Brosur Peringatan 54 Tahun Hari Tani Nasional
I. PENGANTAR
Kaum tani bersama seluruh rakyat Indonesia pada bulan ini menyambut Hari-Tani-Nasional yang ke-54 pada 24 September 2014. Hari Tani Nasional ini diperingati oleh kaum tani sebagai peringatan atas hasil perjuangan panjang kaum tani Indonesia dalam kerangka memperjuangkan Land-reform sejati di Indonesia. Perjuangan politik rakyat Indonesia yang berwatak anti-feodalisme dan imperialisme ini, pada tahun 1960 yang lalu berhasil diwujudkan secara terbatas dalam Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria No-5/1960. Capaian ini merupakan kemajuan sebagai usaha untuk meringankan penghisapan dan penindasan feudal yang dilakukan oleh tuan-tanah dan imperialis di atas pundak kaum tani Indonesia sejak jaman kolonialisme.
Namun capaian politik dalam bentuk Undang-undang Pokok Agraria tersebut hanya berjalan kurang dari 5 tahun. Pada perkembangannya seluruh capaian politik dan hasil-hasil ekonomi telah dirampas kembali dari tangan kaum tani oleh musuh-musuh kaum tani, khususnya sejak tahun 1965 hingga sekarang. Usaha keras dan panjang kaum tani yang telah mengorbankan jiwa dan raga, darah dan air mata, terus dihadang batu karang yang diciptakan oleh pemerintah-pemerintah yang berkuasa sejak jaman pemerintah fasis Soeharto hingga pemerintah SBY sekarang.
Aspirasi atas Land-reform sejati kaum tani dan seluruh rakyat Indonesia ini, dijawab oleh pemerintah Soeharto dengan program land-reform palsu dalam wujud Revolusi Hijau yang merupakan skema imperialisme AS. Perampasan tanah untuk kepentingan perkebunan kayu, pertambangan, dan infrastruktur dilakukan dengan massif; penghancuran seluruh sarana produksi pertanian yang telah dicapai oleh kaum tani sendiri selama ribuan tahun dari bibit, pupuk, obat-obatan dan teknologi pertanian telah terjadi dan digantikan dengan sarana produksi pertanian yang diproduksi oleh perusahaan asing hingga sekarang. Kaum tani semakin dihisap dan dipaksa bergantung dan hanya menguntungkan perusahaan-perusahaan besar milik imperialis yang sangat jahat tersebut.
Gerakan rakyat anti-fasis Pemerintah Soeharto yang berpuncak pada Gerakan Mei 1998, berhasil mencapai hasil politik dengan menumbangkan rezim fasis Soeharto yang terbukti gagal dan bangkrut. Gerakan perlawanan kaum tani sangat luas di pedesaan, menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan gerakan buruh, mahasiswa, dan kaum miskin di perkotaan. Kaum tani mengambil kembali tanah yang dirampas selama Orde Baru sebagai hasil ekonomi dari perjuangan massa. Sedangkan hasil politik salah satunya adalah TAP-MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Namun benang merah kebijakan dan program land-reform palsu terus berlanjut sejak pemerintah fasis Soeharto, B.J Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati Soekarno Putri hingga 10 tahun pemerintah SBY sekarang. Pada hakekatnya sama, apa yang membedakan hanya bungkusnya yang menipu. Bila pada jaman pemerintah Soeharto program ini bernama Revolusi Hijau, sedangkan pada jaman pemerintah SBY bernama Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK); kemudian berganti nama lagi dengan kampanye Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN). Pada kenyataannya adalah perampasan tanah, bahkan “prestasi besar” 10 tahun pemerintah SBY adalah menjadi rezim perampas tanah terluas nomor 2 setelah Pemerintah fasis Soeharto. Bila SBY bisa berkuasa selama 32 tahun, sangat mungkin dia berhasil “mengukir prestasi” yang menyamai gurunya, Soeharto, dalam hal merampas tanah rakyat.
