Jumat, 19 September 2014

“PERKUAT ORGANISASI TANI DAN PERSATUAN RAKYAT MENUNTUT PELAKSANAAN LAND-REFORM SEJATI”

  
Brosur Peringatan 54 Tahun Hari Tani Nasional

I.    PENGANTAR

Kaum tani bersama seluruh rakyat Indonesia pada bulan ini menyambut Hari-Tani-Nasional yang ke-54 pada 24 September 2014. Hari Tani Nasional ini diperingati oleh kaum tani sebagai peringatan atas hasil perjuangan panjang kaum tani Indonesia dalam kerangka memperjuangkan Land-reform sejati di Indonesia. Perjuangan politik rakyat Indonesia yang berwatak anti-feodalisme dan imperialisme ini, pada tahun 1960 yang lalu berhasil diwujudkan secara terbatas dalam Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria No-5/1960. Capaian ini merupakan kemajuan sebagai usaha untuk meringankan penghisapan dan penindasan feudal yang dilakukan oleh tuan-tanah dan imperialis di atas pundak kaum tani Indonesia sejak jaman kolonialisme.

Namun capaian politik dalam bentuk Undang-undang Pokok Agraria tersebut hanya berjalan kurang dari 5 tahun. Pada perkembangannya seluruh capaian politik dan hasil-hasil ekonomi telah dirampas kembali dari tangan kaum tani oleh musuh-musuh kaum tani, khususnya sejak tahun 1965 hingga sekarang. Usaha keras dan panjang kaum tani yang telah mengorbankan jiwa dan raga, darah dan air mata, terus dihadang batu karang yang diciptakan oleh pemerintah-pemerintah yang berkuasa sejak jaman pemerintah fasis Soeharto hingga pemerintah SBY sekarang. 

Aspirasi atas Land-reform sejati kaum tani dan seluruh rakyat Indonesia ini, dijawab oleh pemerintah Soeharto dengan program land-reform palsu dalam wujud Revolusi Hijau yang merupakan skema imperialisme AS. Perampasan tanah untuk kepentingan perkebunan kayu, pertambangan, dan infrastruktur dilakukan dengan massif; penghancuran seluruh sarana produksi pertanian yang telah dicapai oleh kaum tani sendiri selama ribuan tahun dari bibit, pupuk, obat-obatan dan teknologi pertanian telah terjadi dan digantikan dengan sarana produksi pertanian yang diproduksi oleh perusahaan asing hingga sekarang. Kaum tani semakin dihisap dan dipaksa bergantung dan hanya menguntungkan perusahaan-perusahaan besar milik imperialis yang sangat jahat tersebut.

Gerakan rakyat anti-fasis Pemerintah Soeharto yang berpuncak pada Gerakan Mei 1998, berhasil mencapai hasil politik dengan menumbangkan rezim fasis Soeharto yang terbukti gagal dan bangkrut. Gerakan perlawanan kaum tani sangat luas di pedesaan, menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan gerakan buruh, mahasiswa, dan kaum miskin di perkotaan. Kaum tani mengambil kembali tanah yang dirampas selama Orde Baru sebagai hasil ekonomi dari perjuangan massa. Sedangkan hasil politik salah satunya adalah TAP-MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Namun benang merah kebijakan dan program land-reform palsu terus berlanjut sejak pemerintah fasis Soeharto, B.J Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati Soekarno Putri hingga 10 tahun pemerintah SBY sekarang. Pada hakekatnya sama, apa yang membedakan hanya bungkusnya yang menipu. Bila pada jaman pemerintah Soeharto program ini bernama Revolusi Hijau, sedangkan pada jaman pemerintah SBY bernama Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK); kemudian berganti nama lagi dengan kampanye Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN). Pada kenyataannya adalah perampasan tanah, bahkan “prestasi besar” 10 tahun pemerintah SBY adalah menjadi rezim perampas tanah terluas nomor 2 setelah Pemerintah fasis Soeharto. Bila SBY bisa berkuasa selama 32 tahun, sangat mungkin dia berhasil “mengukir prestasi” yang menyamai gurunya, Soeharto, dalam hal merampas tanah rakyat.  

Perampasan tanah ini dilakukan oleh perusahaan-perusahaan swasta dan pihak negara sendiri untuk kepentingan kapitalis monopoli asing, tuan-tanah dan borjuasi komprador. Sedangkan nasib kaum tani sendiri terampas dan terusir dari tanah-airnya tanpa perlindungan, semakin miskin dan tertindas sebagai buruh-tani, buruh-kebun, menjadi kuli di negeri sendiri yang subur dan kaya-raya ini. Bahkan tidak sedikit anggota keluarga kaum tani, akibat perampasan tanah, kehancuran ekonomi pedesaan dan tidak dibangunnya industri nasional, maka tidak ada lapangan kerja yang layak untuk hidup bagi rakyat sehingga terpaksa menjadi kuli di negeri orang. Mereka seperti layaknya barang dagangan, menjadi komoditas ekspor buruh murah yang tak ada bedanya dengan perbudakan modern; melakukan migrasi paksa, meninggalkan keluarga yang dicintainya, teraniaya dan tanpa perlindungan.

Sekarang kita berada di penghujung pemerintah SBY dan menyongsong pemerintah baru Jokowi-JK. Kemarahan dan kekecewaan besar kaum tani sangat pantas dialamatkan kepada pemerintah SBY yang telah gagal total menjawab aspirasi kaum tani Indonesia yang mengusung land-reform sejati. Menghadapi situasi sekarang kaum tani Indonesia harus terus mempelajari situasi politik agraria nasional agar mengetahui apa tindakan pemerintah SBY yang terus merugikan kaum tani dan rakyat Indonesia yang harus dilawan. Selain itu, kita juga harus mempelajari dan mendiskusikan rencana kebijakan dan program land-reform pemerintah baru Jokowi-JK agar kaum tani tidak bimbang dan ragu dalam bersikap dan bertindak melanjutkan perjuangan yang militan dibawah pemerintah baru JKW-JK. 

II.    10 tahun dibawah Pemerintah SBY: Apa yang Diperoleh Kaum Tani? 

Menjelang berakhirnya pemerintah SBY pada tanggal 20 Oktober 2014, ada baiknya sejenak menengok apa yang sudah dilakukan oleh pemerintah ini dalam rentang 10 tahun pemerintahannya (2004-2014), terutama di dalam sektor agraria dan pertanian yang merupakan andalan kehidupan mayoritas Rakyat Indonesia, yaitu Kaum Tani Indonesia. Ini adalah saat yang tepat menilai apa yang dijanjikan oleh pemerintah ini dan apa yang dikerjakannya. 

Di dalam masa kampanye, rezim SBY menjanjikan akan menjalankan program pembaruan agraria (land reform), terutama di masa kampanye pada tahun 2004. Tentu saja kampanye untuk menjalankan pembaruan agraria di dalam negeri agraris yang didominasi oleh kaum tani miskin yang merupakan pemilih mayoritas dalam pemilu, akan memastikan kemenangan rezim ini di dalam pemilu. Terbukti kemudian, rezim SBY menang dalam Pemilu 2004 dan tahun 2009. 

Namun setelah meraih kemenangan dalam Pemilu 2004 apalagi kemudian diulangi kemenangan kedua dalam Pemilu 2009, janji untuk menjalankan program pembaruan agraria (land reform) hanya tinggal janji. Hal mana terbukti dengan dikeluarkannya sejumlah kebijakan agraria dan pertanian yang justru bertentangan dengan janji-janji kampanye untuk menjalankan pembaruan agraria. Di sisi lain, pemerintah SBY juga menjalankan program-program liberalisasi pertanian yang pada pokoknya adalah memberikan akses lebih luas bagi produk-produk pertanian dari negeri-negeri maju untuk masuk ke dalam pasar pertanian di Indonesia.  

Beberapa kebijakan agraria dan pertanian pemerintahan SBY yang dapat dicatat, bertolak belakang dari janji kampanye untuk menjalankan program pembaruan agraria adalah Infrastructure Summit (bulan Januari tahun 2005), Program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan atau RPPK (pada tahun 2005, yang dicanangkan di Waduk Jatiluhur, Jawa Barat), Program Pembaruan Agraria Nasional atau PPAN (pada tahun 2006), Program Food Estate (pada tahun 2009), dan yang terakhir adalah Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia atau MP3EI (yang diluncurkan pada tahun 2011, dan akan dijalankan dalam periode tahun 2011 sampai dengan tahun 2025).  

