kaum Tani…!
Laksanakan Reforma Agraria Sejati…!
Jayalah Perjuangan Massa…!

Jakarta, 20 April 2015
Aliansi Gerakan Reforma Agraria

Rahmat


Senin, 13 April 2015

Pembangunan Waduk Jatigede terus Menuai Protes

Jakarta, (13/4/2015), Dua ratus orang dari masyarakat Jatigede Sumedang Jawa Barat, mendatangi Istana Negara untuk menuntut pencabutan perpres No. I Tahun 2015, tentang Penanganan dampak sosial pembangunan waduk Jatigede.

Pasalnya Perpres ini mengabaikan hak Masyarakat, Perpres ini hanya mengakui sebanyak empat ribu kepala keluarga saja yang terkena dampak. Kenyataannya, ada sepuluh ribu lima ratus kepala keluarga yang terkena dampak . "Artinya, ada tujuh ribu kepala keluarga yang tidak diakui oleh pemerintah sebagai penduduk yang menjadi korban," ujar Wowon pimpinan AliansiGerakan Reforma Agraria (AGRA) Jawa Barat.

Dia menjelaskan bahwa perpres yang ditandatangani oleh Jokowi ini cenderung dipaksakan, karena tidak menimbang dampak proses pembangunan waduk dan dampak yang dialami oleh warga yang terkena dampak pembangunan waduk. Indikasi pemaksaan juga dapat dilihat dari adanya simulasi pengusiran warga oleh kodam III Siliwangi pada Maret 2015 lalu.

Tidak hanya itu, perjalanan warga ke Jakarta hari ini juga dihambat oleh aparat Kepolisian, ketika memasuki kecamatan Cisitu oleh kepolisian sektor Darmaraja sekitar pukul 22.00. Kepolisian setempat beralasan kalau aksi masyarakat Jatigede ke Jakarta tidak memiliki izin, padahal pemberitahuan rencana aksi ini sudah diurus jauh jauh hari oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. Akibat dari penghadangan pihak kepolisian, sebagian warga gagal ke Jakarta karena tertahan akhirnya kembali pulang.

Waduk Jatigede dibangun diatas tanah seluas 6783 hektare dan total wilayah yang akan digenangi seluas 4000 hektare. Berdasar data yang dihimpun oleh AGRA, pembangunan ini akan menghilangkan sawah produktif seluas 3200 hektare dengan kapasitas produksi sebanyak 76.800 ton per tahun. Selain itu, hutan seluas 1200 hektare terancam hilang dan puluhan ribu warga di 28 desa yang meliputi 5 kecamatan akan terusir dari tempat tinggalnya. Tidak hanya itu, pembangunan waduk juga berdampak pada ruang-ruang pendidikan yang pastinya turut digusur, termasuk 33 kompleks situs budaya yang merupakan warisan sejarah.

Kordinator aksi, Irsam Handoko menyatakan perpres No.1 tahun 2015 tentang penanganan dampak sosial, justru menimbulkan dampak sosial, pasalnya relokasi yang ditawarkan oleh pemerintah pada tahun 2013, hanya menyediakan 610 unit di desa Sakurjaya kecamatan ujung Jaya dan desa Conggeang kulon kecamatan Conggeang, Kabupaten sumedang.

"Relokasi ini sangat tidak layak dan tidak sesuai dengan jumlah warga yang terkena dampak saat ini yang mencapai sepuluh ribu lima ratus kepala keluarga."

Warga Jatigede menuntut relokasi harus dilakukan oleh pemerintah dengan benar. Pemerintah harus memberikan hak seluruh warga yang terkena dampak, yaitu perumahan yang layak dan memastikan sumber sumber ekonomi baru di tempat relokasi berupa tanah pertanian. Tempat relokasi juga harus dibangun sarana pendidikan, kesehatan, fasilitas ibadah dan fasilitas umum lainya.

Menurut kepala desa Cipaku, Karmila, lokasi relokasi yang tidak pasti membuat warganya bingung. "Ada tanah, ada rumah tapi itu bukan untuk warga Jatigede," ujarnya. Selain ketidakpastian itu, Karmila menyatakan selama proses pembangunan waduk, selama lima puluh tiga tahun warga dess Jatigede dan wilayah terkena dampak lainnya, tidak mendapatkan haknya. Pemerintah abai terhadap pembangunan infrastruktur desa, termasuk pembangunan sekolah. Bahkan warga desa Jatigede baru bisa dialiri listrik tahun 2000 lalu, itupun setelah warga mengajukan protes keras.

"Perlakuan pemerintah macam ini secara tidak langsung menganggap kami ini warga ilegal," ujar Karmila.

Dalam orasinya Ridwan Hasanudin, dari Pimpinan pusat Aliansi Gerakan Reforma Agraria Menyampaikan, pembangunan waduk Jatigede sampai saat ini, tidak menunjukan keuntungan bagi rakyat, sebaliknya Waduk Jatigede dibangun hanya untuk kepentingan investor asing. Investasi yang masuk ke Indonesia mendapat sokongan, bahkan disediakan karpet merah oleh Jokowi adalah bentuk penghianatan pemerintahan Jokowi-JK terhadap amanat undang undang.

Seluruh Investasi yang ada saat ini, hanya menguntungkan Imperialisme di Indonesia, mereka berinvestasi untuk mengeruk sumber kekayan alam  Indonesia dan tenaga kerja yang murah.Ridwan menyampaikan pesan kepada kaum tani dan seluruh rakyat untuk terus memperkuaat organisasi, meluaskan organisasinya agar lebih kuat didalam menuntut dan mempertahankan hak atas tanah dan  penghidupan yang layak.