Perampasan tanah ini dilakukan oleh perusahaan-perusahaan swasta dan pihak negara sendiri untuk kepentingan kapitalis monopoli asing, tuan-tanah dan borjuasi komprador. Sedangkan nasib kaum tani sendiri terampas dan terusir dari tanah-airnya tanpa perlindungan, semakin miskin dan tertindas sebagai buruh-tani, buruh-kebun, menjadi kuli di negeri sendiri yang subur dan kaya-raya ini. Bahkan tidak sedikit anggota keluarga kaum tani, akibat perampasan tanah, kehancuran ekonomi pedesaan dan tidak dibangunnya industri nasional, maka tidak ada lapangan kerja yang layak untuk hidup bagi rakyat sehingga terpaksa menjadi kuli di negeri orang. Mereka seperti layaknya barang dagangan, menjadi komoditas ekspor buruh murah yang tak ada bedanya dengan perbudakan modern; melakukan migrasi paksa, meninggalkan keluarga yang dicintainya, teraniaya dan tanpa perlindungan.
Sekarang kita berada di penghujung pemerintah SBY dan menyongsong pemerintah baru Jokowi-JK. Kemarahan dan kekecewaan besar kaum tani sangat pantas dialamatkan kepada pemerintah SBY yang telah gagal total menjawab aspirasi kaum tani Indonesia yang mengusung land-reform sejati. Menghadapi situasi sekarang kaum tani Indonesia harus terus mempelajari situasi politik agraria nasional agar mengetahui apa tindakan pemerintah SBY yang terus merugikan kaum tani dan rakyat Indonesia yang harus dilawan. Selain itu, kita juga harus mempelajari dan mendiskusikan rencana kebijakan dan program land-reform pemerintah baru Jokowi-JK agar kaum tani tidak bimbang dan ragu dalam bersikap dan bertindak melanjutkan perjuangan yang militan dibawah pemerintah baru JKW-JK.
II. 10 tahun dibawah Pemerintah SBY: Apa yang Diperoleh Kaum Tani?
Menjelang berakhirnya pemerintah SBY pada tanggal 20 Oktober 2014, ada baiknya sejenak menengok apa yang sudah dilakukan oleh pemerintah ini dalam rentang 10 tahun pemerintahannya (2004-2014), terutama di dalam sektor agraria dan pertanian yang merupakan andalan kehidupan mayoritas Rakyat Indonesia, yaitu Kaum Tani Indonesia. Ini adalah saat yang tepat menilai apa yang dijanjikan oleh pemerintah ini dan apa yang dikerjakannya.
Di dalam masa kampanye, rezim SBY menjanjikan akan menjalankan program pembaruan agraria (land reform), terutama di masa kampanye pada tahun 2004. Tentu saja kampanye untuk menjalankan pembaruan agraria di dalam negeri agraris yang didominasi oleh kaum tani miskin yang merupakan pemilih mayoritas dalam pemilu, akan memastikan kemenangan rezim ini di dalam pemilu. Terbukti kemudian, rezim SBY menang dalam Pemilu 2004 dan tahun 2009.
Namun setelah meraih kemenangan dalam Pemilu 2004 apalagi kemudian diulangi kemenangan kedua dalam Pemilu 2009, janji untuk menjalankan program pembaruan agraria (land reform) hanya tinggal janji. Hal mana terbukti dengan dikeluarkannya sejumlah kebijakan agraria dan pertanian yang justru bertentangan dengan janji-janji kampanye untuk menjalankan pembaruan agraria. Di sisi lain, pemerintah SBY juga menjalankan program-program liberalisasi pertanian yang pada pokoknya adalah memberikan akses lebih luas bagi produk-produk pertanian dari negeri-negeri maju untuk masuk ke dalam pasar pertanian di Indonesia.
Beberapa kebijakan agraria dan pertanian pemerintahan SBY yang dapat dicatat, bertolak belakang dari janji kampanye untuk menjalankan program pembaruan agraria adalah Infrastructure Summit (bulan Januari tahun 2005), Program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan atau RPPK (pada tahun 2005, yang dicanangkan di Waduk Jatiluhur, Jawa Barat), Program Pembaruan Agraria Nasional atau PPAN (pada tahun 2006), Program Food Estate (pada tahun 2009), dan yang terakhir adalah Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia atau MP3EI (yang diluncurkan pada tahun 2011, dan akan dijalankan dalam periode tahun 2011 sampai dengan tahun 2025).