Program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK), 2005
Program abal-abal ini bernama Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan kehutanan (RPPK) yang dicanangkan pada bulan juni 2005 di waduk Jatiluhur Jawa Barat. Program ini dipromosikan untuk peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,6 persen pertahun yang akan dicapai melalui percepatan investasi dan ekspor serta pembenahan sektor riil. Ada 6 fokus revitalisasi pertanian SBY:

  1. Revitalisasi Pemantapan Ketahan Pangan melalui program penyediaan sarana produksi, benih, pupuk, pestisida, dan alat mesin pertanian untuk 16 provinsi. 
  2.  Program Revitalisasi Peningkatan Kesempatan Usaha dan Pertumbuhan di 141 daerah aliran sungai dengan total lahan seluas 500.000 ha di 370 kabupaten atau 30 provinsi. Program pengembangan produksi hasil hutan non-kayu; pengembangan jasa berbasis hutan; peningkatan produktivitas, pendapatan, dan kesejahteraan petani.
  3. Revitalisasi Eksport Produk Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan yang difokuskan untuk jangka pendek melalui program revitalisasi tambak udang nasional.
  4. Revitalisasi Pengembangan Produk Baru yaitu melalui program pengembangan sumber bahan bakar terbarukan sebagai bahan bakar migas dan peningkatan nilai tambah melalui pengembangan alat pengolah rumput laut.
  5. Revitalisasi pertanian bukan kebijakan top-down. Revitalisasi pertanian melibatkan masyarakat
  6. Program jangka pendek selanjutnya adalah Revitalisasi SDM Pertanian. Institut Pertanian Bogor dan beberapa instansi pemerintah pusat maupun daerah memberikan beasiswa kepada 250 orang untuk belajar pertanian di IPB.
Selama 10 tahun pemerintahan SBY berkuasa program RPPK hanya menjadi macan kertas belaka. Kenyataannya program RPPK tidak bisa menyelesaikan persoalan mendasar kaum tani, sebaliknya program RPPK malah membuat kaum tani, nelayan dan suku bangsa minoritas terjerumus semakin dalam ke jurang kemiskinan.


SBY menyatakan bahwa untuk menyokong program RPPK harus dibangun lahan pertanian abadi berupa sawah seluas 15 juta hektar dengan sistem irigasi yang memadai dan menciptakan lahan pertanian kering 15 juta hektar. Dengan demikian SBY akan menyediakan lahan pertanian total seluas 30 juta hektar untuk menjalankan program RPPK tersebut. Faktanya justru lahan pertanian yang terus menciut, bahkan kepemilikan lahan pertanian di Jawa sekarang rata-rata hanya 0,3 hektare. Sawah-sawah ciptaan SBY bahkan hanya sekedar lahan gambut tidak produktif.

Pembukaan lapangan kerja baru yang dijanjikan melalui program RPPK dan diharapkan bisa mengentaskan kemiskinan rakyat yang mayoritas tinggal di pedesaan telah gagal SBY; penyakit busung lapar dan gizi buruk banyak menghiasai media massa selama 10 tahun SBY berkuasa. Pedesaan tetap saja menjadi pemasok buruh murah untuk industri di perkotaan, serta tenaga buruh murah untuk perkebunan besar dan pemasok TKI keluar negeri dengan tanpa perlindungan.
Kedaulatan pangan yang digembor-gemborkan gugur dengan sendirinya setelah pemerintah pada kenyataannya mengandalkan impor pangan untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri. Undang-undang No. 18/2012 tentang pangan hanya menjadi pencitraan pemerintah SBY tanpa ada karya nyata. Produksi Gabah Kering Giling (GKG) yang dipatok 76,57 juta ton pada tahun 2014 untuk mencapai surplus 10 juta ton beras hanya dalam kertas, kenyatannya beras dan produk pertanian terus impor.
Pencabutan subsidi pertanian menjadi salah satu faktor semakin miskinnya penduduk di pedesaan, pendapatan petani dari hasil produksi semakin menurun drastis karena biaya untuk sarana produksi pertanian seperti pupuk, benih, obat-obatan harganya semakin tidak terjangkau oleh kaum tani, sementara harga jual produk pertanian semakin menurun karena pasar dibanjiri oleh produk impor dari Tiongkok, Thailand, Banglades, Australia dan AS.  

Pada bulan Oktober 2011 ribuan petani kentang demo karena harga kentang lokal turun hingga 30 persen, hal serupa juga terjadi pada petani bawang merah. Ribuan petani bawang merah pada bulan Januari 2012 turun ke jalan melakukan protes atas maraknya bawang impor di pasaran yang membuat harga bawang lokal anjlok. 

Pada akhirnya, program landreform palsu RPPK pemerintah SBY gagal total dan tanpa ada pertanggung-jawaban kepada rakyat. Tidak heran jika sektor pertanian dari tahun ke tahun terus mengalami kemerosotan dan krisis ekonomi keluarga tani semakin dalam.

Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN), 2006
PPAN merupakan program SBY yang disebutkan sebagai upaya peningkatan kepemilikan tanah dengan mendistribusikan lahan sebanyak 8,15 juta hektar bagi kaum tani. Faktanya selama program dicanangkan hingga di penghujung kekuasaannya bisa dikatakan tidak sepenuhnya berjalan. Satu-satunya klaim pemerintahan SBY menjalankan landreform adalah membagikan tanah di Cilacap seluas 291 ha untuk 5.141 keluarga. Masing-masing memperoleh lahan seluas 5000 meter persegi. Pembagian lahan di Cilacap hanyalah pencitraan pemerintahan SBY agar dinilai oleh rakyat mendukung landreform. 

Dengan membagikan tanah 0,5 ha terhadap keluarga petani namun tidak mengubah sama sekali rata-rata kepemilikan tanah di Jawa yang sebesar 0,3 ha yang merupakan petani miskin dan tidak mengubah struktur ketimpangan penguasaan atas tanah di Indonesia. Bahkan kabarnya, tanah yang dibagikan oleh SBY di Cilacap tersebut sekarang sudah kembali jatuh ke pihak swasta. 

Saat ini 70 % atau 136,94 juta ha wilayah Republik Indonesia adalah kawasan hutan Negara yang diperuntukan bukan kepada kaum tani atau rakyat Indonesia tetapi dimonopoli oleh para tuan tanah (asing, swasta dalam negeri dan negara secara langsung). Kemudian dari 136,94 juta ha untuk HTI (hutan Tanaman Industri) yang mencapai 9,39 juta ha dikuasai oleh 262 perusahaan. Luas hutan yang terkena Hak Pemanfaatan Hutan (HPH) mencapai 21,49 juta ha yang dikuasai oleh 303 perusahaan HPH. 

Program RPPK maupun PPAN yang diluncurkan oleh SBY sama sekali tidak menolong petani dari berbagai bentuk perampasan tanah. Sampai hari ini konflik agraria masih menjadi salah satu konflik paling masif di Indonesia. Hal ini sekaligus memperlihatkan kegagalan SBY dalam menjalankan programnya tersebut. 

Program Food Estate (2009)
Program lahan pertanian skala luas (food estate) menjadi babak lanjutan dari awal pemerintahan periode kedua SBY yang secara langsung berlawanan dengan semangat landreform dan perwujudan kedaulatan pangan. Food estate juga menjadi bukti nyata dukungan SBY terhadap skema liberalisasi sektor pangan dengan mengundang seluas-luasnya investasi di sektor pangan. Hal tersebut juga akan mendorong bagaimana mobilisasi tanah dalam skala besar untuk kemudian diberikan ke investor yang akan membuka bisnis tanaman pangan di Indonesia. Dalam keadaan seperti itu, tidak mungkin kaum tani akan mampu bersaing dengan perusahaan-perusahan raksasa untuk memproduksi tanaman pangan, baik dari segi jumlah maupun kualitas.
Perwujudan nyata dari program Food estate adalah proyek Marauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Papua maupun program Giant Rice di Kalimantan Timur. Dalam pelaksanaan program MIFEE yang dilaksanakan di Papua di sepuluh kluster, hakekatnya adalah upaya mengerikan penggusuran dan perampasan bagi kehidupan sosial rakyat di Marauke. Hutan-hutan adat yang selama ini menjadi tempat bergantung hidup pada alam, membangun komunitas sosial dan tempat berkembangnya kehidupan dirampas oleh puluhan perusahaan besar yang datang bersama pemerintah Indonesia dalam wujud militer dan polisi. Perusahaan raksasa seperti Medco, LG Internasional, Daewoo Internasional, Rajawali group, Wilmar, Astra dan lain sebagianya saling berebut untuk mengambil bagian tanah-tanah adat yang  kemudian diubah menjadi perkebunan-perkebunan raksasa seperti untuk kedelai, jagung, beras hingga kelapa sawit. Tahun 2011 MIFEE dijalankan dan merampas 100 ribu hektar tanah.  

MIFEE berdiri di atas konsesi lahan seluas 2,5 juta hektar yang disebutkan sebagai lahan tidur. Pada kenyataannya lahan tersebut merupakan tanah-tanah adat dan tanah-tanah yang menjadi sandaran hidup bagi penduduk asli. MIFEE juga mengakibatkan perkebunan monoculture dan menghilangkan fungsi hutan adat sebagai tempat bergantung hidup, menjalankan ekonomi kolektif yang tangguh. 

Dampak lebih luas dari proyek Food Estate yang tidak pernah diungkapkan adalah semakin mahalnya harga pangan akibat monopoli harga yang ditentukan oleh perusahaan-perusahaan raksasa. Kenaikan harga beras, jagung, kedelai hingga cabe sekali lagi bukan akibat ulah spekulan, akan tetapi secara kongkrit akibat liberalisasi sektor pangan yang dijalankan oleh pemerintah yang memberi kebebasan bagi monopoli sektor pangan. 

Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), 2011-2025
Program MP3EI, diawali oleh pemerintah SBY-JK pada masa awal pemerintahan 5 tahun pertama dengan menyelenggarakan Indonesia Infrastructure Summit (17-18 Januari 2005). Pembangunan infrastruktur besar-besaran menjadi kebijakan utama Pemerintah SBY-JK sebagai usaha untuk mempercepat kembalinya modal asing ke Indonesia pasca krisis 1997/1998. Investor luar negeri diundang untuk berinvestasi di berbagai sektor infrastruktur seperti jalan tol, pelabuhan, bandara, pembangkit listrik, air bersih, dsb-nya. Menyambut aspirasi investor asing (imperialis) dan nasional tersebut, maka diterbitkanlah payung hukum pelindungnya dengan terbitnya Perpres No. 36 dan puncaknya UU No. 2/2012 tentang Pengadaan Tanah. 

MP3EI menjadi program besar SBY pada periode ke-dua pemerintahannya. Konsepnya adalah pembangunan koridor-koridor potensial ekonomi dan konsep keterhubungan (koneksivitas) antar koridor dengan jalan pengembangan infrastruktur baik jalan tol, bandara, jalur kereta api hingga lapangan terbang. Nilai investasi MP3EI mencapai Rp 4.662,7 Triliun dan mencakup 1.667 proyek. 

Ada enam (6) koridor yang ditetapkan yaitu Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara dan Papua-Kepulauan Maluku. Penetapan koridor-koridor ekonomi dalam MP3EI jelas merupakan zonasi bagi etalase dagangan untuk menarik investasi sebesar-besarnya atas tanah, air, udara dan kandungannya bagi modal. Dimana untuk sektor tambang dan energi (termasuk perkebunan) sebagai andalan utama, sektor ini terutama terdapat di koridor Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Sedangkan Jawa yang selama ini menjadi pusat pangan justru diarahkan untuk menjadi sentra industri dan jasa. Koridor Sulawesi dan Papua diproyeksikan akan dialihkan menggantikan basis pangan dengan didukung oleh koridor Bali-Nusa Tenggara.

Dalam tiga tahun pertama saja MP3EI sudah menarik modal hingga Rp 854 Triliun dengan nilai terbesar untuk proyek infrastruktur, meskipun demikian target sesungguhnya adalah Rp 2000 triliun hingga akhir 2014 dengan syarat pembebasan tanah (perampasan tanah) dapat berjalan dengan lancar.

MP3EI menjadi program utama SBY untuk mendukung investasi asing, perpaduan perampasan tanah untuk infrastruktur dengan perampasan tanah untuk sektor lain seperti pertambangan, perkebunan dan kawasan industri semakin besar dilakukan dengan payung MP3EI. Tentu saja tidak ada ruang bagi rakyat termasuk kaum tani untuk hidup dalam payung program MP3EI.

AGRA mencatat sepanjang pemerintahan SBY, telah memenjarakan (kriminalisasi) 1.180 kaum tani, menganiaya 556 kaum tani dan membunuh 65 petani. Dalam catatan KPA jumlah konflik hingga 2014 mencapai 1.379 konflik agraria yang menyangkut konflik perkebunan, pertambangan, infrastruktur, dan kelautan. Luasan konflik tanah mencapai 5.686.322, 15 hektare, dengan melibatkan lebih dari 922.781 kepala keluarga. Tentu di lapangan keadaannya jauh lebih parah dari sekedar yang sanggup didata. 

Luasnya konflik agraria tersebut berjalan seiring dengan laporan positif atas keberhasilan program-program pembangunan ekonomi dalam menarik investasi dan modal ke dalam negeri yang selalu menjadi kebanggan pemerintahan SBY. Sebuah ironi dianggap prestasi dengan kesuksesan pelaksanaan pembangunanisme melalui MP3EI seperti yang disebutkan pada pidato kenegaraan terakhir SBY pada tanggal 15 Agustus 2014.  SBY bangga menyebutkan besaran jumlah modal yang diinvestasikan dan jumlah proyek yang dijalankan; namun SBY menutup mata dampak penderitaan rakyat yang terjadi atas model pembangunan yang dibangga-banggakannya. Apa yang diberikan pemerintah SBY selama 10 tahun periode pemerintahannya kepada rakyat adalah perampasan tanah, kehancuran pangan nasional dan kemiskinan rakyat di pedesaan yang semakin dalam. Apakah pemerintahan baru Jokowi-JK akan terus mempertahankan model pembangunan semacam ini? 

III.    Mewaspadai Program Land-reform Pemerintah Baru Jokowi-JK: Apakah Land-reform Palsu Kelanjutan Pemerintah SBY atau Land-reform Sejati Aspirasi Rakyat Indonesia?

Program Land-reform yang tertuang dalam visi-misi Jokowi-JK  selama masa kampanye, di satu sisi perlu mendapat apresiasi dan menjadi harapan kaum tani dan rakyat Indonesia; namun di sisi lain program tersebut akan menjadi bumerang jika nasibnya sama dengan program Land-reform palsu pemerintah SBY. Kekecewaan dan kemarahan kaum tani dan rakyat Indonesia akan sulit dihindari jika pemerintahan Jokowi-JK ke depan tidak menyelesaikan ribuan kasus perampasan tanah yang menderitakan kaum tani dan hanya memberi Land-reform palsu seperti pemerintah-pemerintah sebelumnya. Dalam sektor agraria Jokowi-JK menuangkan programnya dalam Visi-Misi sebagai berikut:
“Kami akan membangaun kedaulatan pangan berbasis pada Agribisnis kerakyatan melalui; (1) penyusunan kebijakan pengendalian atas import pangan melalui pemberantasan terhadap ‘mafia’ impor yang sekedar mencari keuntungan pribadi/kelompok tertentu dengan mengorbankan kepentingan pangan nasional. Pengembangan ekspor pertanian berbasis pengolahan pertanian dalam negeri, (2) penanggulangan kemiskinan pertanian dan dukungan re-generasi petani melalui; a) pencanangan 1.000 desa berdaulat benih hingga tahun 2019, b) peningkatan kemampuan petani, organisasitani dan pola hubungan dengan pemerintah, terutama pelibatan aktif perempuan petani/pekerja sebagai tulang punggung kedaulatan pangan; c) pembangunan irigasi, bendungan, sarana jalan dan transportasi, serta pasar dan kelembagaan Pasar secara merata. (rehabilitasi jaringan irigasi yang rusak terhadap 3 juta ha pertanian dan 25 bendungan hingga tahun 2019, d) peningkatan pembangunan dan atraktivitas ekonomi pedesaan yang ditandai dengan peningkatan investasi dalam negeri sebesar 15 persen tahun dan rerata umur petani dan rakyat Indonesia yang bekerja di pedesan semakin muda. (3) komitmen kami untuk implementasi reforma agraria melalui; a) Akses dan aset reform pendistribusian aset terhadap petani melalui distribusi hak atas tanah petani melalui Land reform dan program kepemilikan lahan bagi dan buruh tani; menyerahkan lahan sebesar 9 juta ha, b) meningkatkan akses petani gurem terhadap kepemilikan lahan pertanian dari rata-rata 0,3 hektar menjadi 2,0 hektar per KK tani, dan pembukaan 1 juta ha lahan pertanian kering di luar Jawa dan Bali. (4) pembangunan Agri-Bisnis kerakyatan melalui pambangunan Bank khusus untuk pertanian, UMKM dan koperasi.”

Program di sektor agraria Jokowi-JK belum memiliki perbedaan yang mendasar dengan program pemerintahan SBY sehingga layak untuk diwaspadai oleh kaum tani dan Rakyat Indonesia. Program Land reform Jokowi-JK akan membagikan tanah 9 juta hektar kepada petani gurem, persis dengan Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN) pemerintahan SBY, yang menjanjikan membagikan tanah seluas 8,15 juta hektar, namun hingga penghujung pemerintahan-nya tidak dapat dijalankan. Apa yang membedakan antara PPAN pemerintah SBY dan program Jokowi-JK hanya di masalah luas tanah, namun dimana obyek tanah dan siapa penerima tanah tersebut masih menjadi pertanyaan besar. 

Program lainnya adalah meningkatkan akses petani gurem terhadap kepemilikan lahan pertanian dari rata-rata 0,3 hektar menjadi 2,0 hektar per KK tani. Bila kita melakukan kajian atas program ini berarti pemerintah Jokowi-JK nantinya akan membagikan tanah sekurangnya 1,7 hektar kepada petani gurem yang menurut data BPS 2013 berjumlah kurang-lebih 14,25 juta orang. Bila demikian kenyataannya, maka pemerintah Jokowi-JK setidaknya akan membagikan tanah 1,7 X 14, 25 juta orang =  24, 225 juta hektar di seluruh Indonesia. Apakah Jokowi-JK benar-benar sadar atas program ini? Benarkah luas lahan yang tidak sedikit ini, seluas 24,225 juta hektar, bisa diwujudkan oleh pemerintah Jokowi-Jk? 

Memahami keadaan agraria sekarang ini dan belajar pada pengalaman kebijakan pertanian yang telah dilakukan pemerintah sejak pemerintah Soeharto hingga SBY sekarang; mereka memberikan prioritas pada sektor perkebunan besar (kelapa sawit, karet, meranti, sengon, dsb) berorientasi ekspor dengan skema inti-plasma yang menjadikan kaum tani sebagai buruh murah di atas tanahnya sendiri karena sepenuhnya dibawah kontrol perusahaan perkebunan besar.