Program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK), 2005
Program abal-abal ini bernama Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan kehutanan (RPPK) yang dicanangkan pada bulan juni 2005 di waduk Jatiluhur Jawa Barat. Program ini dipromosikan untuk peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,6 persen pertahun yang akan dicapai melalui percepatan investasi dan ekspor serta pembenahan sektor riil. Ada 6 fokus revitalisasi pertanian SBY:
- Revitalisasi Pemantapan Ketahan Pangan melalui program penyediaan sarana produksi, benih, pupuk, pestisida, dan alat mesin pertanian untuk 16 provinsi.
- Program Revitalisasi Peningkatan Kesempatan Usaha dan Pertumbuhan di 141 daerah aliran sungai dengan total lahan seluas 500.000 ha di 370 kabupaten atau 30 provinsi. Program pengembangan produksi hasil hutan non-kayu; pengembangan jasa berbasis hutan; peningkatan produktivitas, pendapatan, dan kesejahteraan petani.
- Revitalisasi Eksport Produk Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan yang difokuskan untuk jangka pendek melalui program revitalisasi tambak udang nasional.
- Revitalisasi Pengembangan Produk Baru yaitu melalui program pengembangan sumber bahan bakar terbarukan sebagai bahan bakar migas dan peningkatan nilai tambah melalui pengembangan alat pengolah rumput laut.
- Revitalisasi pertanian bukan kebijakan top-down. Revitalisasi pertanian melibatkan masyarakat
- Program jangka pendek selanjutnya adalah Revitalisasi SDM Pertanian. Institut Pertanian Bogor dan beberapa instansi pemerintah pusat maupun daerah memberikan beasiswa kepada 250 orang untuk belajar pertanian di IPB.
SBY menyatakan bahwa untuk menyokong program RPPK harus dibangun lahan pertanian abadi berupa sawah seluas 15 juta hektar dengan sistem irigasi yang memadai dan menciptakan lahan pertanian kering 15 juta hektar. Dengan demikian SBY akan menyediakan lahan pertanian total seluas 30 juta hektar untuk menjalankan program RPPK tersebut. Faktanya justru lahan pertanian yang terus menciut, bahkan kepemilikan lahan pertanian di Jawa sekarang rata-rata hanya 0,3 hektare. Sawah-sawah ciptaan SBY bahkan hanya sekedar lahan gambut tidak produktif.
Pembukaan lapangan kerja baru yang dijanjikan melalui program RPPK dan diharapkan bisa mengentaskan kemiskinan rakyat yang mayoritas tinggal di pedesaan telah gagal SBY; penyakit busung lapar dan gizi buruk banyak menghiasai media massa selama 10 tahun SBY berkuasa. Pedesaan tetap saja menjadi pemasok buruh murah untuk industri di perkotaan, serta tenaga buruh murah untuk perkebunan besar dan pemasok TKI keluar negeri dengan tanpa perlindungan.
Kedaulatan pangan yang digembor-gemborkan gugur dengan sendirinya setelah pemerintah pada kenyataannya mengandalkan impor pangan untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri. Undang-undang No. 18/2012 tentang pangan hanya menjadi pencitraan pemerintah SBY tanpa ada karya nyata. Produksi Gabah Kering Giling (GKG) yang dipatok 76,57 juta ton pada tahun 2014 untuk mencapai surplus 10 juta ton beras hanya dalam kertas, kenyatannya beras dan produk pertanian terus impor.
Pencabutan subsidi pertanian menjadi salah satu faktor semakin miskinnya penduduk di pedesaan, pendapatan petani dari hasil produksi semakin menurun drastis karena biaya untuk sarana produksi pertanian seperti pupuk, benih, obat-obatan harganya semakin tidak terjangkau oleh kaum tani, sementara harga jual produk pertanian semakin menurun karena pasar dibanjiri oleh produk impor dari Tiongkok, Thailand, Banglades, Australia dan AS.
Pada bulan Oktober 2011 ribuan petani kentang demo karena harga kentang lokal turun hingga 30 persen, hal serupa juga terjadi pada petani bawang merah. Ribuan petani bawang merah pada bulan Januari 2012 turun ke jalan melakukan protes atas maraknya bawang impor di pasaran yang membuat harga bawang lokal anjlok.
Pada akhirnya, program landreform palsu RPPK pemerintah SBY gagal total dan tanpa ada pertanggung-jawaban kepada rakyat. Tidak heran jika sektor pertanian dari tahun ke tahun terus mengalami kemerosotan dan krisis ekonomi keluarga tani semakin dalam.
Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN), 2006
PPAN merupakan program SBY yang disebutkan sebagai upaya peningkatan kepemilikan tanah dengan mendistribusikan lahan sebanyak 8,15 juta hektar bagi kaum tani. Faktanya selama program dicanangkan hingga di penghujung kekuasaannya bisa dikatakan tidak sepenuhnya berjalan. Satu-satunya klaim pemerintahan SBY menjalankan landreform adalah membagikan tanah di Cilacap seluas 291 ha untuk 5.141 keluarga. Masing-masing memperoleh lahan seluas 5000 meter persegi. Pembagian lahan di Cilacap hanyalah pencitraan pemerintahan SBY agar dinilai oleh rakyat mendukung landreform.
Dengan membagikan tanah 0,5 ha terhadap keluarga petani namun tidak mengubah sama sekali rata-rata kepemilikan tanah di Jawa yang sebesar 0,3 ha yang merupakan petani miskin dan tidak mengubah struktur ketimpangan penguasaan atas tanah di Indonesia. Bahkan kabarnya, tanah yang dibagikan oleh SBY di Cilacap tersebut sekarang sudah kembali jatuh ke pihak swasta.
Saat ini 70 % atau 136,94 juta ha wilayah Republik Indonesia adalah kawasan hutan Negara yang diperuntukan bukan kepada kaum tani atau rakyat Indonesia tetapi dimonopoli oleh para tuan tanah (asing, swasta dalam negeri dan negara secara langsung). Kemudian dari 136,94 juta ha untuk HTI (hutan Tanaman Industri) yang mencapai 9,39 juta ha dikuasai oleh 262 perusahaan. Luas hutan yang terkena Hak Pemanfaatan Hutan (HPH) mencapai 21,49 juta ha yang dikuasai oleh 303 perusahaan HPH.
Program RPPK maupun PPAN yang diluncurkan oleh SBY sama sekali tidak menolong petani dari berbagai bentuk perampasan tanah. Sampai hari ini konflik agraria masih menjadi salah satu konflik paling masif di Indonesia. Hal ini sekaligus memperlihatkan kegagalan SBY dalam menjalankan programnya tersebut.
Program Food Estate (2009)
Program lahan pertanian skala luas (food estate) menjadi babak lanjutan dari awal pemerintahan periode kedua SBY yang secara langsung berlawanan dengan semangat landreform dan perwujudan kedaulatan pangan. Food estate juga menjadi bukti nyata dukungan SBY terhadap skema liberalisasi sektor pangan dengan mengundang seluas-luasnya investasi di sektor pangan. Hal tersebut juga akan mendorong bagaimana mobilisasi tanah dalam skala besar untuk kemudian diberikan ke investor yang akan membuka bisnis tanaman pangan di Indonesia. Dalam keadaan seperti itu, tidak mungkin kaum tani akan mampu bersaing dengan perusahaan-perusahan raksasa untuk memproduksi tanaman pangan, baik dari segi jumlah maupun kualitas.
Perwujudan nyata dari program Food estate adalah proyek Marauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Papua maupun program Giant Rice di Kalimantan Timur. Dalam pelaksanaan program MIFEE yang dilaksanakan di Papua di sepuluh kluster, hakekatnya adalah upaya mengerikan penggusuran dan perampasan bagi kehidupan sosial rakyat di Marauke. Hutan-hutan adat yang selama ini menjadi tempat bergantung hidup pada alam, membangun komunitas sosial dan tempat berkembangnya kehidupan dirampas oleh puluhan perusahaan besar yang datang bersama pemerintah Indonesia dalam wujud militer dan polisi. Perusahaan raksasa seperti Medco, LG Internasional, Daewoo Internasional, Rajawali group, Wilmar, Astra dan lain sebagianya saling berebut untuk mengambil bagian tanah-tanah adat yang kemudian diubah menjadi perkebunan-perkebunan raksasa seperti untuk kedelai, jagung, beras hingga kelapa sawit. Tahun 2011 MIFEE dijalankan dan merampas 100 ribu hektar tanah.
MIFEE berdiri di atas konsesi lahan seluas 2,5 juta hektar yang disebutkan sebagai lahan tidur. Pada kenyataannya lahan tersebut merupakan tanah-tanah adat dan tanah-tanah yang menjadi sandaran hidup bagi penduduk asli. MIFEE juga mengakibatkan perkebunan monoculture dan menghilangkan fungsi hutan adat sebagai tempat bergantung hidup, menjalankan ekonomi kolektif yang tangguh.
Dampak lebih luas dari proyek Food Estate yang tidak pernah diungkapkan adalah semakin mahalnya harga pangan akibat monopoli harga yang ditentukan oleh perusahaan-perusahaan raksasa. Kenaikan harga beras, jagung, kedelai hingga cabe sekali lagi bukan akibat ulah spekulan, akan tetapi secara kongkrit akibat liberalisasi sektor pangan yang dijalankan oleh pemerintah yang memberi kebebasan bagi monopoli sektor pangan.
Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), 2011-2025
Program MP3EI, diawali oleh pemerintah SBY-JK pada masa awal pemerintahan 5 tahun pertama dengan menyelenggarakan Indonesia Infrastructure Summit (17-18 Januari 2005). Pembangunan infrastruktur besar-besaran menjadi kebijakan utama Pemerintah SBY-JK sebagai usaha untuk mempercepat kembalinya modal asing ke Indonesia pasca krisis 1997/1998. Investor luar negeri diundang untuk berinvestasi di berbagai sektor infrastruktur seperti jalan tol, pelabuhan, bandara, pembangkit listrik, air bersih, dsb-nya. Menyambut aspirasi investor asing (imperialis) dan nasional tersebut, maka diterbitkanlah payung hukum pelindungnya dengan terbitnya Perpres No. 36 dan puncaknya UU No. 2/2012 tentang Pengadaan Tanah.
MP3EI menjadi program besar SBY pada periode ke-dua pemerintahannya. Konsepnya adalah pembangunan koridor-koridor potensial ekonomi dan konsep keterhubungan (koneksivitas) antar koridor dengan jalan pengembangan infrastruktur baik jalan tol, bandara, jalur kereta api hingga lapangan terbang. Nilai investasi MP3EI mencapai Rp 4.662,7 Triliun dan mencakup 1.667 proyek.
Ada enam (6) koridor yang ditetapkan yaitu Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara dan Papua-Kepulauan Maluku. Penetapan koridor-koridor ekonomi dalam MP3EI jelas merupakan zonasi bagi etalase dagangan untuk menarik investasi sebesar-besarnya atas tanah, air, udara dan kandungannya bagi modal. Dimana untuk sektor tambang dan energi (termasuk perkebunan) sebagai andalan utama, sektor ini terutama terdapat di koridor Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Sedangkan Jawa yang selama ini menjadi pusat pangan justru diarahkan untuk menjadi sentra industri dan jasa. Koridor Sulawesi dan Papua diproyeksikan akan dialihkan menggantikan basis pangan dengan didukung oleh koridor Bali-Nusa Tenggara.
Dalam tiga tahun pertama saja MP3EI sudah menarik modal hingga Rp 854 Triliun dengan nilai terbesar untuk proyek infrastruktur, meskipun demikian target sesungguhnya adalah Rp 2000 triliun hingga akhir 2014 dengan syarat pembebasan tanah (perampasan tanah) dapat berjalan dengan lancar.
MP3EI menjadi program utama SBY untuk mendukung investasi asing, perpaduan perampasan tanah untuk infrastruktur dengan perampasan tanah untuk sektor lain seperti pertambangan, perkebunan dan kawasan industri semakin besar dilakukan dengan payung MP3EI. Tentu saja tidak ada ruang bagi rakyat termasuk kaum tani untuk hidup dalam payung program MP3EI.
AGRA mencatat sepanjang pemerintahan SBY, telah memenjarakan (kriminalisasi) 1.180 kaum tani, menganiaya 556 kaum tani dan membunuh 65 petani. Dalam catatan KPA jumlah konflik hingga 2014 mencapai 1.379 konflik agraria yang menyangkut konflik perkebunan, pertambangan, infrastruktur, dan kelautan. Luasan konflik tanah mencapai 5.686.322, 15 hektare, dengan melibatkan lebih dari 922.781 kepala keluarga. Tentu di lapangan keadaannya jauh lebih parah dari sekedar yang sanggup didata.