Sedangkan program pembukaan lahan pertanian kering diluar Jawa dan Bali seluas 1 juta hektar, apakah benar disediakan tanpa merampas tanah rakyat? Sebagaimana halnya pembangunan infrastruktur jalan baru sepanjang 2000 kilometer, membangun 10 pelabuhan baru, 10 bandar udara baru, 10 kawasan industri baru, membangun 5000 pasar baru;  apakah semua ini tidak merampas tanah rakyat? Apa yang membedakan pembangunan infrastruktur ini dengan pembangunan Jalan Raya Pos (Anyer-Panarukan) sepanjang 1000 kilometer oleh Pemerintah Gubernur Jenderal Herman Wilem Deandeles di pada tahun 1808-1809, yang meninggalkan luka yang mendalam bagi  rakyat?  Apa yang membedakan proyek besar infrastruktur pemerintah Jokowi-JK ini dengan program MP3EI pemerintah SBY yang dijalankan dengan skema PPP (Private-Public Partnership) yang merampas tanah rakyat, bergantung pada modal swasta-asing dan menjadikan wilayah Indonesia dikapling-kapling oleh kepentingan asing. 

Dalam program kedaulatan pangan, rencana Jokowi-JK masih menyandarkan penyelesaian krisis pangan kepada pengusaha Importir dan belum merancang kedaulatan pangan yang sesungguhnya. Pemenuhan kebutuhan pangan rakyat tetap disandarkan atas impor pangan dengan melakukan perbaikan kebijakan impor pangan melalui pemberantasan "Mafia". Hal ini tidak akan membebaskan petani dari serbuan produk pertanian impor (gula, gandum, kedelai, beras dan buah-buahan) yang sangat merugikan produk pertanian nasional; sebaliknya Jokowi-JK akan menggenjot eksport produk pertanian dan menjadikannya sebagai barang dagangan (komoditas). Bila demikian halnya, kapan kedaulatan pangan bisa dicapai? 

Apakah Jokowi-JK akan membangun pertanian massal dalam bentuk perkebunan skala besar (food-estates) seperti MIFEE yang dijalankan oleh pemerintahan SBY di tanah Papua dan telah ditolak oleh rakyat? 

Meskipun Jokowi-JK belum memerintah, namun kaum tani Indonesia tidak boleh diam menunggu apa program nyata Land-reform Jokowi-JK setelah dilantik sebagai Presiden-Wakil Presiden pada bulan Oktober nanti. Kaum tani Indonesia harus terus memperkuat organisasi tani sebagai alat perjuangan massa, memperkuat persatuan rakyat dan tanpa henti mengkampanyekan tuntutan politik “Laksanakan Land-reform Sejati” sebagai kepentingan khusus kaum tani dan aspirasi umum rakyat Indonesia.
IV.    Kesimpulan-kesimpulan Pokok
  1. Pemerintah SBY selama 10 tahun berkuasa telah mengalami kegagalan total dalam meningkatkan kesejahteraan hidup kaum tani dan rakyat Indonesia. Kegagalan yang utama disebabkan karena pemerintah SBY lebih mengutamakan kepentingan kapitalis monopoli asing dan klas-klas penyokongnya didalam negeri (borjuasi komprador dan tuan tanah) melalui berbagai kebijakan neo-liberal yang dijalankannya. 10 tahun Pemerintah SBY telah berlaku sepenuhnya sebagai kelanjutan pemerintah pelayan imperialis sebelumnya, sejak Pemerintah Fasis Soeharto hingga pemerintah SBY, sehingga merugikan kepentingan umum rakyat Indonesia.
  2. Bukti nyata kegagalan 10 tahun pemerintah SBY adalah maraknya perampasan tanah rakyat yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar milik tuan-tanah besar, borjuasi komprador dan imperialis untuk pembukaan perkebunan skala besar, taman nasional, pertambangan dan pembangunan infrastruktur. Perampasan tanah ini telah menjadi “ibu kandung” masalah penderitaan kaum tani yang melahirkan kehancuran kedaulatan pangan nasional karena terampasnya alat produksi pertanian kaum tani. Situasi ini diperburuk dengan semakin mahalnya harga benih, pupuk, obat-obatan, tingginya bunga utang, dan rendahnya harga hasil pertanian. Liberalisasi pertanian yang dilakukan oleh pemerintah SBY juga telah menciptakan ketergantungan impor atas pangan yang semakin tinggi, menyempurnakan penderitaan kaum tani dan menciptakan ironi atas negeri agraris yang subur dan kaya-raya ini.
  3. 10 tahun pemerintahan SBY juga gagal total dalam menjalankan program Land-reform karena Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) pemerintah SBY adalah program Land-reform palsu dalam skema imperialis yang bukan aspirasi kaum tani dan rakyat Indonesia. Pemerintah SBY juga tidak mampu membentuk suatu badan pemerintahan dalam menjalankan program land-reform yang menjadi aspirasi umum kaum tani dan rakyat Indonesia ini. Akibatnya, tidak ada satu pun kasus perampasan tanah yang melahirkan sengketa agraria yang sangat luas terjadi di hampir semua pulau dan melahirkan banyak korban jiwa yang berhasil diselesaikannya. Pemerintah SBY telah menciptakan nasib kaum tani terampas dan terusir diatas tanah-airnya sendiri, sehingga kaum tani semakin miskin dan tertindas.
  4. Jokowi-JK sebagai pasangan terpilih pemilu presiden 2014 harus mengambil pelajaran berharga atas kegagalan total program land-reform palsu (PPAN) pemerintah SBY. Program land-reform Jokowi-JK yang tertuang dalam Visi-Misi pada masa kampanye, belum menunjukkan perbedaan mendasar, bahkan memiliki kesamaan dengan PPAN (Program Pembaruan Agraria Nasional) pemerintah SBY yang telah terbukti gagal total, seperti kebijakan membagi tanah 8,15 juta hektar. Satu sisi kita patut memuji keinginan pemerintah JKW-JK menjalankan program Land-reform dengan membagi tanah seluas 9 juta hektar, meningkatkan akses kepemilikan tanah petani gurem dari 0,3 ha menjadi 2 ha per KK tani sebagaimana amanat UUPA, dan pembukaan 1 juta hektar pertanian lahan kering diluar Jawa-Bali. Namun program ini akan sia-sia bila tidak diiringi tekad yang kuat untuk menghentikan atau mengurangi perampasan tanah yang massif selama periode Pemerintah SBY dan masih berjalan hingga sekarang; maupun menyelesaikan kasus perampasan tanah (sengketa agraria) yang telah menimbulkan korban jiwa, kekerasan dan penderitaan bagi  kaum tani sebagai mayoritas rakyat Indonesia.
  5. Kaum tani dan rakyat Indonesia juga akan sangat kecewa dan marah bila pemerintah JKW-JK tidak membentuk suatu badan dalam pemerintahannya yang baru, suatu kementerian agraria sebagai bukti konkret kehendak politik untuk mengatur kekacauan masalah pertanahan; seperti mencabut berbagai regulasi yang menjadi dasar perampasan tanah, mengontrol kewenangan berbagai kementerian-departemen dan pemerintah daerah yang selama ini memberi andil besar maraknya perampasan tanah, menyelesaikan sengketa agraria dan menjalankan program Landreform sejati secara konsekwen.

V.    Tuntutan Kaum Tani Indonesia 

  1. Laksanakan Program Land-reform:
  •  Hentikan perampasan tanah bagi perkebunan besar, taman nasional, pertambangan dan infrastruktur.
  • Bagikan tanah untuk buruh tani dan tani miskin.
  • Naikkan upah buruh-tani.
  • Turunkan harga-harga sarana produksi pertanian: bibit, pupuk, dan obat-obatan.Turunkan riba hutang bagi modal usaha tani.
  • Bangun dan perbaiki irigasi yang rusak.
  • Bangun Industri Nasional untuk menyediakan teknologi pertanian.
  • Naikkan harga hasil produk pertanian.
  • Batalkan seluruh perjanjian liberalisasi sektor pertanian yang telah terbukti merugikan kaum tani Indonesia.
2. Bentuk Kementerian Agraria yang berwenang mengatur masalah pertanahan, menyelesaikan      sengketa agraria dan menjalankan program Landreform sejati.

3. Bentuk Komisi DPR bidang Pertanahan dan sumber kekayaan alam yang mengontrol pelaksanaan program Landreform.

4.  Tolak pencabutan subsidi energi dan kenaikan Tarif Dasar Listrik, Gas-Elpiji dan BBM.


LAND-REFORM, TANAH UNTUK RAKYAT!!

TAK ADA DEMOKRASI TANPA LAND-REFORM!!
 


















Senin, 15 September 2014

PERHUTANI SEBAGAI TUAN TANAH BARU TIPE IV


Monopoli Tanah yang luas, praktek penghisapan semi-feodal melalui sewa tanah yang mencekik serta tindasan FASIS adalah praktek Perhutani sebagai Tuan Tanah Besar.



Tulisan ini merupakan uraian tentang Perhutani sebagai Tuan Tanah tipe IV. Basis analisanya adalah praktek dan sejarah lahirnya Perhutani di Indonesia. Untuk menguraikan bahwa perhutani adalah tuan tanah, pertama kali yang terpenting kita pahami adalah apa itu tuan tanah, bagaimana praktek tuan tanah dan bagaimana perkembangan tuan tanah di Indonesia dewasa ini.

Dengan mendasarkan atas pemahaman tersebut diharapkan kita akan dapat menyimpulkan dengan terang siapa Perhutani dan bagaimana sikap kita sebagai kaum tani dan rakyat Indonesia terhadap keberadaan Perhutani.


Tuan tanah adalah satu kelas atau golongan masyarakat di dalam masyarakat Indonesia yang bersama-sama dengan kelas PENGHISAP DAN penindas lainnya, borjuasi besar komperador dan kapitalis birokrat. Ciri khas semi-feodalisme adalah tuan tanah melakukan monopoli tanah DALAM skala besar dan melakukan monopoli alat kerja pertanian, termasuk monopoli input dan output pertanian, serta monopoli perdagangan hasil produksi pertanian. Mereka tidak ambil bagian dalam produksi, mereka hidup dan tergantung atas monopoli tanah dan monopoli alat kerja, mereka merampas hasil produski pertanian yang merupakan hasil kerja kaum tani.

Dalam sejarah perkembangan masyarakat di Indonesia tuan tanah sebagai satu kelas yang berkuasa dalam sistem semi-feodalisme dewasa ini, tidak pernah dihancurkan sampai ke akarnya sehingga masih eksis hingga saat ini. Sistem semi-feodalisme yang memiliki ciri khas corak produksi monopoli tanah secara luas tetap dipertahankan, sebagai basis sosial bagi Imperialisme untuk mendominasi Indonesia. Hanya saja, di zaman Imperialisme saat ini, tuan tanah yang ada, telah berkembang ke dalam bentuknya yang baru, tidak seperti dalam bentuknya yang lama pada masa feodalisme klasik sebelum lahirnya Imperialisme.
Di zaman Imperialisme saat ini, berdasarkan, hubungan produksi (kepemilikan, partisipasi kerja, distribusi hasil maupun tujuan produksinya—feodal atau setengah feodal) dan hubungannya dengan Imperialisme, tuan tanah yang ada di Indonesia dapat dibedakan ke dalam 4 type tuan tanah, yaitu :


Pertama Tuan Tanah Klasik, yaitu tuan tanah yang melakukan monopoli tanah di pedesaan dimana tanahnya tidak terintegrasi, kecil dan terpisah-pisah. Tuan tanah ini menerapkan sistem produksi feodal lama dengan alat kerja yang sangat sederhana, tradisional dan terbelakang, tujuan utama produksinya untuk mencukupi kebutuhan pangan sendiri dan bukan untuk pasar (tanaman komoditi untuk diperdagangkan). Mereka tidak ikut serta dalam kerja, dan sepenuHnya bergantung hidup dari monopoli tanah, dengan cara merampas surplus produksi (produk lebih) yang diperoleh dari praktek sewa tanah, termasuk menekan upah buruh tani hingga ke titik yang paling rendah. 


Kedua Tuan Tanah Tipe Baru-2, yaitu tuan tanah tipe baru yang secara umum memiliki ciri-ciri dasar yang sama seperti tuan tanah pada umumnya, akan tetapi ia juga menjalankan berbagai bentuk penghisapan lainnya, termasuk bentuk-bentuk penghisapan yang tidak ada kaitannya secara langsung dengan produksi, seperti perdagangan. Di samping mempraktekkan berbagai bentuk sewa tanah, dia juga mempraktekkan berbagai macam peribaaan, baik riba uang maupun monopoli perdagangan atas sarana produksi pertanian dan hasil pertanian (input dan output pertanian). Tuan tanah tipe ini sepenuhnya memproduksi tanaman-tanaman komoditi untuk diperdagangkan. Akan tetapi, karena dia tidak berhubungan langsung dengan Imperialis maka ia juga menjadi kaki tangan dari tuan tanah besar komprador.


Tuan Tanah Tipe Baru-3, yaitu tuan tanah yang berhubungan langsung dengan Imperialis. Ciri-cirinya adalah menjalankan praktek monopoli tanah yang sangat luas dan alat produksi pertanian lainnya. Dengan membangun perkebunan skala besar dan kehutanan, mereka memproduksi tanaman-tanaman komoditi seperti sawit, karet, kakao, kayu dll, yang sepenuhnya untuk diperdangkan melalui ekspor dan terintegrasi (terhubung langsung) dengan industri Imperialis. khususnya dalam penyediaan bahan mentah maupun bahan setengah jadi pertanian yang murah bagi industri milik Imperialisme. 


Contoh-contoh dari tuan tanah tipe baru-3 ini diantaranya adalah Keluarga William Suryawijaya yang memiliki Astra Agro Lestari, PT. Sinar Mas, Riau Andalas Pulp and Papper, Keluarga Salim pemilik Indofood Agri Resources (INDOAGRI), Prayogo Pangestu pemilik Barito Pasific dan beberapa perkebunan skala besar, Keluarga HM Sampoerna pemilik Sampoerna Agro, Hutan Tanaman Industri, Keluarga Gudang Garam pemilik Matahari Kahuripan Indonesia (Perkebunan Kelapa Sawit), Keluarga Djarum dan Hutan Tanaman Industri, Keluarga Bentoel, keluarga DL Sitorus yang memiliki PT. Wilmar Group dengan perkebunan kelapa sawit, Keluarga HM Yusuf Kalla, Hasyim Joyohadikussumo, Arifin Panigoro, dan Keluarga Moerdaya, Keluarga Abu Rizal Bakrie yang memiliki Bakrie Plantation, dll.


Tuan Tanah Tipe Baru-4, yaitu Negara sebagai tuan tanah besar kaki tangan Imperialis. Negara RI adalah negara milik tuan tanah dan borjuasi komprador. Negara RI secara langsung memperoleh produk lebih (hasil lebih pertanian, perkebunan dan kehutanan) dalam hubungan produksi semi-feodal dengan cara memungut sewa tanah dalam bentuk pajak dan berbagai iuran lainnya, upah buruh murah dalam perkebunan milik pemerintah. Juga memberlakukan riba secara langsung melalui kredit mikro di pedesaan, dan memaksa sewa tanah serta malakukan perampasan tanah dengan kekuatan bersenjata. 


Negara RI sebagai tuan tanah besar pada kenyataannya karena mewarisi kekuasaan monopoli tanah oleh Negara kolonialis Belanda sejak perang feodal kolonial, sistem tanam paksa dan secara resmi berlakunya Agrarische Wet 1870. Prinsip monopoli tanah secara fundamental yang dilegalkan oleh kolonial tidak pernah berubah DAN telah melahirkan berbagai bentuk penghisapan dan penindasan feodal di Indonesia hingga saat ini.
Contoh-contoh tuan tanah tipe baru-4 ini diantaranya adalah Taman Nasional, Taman Hutan Raya, Cagar Alam, Suaka Margasatwa, perhutani, inhutani, Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara (PTPN I-XIV).





PERHUTANI Adalah Perusahan Negara 
Penghisap Dan Penindas Warisan Belanda


Keberadaan Perhutani tidak bisa dilepaskan dari sejarah pengelolaan hutan di Jawa dan Madura. Tanah-tanah yang dikuasai secara monopoli oleh Perhutani seluruhnya berasal dari tanah milik rakyat. 

Sejarah penguasaan tanah terjadi sejak masyarakat Indonesia memasuki masyarakat berklas, kepemilikan budak berlanjut di era feodalisme dan semakin menguat pada masa kolonialisme Belanda hingga pemerintahan SBY saat ini. 



Pada masa kolonialisme Belanda keluar Staatsblad Domein Agrarische Van 1870, Staatsblad No 118. Kemudian jawatan kehutanan dibentuk pada tahun 1897 melalui “Reglement voor het beheer der bosschen van den Lande op Java en Madoera”, Staatsblad 1897 nomor 61 (disingkat “Bosreglement”) selain itu terbit pula “Reglement voor den dienst van het Boschwezen op Java en Madoera” disingkat “Dienst Reglement” yang menetapkan aturan tentang organisasi Jawatan Kehutanan, dimana pembentukan Jawatan Kehutanan dengan Gouvernement Besluit (Keputusan Pemerintah) tanggal 9 Februari 1897 nomor 21, termuat dalam Bijblad 5164. Dan hingga saat ini dasar penguasaan tanah oleh perhutani menggunakan PP NO 72 Tahun 2010 tentang perusahaan umum (PERUM) kehutanan Negara.

Pulau Jawa memiliki luas 13.404.500 hektar, dari luas tersebut total kawasan hutannya mencapai 3.315.445,914 hektar dan yang masuk dalam penguasaan dan monopoli oleh Perhutani seluas 2.426.206 hektar atau sekitar 19% dari luas daratan di Jawa, yang terdiri dari Hutan Produksi (HP) seluas 1.750.860 Ha dan hutan lindung seluas 691.241. Tidak termasuk hutan suaka dan hutan wisata.

Sepanjang sejarah penguasaan tanah secara monopoli oleh jawatan kehutanan, mulai dari masa kolonialisme Belanda hingga menjadi Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perhutani) saat ini, sepenuhnya terlantar dan terbelakang. Dari data yang dilaporkan oleh direksi perhutani, dalam kurun waktu 2002-2006 perhutani hanya memberikan kontribusi finansial kepada negara sebesar 500,21  milyar pada tahun 2002, sebesar 508,78 milyar di tahun 2003, untuk tahun 2004 312,54 milyar, pada tahun 2005 sebesar 273,08 milyar, dan pada tahun 2006 sebesar 515,43 milyar. Jika diambil rata-rata dalam kurun 5 tahun tersebut, perhutani hanya sanggup memberikan kontribusi sebesar 422,008 milyar.