Luasnya konflik agraria tersebut berjalan seiring dengan laporan positif atas keberhasilan program-program pembangunan ekonomi dalam menarik investasi dan modal ke dalam negeri yang selalu menjadi kebanggan pemerintahan SBY. Sebuah ironi dianggap prestasi dengan kesuksesan pelaksanaan pembangunanisme melalui MP3EI seperti yang disebutkan pada pidato kenegaraan terakhir SBY pada tanggal 15 Agustus 2014. SBY bangga menyebutkan besaran jumlah modal yang diinvestasikan dan jumlah proyek yang dijalankan; namun SBY menutup mata dampak penderitaan rakyat yang terjadi atas model pembangunan yang dibangga-banggakannya. Apa yang diberikan pemerintah SBY selama 10 tahun periode pemerintahannya kepada rakyat adalah perampasan tanah, kehancuran pangan nasional dan kemiskinan rakyat di pedesaan yang semakin dalam. Apakah pemerintahan baru Jokowi-JK akan terus mempertahankan model pembangunan semacam ini?
III. Mewaspadai Program Land-reform Pemerintah Baru Jokowi-JK: Apakah Land-reform Palsu Kelanjutan Pemerintah SBY atau Land-reform Sejati Aspirasi Rakyat Indonesia?
Program Land-reform yang tertuang dalam visi-misi Jokowi-JK selama masa kampanye, di satu sisi perlu mendapat apresiasi dan menjadi harapan kaum tani dan rakyat Indonesia; namun di sisi lain program tersebut akan menjadi bumerang jika nasibnya sama dengan program Land-reform palsu pemerintah SBY. Kekecewaan dan kemarahan kaum tani dan rakyat Indonesia akan sulit dihindari jika pemerintahan Jokowi-JK ke depan tidak menyelesaikan ribuan kasus perampasan tanah yang menderitakan kaum tani dan hanya memberi Land-reform palsu seperti pemerintah-pemerintah sebelumnya. Dalam sektor agraria Jokowi-JK menuangkan programnya dalam Visi-Misi sebagai berikut:
“Kami akan membangaun kedaulatan pangan berbasis pada Agribisnis kerakyatan melalui; (1) penyusunan kebijakan pengendalian atas import pangan melalui pemberantasan terhadap ‘mafia’ impor yang sekedar mencari keuntungan pribadi/kelompok tertentu dengan mengorbankan kepentingan pangan nasional. Pengembangan ekspor pertanian berbasis pengolahan pertanian dalam negeri, (2) penanggulangan kemiskinan pertanian dan dukungan re-generasi petani melalui; a) pencanangan 1.000 desa berdaulat benih hingga tahun 2019, b) peningkatan kemampuan petani, organisasitani dan pola hubungan dengan pemerintah, terutama pelibatan aktif perempuan petani/pekerja sebagai tulang punggung kedaulatan pangan; c) pembangunan irigasi, bendungan, sarana jalan dan transportasi, serta pasar dan kelembagaan Pasar secara merata. (rehabilitasi jaringan irigasi yang rusak terhadap 3 juta ha pertanian dan 25 bendungan hingga tahun 2019, d) peningkatan pembangunan dan atraktivitas ekonomi pedesaan yang ditandai dengan peningkatan investasi dalam negeri sebesar 15 persen tahun dan rerata umur petani dan rakyat Indonesia yang bekerja di pedesan semakin muda. (3) komitmen kami untuk implementasi reforma agraria melalui; a) Akses dan aset reform pendistribusian aset terhadap petani melalui distribusi hak atas tanah petani melalui Land reform dan program kepemilikan lahan bagi dan buruh tani; menyerahkan lahan sebesar 9 juta ha, b) meningkatkan akses petani gurem terhadap kepemilikan lahan pertanian dari rata-rata 0,3 hektar menjadi 2,0 hektar per KK tani, dan pembukaan 1 juta ha lahan pertanian kering di luar Jawa dan Bali. (4) pembangunan Agri-Bisnis kerakyatan melalui pambangunan Bank khusus untuk pertanian, UMKM dan koperasi.”