Berbeda sekali jika tanah di tangan kaum tani jauh lebih produktif, satu contoh satu hektar tanah yang dikelola oleh petani Kabupaten Wonosobo dapat menghasilkan 25 juta setiap tahun, dan jika luasan tanah yang dimonopoli oleh perhutani seluas 2.426.206 hektar, maka dalam satu tahun dapat menghasilkan 60.611.050.000.000 (enam puluh triliun enam ratus sebelas milyar lima puluh juta rupiah) atau lebih dari seratus kali lipat penghasilan perhutani. ini Satu bukti dari penelantaran tanah oleh Perhutani.

Selain monopoli tanah, Perhutani juga melakukan monopoli perdagangan kayu, mereka menetapkan harga dasar kayu hasil hutan yang menekan penghasilan kaum tani, seperti Harga kayu jati, sengon, mahoni, jabon dll. System sertifikasi kayu melalui mekanisme Chain Of Custody (CoC) hanyalah selubung bagi perhutani untuk menguatkan control dan monopoli perdagangan kayu, untuk memenuhi kebutuhan pasar Internasional dan merupakan kontrol Imperialis atas ketersediaan bahan baku kayu dan hasil hutan lainnya untuk kebutuhan Industrinya.

PHBM
 “INSTRUMEN PENGHISAPAN PERHUTANI 
TERHADAP KAUM TANI”

Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHMB) adalah sistem pengelolaan sumberdaya hutan dengan pola kolaborasi yang bersinergi antara Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan atau para pihak yang berkepentingan dalam upaya mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan yang optimal dan peningkatan IPM yang bersifat fleksibel, partisipatif dan akomodatif. Begitulah perhutani menjelaskan apa yang dimaksud dengan PHMB. 

Kenyatannya PHBM merupakan instrumen yang dibuat oleh perhutani untuk memaksa rakyat mengelola hutan yang sesungguhnya untuk menjawab ketersediaan tenaga kerja yang murah, bahka tanpa harus membayarnya, melalui praktek sewa tanah dengan berbagai bentuknya dan menjalankan praktek peribaan serta perampasan hak demokratis bagi kaum tani.

PHBM digunakan oleh perhutani sebagai kedok membungkus praktek penghisapan dan penindasan, melalui PHBM seolah-olah perhutani memiliki tujuan dan kepentingan untuk meningkatkan ekonomi Rakyat sekitar hutan, tetapi mereka lupa bahwa kemiskinan rakyat yang hidup di sekitar hutan Jawa yang tidak dapat dipisahkan dari sejarah panjang perampasan tanah sejak Kolonial belanda hingga hari ini menjadi Perhutani, karena telah mengusir kaum tani dari tanahnya.

PHBM merupakan sistem komprehensif untuk mengikat kaum tani dalam sebuah sitem penghisapan semi-feodal melalui sewa tanah yang mencekik, melalui PHBM petani didorong untuk masuk dalam keanggotaan LMDH (lembaga Masyarakat Desa Hutan) yang secara kongkret merampas kemerdekaan kaum tani dalam berorganisasi karena harus masuk dalam LMDH.

PHBM mengatur bagi hasil yang tidak adil, umumnya penerapan bagi hasil adalah 25:75, dalam PHBM juga mengatur dan menentukan jenis tanaman apa yang harus ditanam hingga menetapkan jarak tanam sesuai kehendak Perhutani, dengan demikian kaum tani tidak memiliki kemerdekaan untuk menetukan jenis tanaman sesuai dengan kebutuhannya, penetapan jenis tanaman oleh Perhutani sesungguhnya diorentasikan untuk memenuhi kebutuhan industri milik Imperialis atas bahan baku kayu dan hasil hutan lainnya, seperti karet, getah pinus dll.

Lebih jauh penerapan PHBM memaksa kaum tani harus membayar sewa tanah yang tinggi dengan bentuk-bentuk yang berbeda-beda dalam setiap daerah, sebagian daerah menerapkan pembayaran sewa tanah di muka ketika akan membuka lahan, ada juga yang menerapkan bagi hasil atas tanaman tumpang sari petani, ada pula yang menerpakan kedua-duanya. Pendek kata, kaum tani harus bekerja menanam dan merawat tanaman milik perhutani tanpa dibayar, masih harus membayar sewa tanah untuk tanaman tumpang sari dan hasil panen petani masih dipungut hingga 10% untuk perhutani, inilah derajat penghisapan yang berlipat oleh Perhutani terhadap kaum tani, dan disinilah penyebab kemiskinan rakyat yang hidup di sekitar hutan di Pulau Jawa.

Selain sebagai sekema penghisapan melalui sewa tanah dengan berbagai bentuknya, PHBM juga membuka ruang yang luas untuk praktek peribaan terhadap kaum tani, melalui LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan) perhutani mendorong adanya pihak ketiga untuk permodalan dalam pengelolaan kerjasama melalui PHBM, dengan demikian, kaum tani akan diikat dalam hutang dan peribaan, dengan dalih meningkatkan permodalan kaum tani yang tergabung dalam LMDH.

Selain bentuk-bentuk penghisapan semi-feodal sebagaimana diatas, perhutani menerapkan upah buruh yang sangat rendah, buruh tani yang bekerja secara lepas untuk menderes getah karet dan pinus umumnya mendapat bagian 1:5 dari hasil kerjanya, perhutani juga menerapkan harga atas getah yang sangat rendah.


Dari data perhutani selain mempekerjakan buruh tani, mereka mempekerjaan setidaknya 26.437 karyawan Perhutani yang biasa dikenal dengan sebutan brigadir hijau. Setidaknya terdapat 12 ribu diantaranya bekerja dengan sistem  kontrak jangka pendek dangan massa kerja lebih diatas lima tahun, yang tentu bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan. Mereka juga menerapkan upah di bawah setandar ketetapan pengupahan (UMR). Sebagaimana penjelasan dari “sekar” serikat karyawan perhutani yang melakukan demontrasi di BUMN pada tahun 2013 yang lalu. Selain itu dana pensiun perhutani juga sangat rendah mulai 50 ribu hingga sembilan ratus lima puliuh ribu perbulan untuk pensiunan dengan jabatan terkahir menejer.



TINDASAN FASISME PERHUTANI : 
TEROR, INTIMIDASI, KRIMINALISASI DAN 
PEMBUNUHAN TERHADAP KAUM TANI.


Perhutani sebagai tuan tanah tidak hanya sekedar menguasai secara ekonomi, tetapi perhutani sebagai tuan tanah juga sangat berkuasa secara politik, berbagai kebijakan sanggup mereka keluarkan dan diterapkan untuk memastikan dominasinya atas monopoli tanah dan melanggengkan sistem penghisapan terhadap kaum tani, mereka juga membangun kekuatan pemaksanya.

LMDH adalah salah satu upaya untuk mengikat kaum tani agar terorganisasi dalam wadah yang dapat dengan mudah untuk dikontrol oleh perhutani, mereka tidak membiarkan kaum tani bebas berorganisasi, sebab perhutani menyadari jika ada keebebasan bagi kaum tani maka akan mengancam kepentingan perhutani, tidak hanya itu perhutani juga membangun kekuatan militer secara mandiri, diluar kepolisian dan TNI. Sampai pertengahan 2009 tercatat polisi kehutanan (polhut) sebanyak 7.519 orang, 3.025 orang diantaranya adalah PNS Pusat sedangkan 4.494 berstatus sebagai PNS (Provinsi/Kabupaten/kota), jumlah ini akan ditingkatkan dengan target 62.000 personil.

Dari personil polhut yang sudah ada 1000 diantaranya telah dilakukan peningkatan kemampuan dan kapasitasnya untuk menjadi personil satuan polisi kehutanan reaksi cepat (SPORC) yang tersebar di 11 provinsi dengan penamaan masing -masing diantaranya Brigade Kanguru di Provinsi Papua, Brigade Kasuari di Provinsi Papua Barat, Brigade Anoa di Provinsi Sulawesi Selatan, Brigade Enggang di Provinsi Kalimantan Timur, Brigade Kalaweit di Provinsi Kalimantan Tengah, Brigade Bekantan di Provinsi Kalimantan Barat, Brigade Siamang di Provinsi Sumatera Selatan, Brigade Harimau di Provinsi Jambi, Brigade Beruang di Provinsi Riau, Brigade Macan Tutul di Provinsi Sumatera Utara dan Brigade Elang di DKI Jakarta.

Meskipun Brigade SPORC tersebut berada pada 11 provinsi, namun fungsional tugasnya dapat dilakukan secara lintas provinsi sesuai dengan eskalasi kebutuhan pengamanan hutan dan hasil hutan. Disamping pembentukan satuan khusus, satuan pengamanan hutan Polhut ”reguler” senantiasa tetap ditingkatkan kemampuannya melalui pembinaan serta pendidikan dan pelatihan (diklat), baik diklat untuk aspek kepolisian maupun diklat teknis dan administrasi kehutanan yang relevan dengan tugas dan fungsinya.

Perhutani juga membangun milisi yang direkrut dari masyarakat sekitar hutan, seperti pembentukan pam swakarsa, LMDH, Jaga Wana dan lain sebagainya, tujuan dari pembentukan milisi ini selain untuk memperkuat keamanan juga ditujukan sebagai alat pemecah belah Rakyat dan bangkitnya perjuangan anti feodal dan reforma Agraria sejati.

Melalui alat kekerasannya, Polhut, Polisi, TNI dan milisi yang dibentuk, mereka melakukan tindasan fasis dengan cara teror, Intimidasi, kriminalisasi hingga pembunuhan terhadap kaum tani, setidaknya dalam kurun 1998-2014 setidaknya 74 ditembak, dan 34 orang meninggal (Sumber data, Arupa). Ini belum termasuk kriminalisasi yang kerap dialami oleh kaum tani, karena tidak mau diusir dari tanah ataupun dengan tuduhan pencurian dan lain sebagainya.


PENGHISAPAN DAN PENINDASAN KEJAM PERHUTANI 

TELAH MENGOBARKAN PERLAWANAN KAUM TANI SEPANJANG MASA.


Sepanjang sejarah monopoli tanah di Jawa yang dilakukan oleh Perhutani, sejak penguasaan oleh kolonial Belanda hingga dalam penguasaan pemerintah SBY-BOEDIONO melalui Perhutani, telah mengobarkan perlawanan kaum tani yang tidak pernah padam. Berbagai bentuk perlawanan di lakukan setiap hari oleh kaum tani, mulai dengan perlawanan indifidu dan tertutup hingga perlawanan kolektif yang terbuka, mulai dengan cara-cara lunak hingga perlawanan kaum tani melalui jalan kekerasan untuk tetap mempertahankan tanah.

Sejak penguasaan tanah Jawa oleh Kolonial, perlawanan sudah berkobar setidaknya tercatat dalam sejarah perlawanan orang Samin, orang-orang Kalang dan banyak lagi perlawanan yang tidak tercatat. Perlawanan secara individual juga terus terjadi mulai dari meninggalkan pekerjaan, menanam tanaman perhutani hanya di sepanjang jalan yang dilewati oleh petugas dan lain sebagainya merupakan bentuk perlawanan yang tertutup oleh kaum tani.

Dalam sejarah Pembangunan AGRA sebagai organisasi nasional, pada tahun 2004 telah melakukan perlawanan secara terorganisir, dengan melakukan aksi besar di kota Wonosobo untuk menuntut pembubaran Perhutani pada tahun 2004, hingga saat ini perlawanan di tingkat desa terus saja berkobar.

Dari pemaparan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa:

Pertama; Perhutani sebagai perusahaan milik Negara yang diberikan kewenangan untuk mengelola hutan di Jawa dan Madura telah melakukan monopoli tanah 19% dari luas daratan Pula Jawa, merupakan negara sebagai tuan tanah tipe baru IV.

Kedua; Atas Monopolinya terhadap tanah di Pula Jawa, Perhutani melakukan penghisapan sistem Semi-feodal dengan cara menerapkan sewa tanah yang mencekik dengan berbagai bentuknya, PHBM adalahh instrimen legal didalam melakukan penghisapan, dan telah memperdalam kemiskinan kaum tani di pulau Jawa.

Ketiga; Melalui kekuatan militer yang dimikinya, Polhut, Polisi, TNI dan milisi yang dibangun perhutani melakukan tindasan fasis yang kejam terhadap kaum tani, mulai dengan melakukan pelarangan berorganisasi, melakukan teror, intimidasi, kriminalisasi hingga pembunuhan.

Ke-empat; Atas penghisapan dan penindasan panjang oleh perhutani terhadap kaum tani, telah melahirkan perlawanan yang tidak pernah padam, dengan berbagai bentuk, baik secara sendiri maupun secara kolektif, baik terbuka, maupun tertutup, baik dengan cara yang lunak hingga mengambil cara kekerasan, tetapi hingga saat ini sangat kecil kau tani yang berlawan dengan perhutani telah terorganisir dengan baik dalam kerangka perjuangan anti feodal dan anti Imperialis.

Ke-Lima; Dengan segala prakteknya maka perhutani merupakan tuan tanah yang paling reaksi dan jahat bagi Rakyat terutama yang hidup di Pula Jawa, karenanya AGRA sebagai organisasi tani Nasional yang memiliki watak anti feodal dan anti Imperialis memiliki pandangan untuk terus memperkuat dan memperluas pengorganisasianya terhadap petani yang hidup dan tergantung terhadap hutan, dan melancarkan tuntutan reform mulai dari penurunan sewa tanah, hingga memperjuangkan dikembalikannya tanah kepada kaum tani.#


Kamis, 11 September 2014

Seribu Petani Pengalengan akan Datangi Jakarta Untuk Peringati Hari Tani Nasional


Berita kaum Tani : Bandung 11 September 2014
Seribu petani sayuran dari pengalengan Kabupaten Bandung, akan datang ke Jakarta dan akan membawa keluarganya, hal ini disampaikan oleh Sutarman Ketua Anak Cabang Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) seusai memimpin rapat akbar persiapan peringatan Hari Tani Nasional yang digelar di lahan pertanianya.

Pasalnya selain masalah perampasan tanah, petani Jawa Barat seperti kami di Kec. Pengalengan ini makin tercekik oleh mahalnya biaya produksi pertanian, harga bibit sekarang Naik, harga pupuk naik, begitu juga dengan harga obat,  contoh harga bibit sawi putih sebelumnya Rp. 35.000/psc menjadi Rp.40.000/pcs, Begitu juga dengan harga bibit kentang sebelumnya Rp. 8.000,- naik menjadi Rp. 13.000,-, kenaikan harga bibit ini hampir terjadi disemua jenis tanaman sayuran yang rata-rata kenaikanya antara 15% sampai 45%. Kenaikan juga terjadi pada harga pupuk sekitar 20%, ini terjadi pada pupuk urea yang sebelumnya Rp. 100.000,- naik menjadi Rp. 120.000,-/50 kg. yang lebih menjengkelkan lagi ketika kami butuh pupuk, tapi kami tidak bisa mendapatkan, para penjual bilangnya sedang langka, anehnya kelangkaan terjadi ketika petani sedang membutuhkan.

Lanjut Tarman, mahlnya biaya produksi menyebabkan banyak petani ketikan akan menanam harus rela mengambil terlebih dahulu dari "Bandar", sesungguhnya cara ini semakin mengencet petani, sebab jika seluruh kebutuhan, mulai dari bibit, pupuk, obat harus semau dari bandar, dan jika mengambil dari bandar maka petani terikat untuk menjual hasil panennya ke bandar, dan kondisi ini sesungguhnya sangat tidak adil dan merugikan petani sebab harga bibit, pupuk dan obat yang diambil dari bandar harus dibayar lebih tinggi 10% dari harga pasar dan harga panen dihargai 10 % lebih rendah dari harga umum. Karenanya kami akan datang ke Jakarta untuk menuntut kepada pemerintahan baru nanti agar memberikan sudbidi dan melindungi petani dengan menetapkan harga yang baik. Sebab jika terus-terusan seperti ini kami akan semakin sulit untuk bertahan hidup belum lagi nanti kalau BBM dinaikan.

Akibat dari tingginya biaya produksi dan rendahnya harga panen, maka tidak sedikit petani yang merugi, satu contoh kang isep petani sayur yang menanan tomat, karena lahanya yang sempit hanya mampu untuk ditanami 7000 pohon, total biaya keseluruhan sebanyak Rp. 15.000.000,- selama 4 bulan penghasilanya mencapai Rp. 22.000.000,- artinya dari modal produksi dengan hasil panen selisih Rp. 7.000.000,- dengan demikian jika dihitung rata-rata pengahsila sebulan tidak lebih dari Rp. 1.750.000,- tetapi ini tidak menghitung harga tenaga kerja, padahal kang Isep menanan tomat dikerjakan oleh dirinya dan 4 (empat) orang keluarganya, maka sesungguhnya kang isep mengalami kerugian sebab jika kita hitung harga tenaga kerja untuk 5 orang selama 4 bulan tidak kurang dari Rp. 11.250.000,- artinya kang Isep mengalami kerugian sebesar Rp. 4.250.000.

Ditempat berbeda Rahmat, Sekertaris jenderal Aliansi gerakan Reforma Agraria (AGRA) membenarkan adanya rencana untuk menggelar aksi di Jakarta, selain dari pengalengan, aksi ini juga akan diikuti oleh para petani dari berbagai daerah seperti, Bogor, Banten dan Cirebon.  Lebih lanjut Rahmat menyampaikan bahwa aksi serupa akan digelar di berbagai Propinsi dan Kabupaten, mulai dari NTB, Buol, Palu, Bulukumba, Makasar, Jawa Timur, Semarang, Wonosobo, Lampung, Jambi, Riau, Medan, Palangkaraya, Pontianak.

Rahamat, menambahkan aksi demonstrasi kali ini untuk menunjukan bahwa apa yang dilaporkan oleh SBY dalam pidato kenegaraanya yang terakhir lalu adalah kebohongan dan untuk penciteraan semat, pasalnya selama sepuluh tahun pemerintahan SBY, makin banyak kaum tani kehilangan tanah dan makin banyak petani yang menjadi korban akibat semakin meluasnya konflik agraria, setidaknya

Selain itu, kami juga ingin mengingatkan kepada Jokowi-JK, jika akan tetap melanjutkan pemerintahan SBY maka passti akan menghadapi kaum tani yang mengantarkanya dalam pemenangan Pilpres yang lalu. Karenanya kami mendesak kepada pemerintahan Jokowi-JK mendatang untuk meninjau dan mengamandemen seluruh regulasi yang dibuat selama pemerintahan SBY yang mendukung perampasan tanah, kami juga menuntut dilakukannya peninjauan lembaga dan kementerian yang karena kewenangannya banyak melakukan perampasan tanah, seperti kementerian kehutanan, BPN, dan secara khusus perhutani karena kewenangan yang dimiliki berlebihan mengakibatkan tumpangtindihnya kebijakan yang memicu terjadinya konflik.

Pemerintahan Jokowi-JK kedepan juga harus mengambil sikap yang berani untuk meninjau dan bilaperlu menarik berbagai kesepakatan ditingkat Internasional yang merugikan petni dan menghancurkan pertanian di Indonesia. MP3EI yang merupakan mega proyek pemerintahan SBY, harus dihentikan karena hanya akan menimbulkan masalah perampasan tanah dan konflik agraria. Begitu juga berbagai perjanjian perdagangan yang merugikan bangsa harus ditinjau dan bila perlu menyatakan keluar dari perjanjian-perjanjian seperti WTO, AFTA, dan lainya.#

Rabu, 10 September 2014

KOPI CAPING GUNUNG Upaya Peningkatan Ekonomi Anggota


Kopi Caping Gunung.
Caping gunung begitulah kata yang tepat untuk mempresentasikan makna asal muasal dari kopi yang diproduksi oleh AGRA Lampung. Caping gunung berusaha menggambarkan bahwa cita rasa kopi lampung yang khas dan digemari oleh setiap orang adalah hasil perjuangan yang keras dan panjang dari kawan-kawan petani penggarap yang bermukim didaerah way kutu way sabu gunung pesawaran provinsi lampung. 

Perjuangan Petani Penggarap Way Sabu dan Way Kutu
Way Kutu dan Way Sabu didiami oleh berbagai suku bangsa seperti orang Semendo dari Sumatera Selatan, orang lampung, orang Jawa, dan orang Sunda. Mereka datang pertama kali sebagai peladang pada tahun 1964 dan mulai membangun perkampungan tahap demi tahap karena keterbatasan tanah dan mata pencaharian untuk menghidupi keluarga di tempat terdahulu. Mereka hidup sebagai petani berladang dan kebun. Menanam padi untuk dimakan sendiri dan menanam berbagai tanaman komoditas untuk menambah penghasilan terutama kopi, lada dan cengkeh. Akan tetapi seiring dengan perubahan zaman, penanaman padi ladang semakin terbatas, demikian pula dengan cengkeh dan lada mengalami kemerosotan yang tajam. Saat ini tanaman yang paling luas dan menjadi sandaran hidup adalah kopi dan coklat serta beberapa tanaman cadangan seperti pisang, lada dan cabai.

Sejak pengusiran tersebut mayarakat petani penggarap Way Kutu dan Way Sabu terpaksa hidup jauh dari “tanah harapannya” hingga tahun 1998. Berkat gerakan rakyat Mei 1998, pemerintah Fasis Suharto dapat dijatuhkan. Hasil-hasil gerakan tersebut telah memberikan jalan bagi Petani pengMasyarakat Petani penggarap way kutu dan way sabu pada tahun 1990-1992 mengalami pengusiran paksa melalui program transmigrasi lokal dan pembuatan Taman Hutan Raya (TAHURA) Wan Abdurrahman untuk kepentingan pengusaha besar pemegang Hak Penebangan Hutan dan Hak Pengelolaan Hutan Tanaman Industri (HPH dan HP-HTI)) yang belakangan dijadikan perkebunan-perkebunan besar monopoli. Sehingga “hutan kecil” yang didiami masyarakat harus diambil untuk tetap menunjukkan seolah-olah pemerintah adalah “pelestari alam.” 

Petani penggarap Way Kutu dan Way Sabu yang hidup terpencar untuk kembali ke daerah yang telah dibangunnya sejak tahun 1964. Perpindahan tersebut berlangsung secara bertahap dan dimulai oleh mereka yang telah pulih keberaniannya berkat gerakan rakyat yang besar selama masa penjatuhan Suharto. Petani penggarap way kutu dan way sabu kembali ke kebun mereka merubah belatara dan belukar menjadi tanah harapnya.

Setelah kembali dan menetap hingga saat ini perjuangan petani penggarap way kutu dan way sabu belum berakhir. Pemerintah melalui Dinas Kehutanan (Dishut) dan UPTD tidak pernah berhenti mengusahakan pengusiran petani penggarap dari pemukiman dan lahan garapannya. Lewat program Revitalisasi Kehutanan Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan program penanganan perubabahan iklim (RADD) yang disponsori oleh lembaga-lembaga imperialis seperti Bank Dunia. Sejak tahun 2009, Provinsi Lampung mendapat dana revitalisasi hutan sebesar 20 milyar untuk dua taman nasional dan satu Tahura. Program revitalisasi kehutanan ini dijalankan dengan membabi buta di pemukiman dan lahan-lahan garapan yang menjadi gantungan hidup petani penggarap. Di beberapa bagian Provinsi Lampung pemerintah mempromosikan Hutan Kemasyarakatan (HKm) untuk mengusir petani penggarap dari hutannya dan mendorong berbagai aktivitas seperti pembuatan kerajinan tangan yang sangat jauh dari harapan kaum tani yang menginginkan tanah garapan dan produksi bebas untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. 

Unit usaha kopi Caping Gunung sebagai perjuangan ekonomi mempertahankan tanah garapan Mengingat sejarah perjuangan petani penggarap Way Kutu dan Way Sabu yang sangat panjang dan meyakini bahwa perjuangan kedepan akan lama dan semakin keras maka dibutuhkan satu upaya ketahanan bagi petani penggarap secara ekonomi dalam perjuangan politiknya mempertahankan tanah harapannya. Maka upaya kerjasama ekonomi harus dimulai dan dilakukan secara bertahap sesuai dengan keadaan dan kesanggupan dari organisasi kaum tani. 

Hal inilah yang menjadi dasar dimulainya usaha produksi kopi Caping Gunung oleh AGRA Lampung. Kopi Caping Gunung adalah representasi kerjasama kaum tani dari setiap anggota dan organisasi disetiap tingkatannya. Ada kontribusi atas usaha disetiap bagian organisasi yang berlandaskan prinsip saling menguntungkan antar tingkatan organisasi.

Proses awal tentu saja kopi Caping Gunung dihasilkan dari tangan-tangan terampil yang bertahun tahun menanam dan memetik kopi secara baik. Biji kopi pilihan tersebut dibeli dengan harga yang berlaku umum yaitu berkisar antar 22-23 ribu rupiah per kg. kopi pilihan tersebut selanjutnya akan diproses dengan digoreng  secara tradisional. Proses penggorengan kopi memerlukan keahlian dan kejelian dalam menetapkan warna hasil gorengan kopi yang akan mempengaruhi pada aroma dan cita rasa yang dihasilkan kopi pada saat digiling dan dikonsumsi. Untuk proses penggorengan dan penggilingan ini diserahkan pada organisasi tingkat ranting dengan penggantian biaya proses penggorengan dan giling sebesar 22-23 ribu per kg. Setelah kopi digiling kopi akan diserahkan ke organisasi tingkat cabang/wilayah untuk dikemas dan di pasarkan pada konsumen. 1 kg kopi murni dibutuhkan biaya 45 ribu rupiah ditambah biaya pengemasan 3 ribu rupiah dengan harga jual ditingkat konsumen 60 ribu rupiah per kg berarti dari setiap kg-nya organisasi tingkat cabang/wilayah bisa mendapatkan keuntungan 12 ribu rupiah per kg.

Proses produksi kopi Caping Gunung telah dimulai tanggal 30 maret 2014 yang lalu bahkan untuk peresmiannya di Launching di perancis tanggal 6 mei 2014 oleh kawan Oki Hajiansyah Wahab yang kebetulan melakukan studi karya ilmiah disana. Hingga saat ini kopi Caping Gunung sudah dipasarkan dibeberapa kota besar seperti Medan, Semarang dan Jakarta. 

Upaya pemasaran dilakukan lewat media social, jaringan pertemanan dan yang paling efektif tentu saja dengan upaya penawaran langsung pada setiap person dan lembaga untuk menjadi langganan tetap konsumen kopi Caping Gunung. Hingga saat ini tercatat sudah ada 20  konsumen tetap baik itu personal maupun lembaga yang berlangganan setiap bulannya. Jika dinilai dari hasil keuntungan yang didapat memang masih kecil tapi proses belajar dan pemahaman sebagai sebuah usaha kerjasama ekonomi  bersama itu adalah hal yang tak ternilai harganya. Mengutip kalimat yang sering diucapkan beberapa kawan..”kita tidak akan pernah bisa mengurus hal-hal besar jika kita tidak memulainya dari hal yang kecil”.