Program di sektor agraria Jokowi-JK belum memiliki perbedaan yang mendasar dengan program pemerintahan SBY sehingga layak untuk diwaspadai oleh kaum tani dan Rakyat Indonesia. Program Land reform Jokowi-JK akan membagikan tanah 9 juta hektar kepada petani gurem, persis dengan Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN) pemerintahan SBY, yang menjanjikan membagikan tanah seluas 8,15 juta hektar, namun hingga penghujung pemerintahan-nya tidak dapat dijalankan. Apa yang membedakan antara PPAN pemerintah SBY dan program Jokowi-JK hanya di masalah luas tanah, namun dimana obyek tanah dan siapa penerima tanah tersebut masih menjadi pertanyaan besar.
Program lainnya adalah meningkatkan akses petani gurem terhadap kepemilikan lahan pertanian dari rata-rata 0,3 hektar menjadi 2,0 hektar per KK tani. Bila kita melakukan kajian atas program ini berarti pemerintah Jokowi-JK nantinya akan membagikan tanah sekurangnya 1,7 hektar kepada petani gurem yang menurut data BPS 2013 berjumlah kurang-lebih 14,25 juta orang. Bila demikian kenyataannya, maka pemerintah Jokowi-JK setidaknya akan membagikan tanah 1,7 X 14, 25 juta orang = 24, 225 juta hektar di seluruh Indonesia. Apakah Jokowi-JK benar-benar sadar atas program ini? Benarkah luas lahan yang tidak sedikit ini, seluas 24,225 juta hektar, bisa diwujudkan oleh pemerintah Jokowi-Jk?
Memahami keadaan agraria sekarang ini dan belajar pada pengalaman kebijakan pertanian yang telah dilakukan pemerintah sejak pemerintah Soeharto hingga SBY sekarang; mereka memberikan prioritas pada sektor perkebunan besar (kelapa sawit, karet, meranti, sengon, dsb) berorientasi ekspor dengan skema inti-plasma yang menjadikan kaum tani sebagai buruh murah di atas tanahnya sendiri karena sepenuhnya dibawah kontrol perusahaan perkebunan besar.
Sedangkan program pembukaan lahan pertanian kering diluar Jawa dan Bali seluas 1 juta hektar, apakah benar disediakan tanpa merampas tanah rakyat? Sebagaimana halnya pembangunan infrastruktur jalan baru sepanjang 2000 kilometer, membangun 10 pelabuhan baru, 10 bandar udara baru, 10 kawasan industri baru, membangun 5000 pasar baru; apakah semua ini tidak merampas tanah rakyat? Apa yang membedakan pembangunan infrastruktur ini dengan pembangunan Jalan Raya Pos (Anyer-Panarukan) sepanjang 1000 kilometer oleh Pemerintah Gubernur Jenderal Herman Wilem Deandeles di pada tahun 1808-1809, yang meninggalkan luka yang mendalam bagi rakyat? Apa yang membedakan proyek besar infrastruktur pemerintah Jokowi-JK ini dengan program MP3EI pemerintah SBY yang dijalankan dengan skema PPP (Private-Public Partnership) yang merampas tanah rakyat, bergantung pada modal swasta-asing dan menjadikan wilayah Indonesia dikapling-kapling oleh kepentingan asing.
Dalam program kedaulatan pangan, rencana Jokowi-JK masih menyandarkan penyelesaian krisis pangan kepada pengusaha Importir dan belum merancang kedaulatan pangan yang sesungguhnya. Pemenuhan kebutuhan pangan rakyat tetap disandarkan atas impor pangan dengan melakukan perbaikan kebijakan impor pangan melalui pemberantasan "Mafia". Hal ini tidak akan membebaskan petani dari serbuan produk pertanian impor (gula, gandum, kedelai, beras dan buah-buahan) yang sangat merugikan produk pertanian nasional; sebaliknya Jokowi-JK akan menggenjot eksport produk pertanian dan menjadikannya sebagai barang dagangan (komoditas). Bila demikian halnya, kapan kedaulatan pangan bisa dicapai?
Apakah Jokowi-JK akan membangun pertanian massal dalam bentuk perkebunan skala besar (food-estates) seperti MIFEE yang dijalankan oleh pemerintahan SBY di tanah Papua dan telah ditolak oleh rakyat?
Meskipun Jokowi-JK belum memerintah, namun kaum tani Indonesia tidak boleh diam menunggu apa program nyata Land-reform Jokowi-JK setelah dilantik sebagai Presiden-Wakil Presiden pada bulan Oktober nanti. Kaum tani Indonesia harus terus memperkuat organisasi tani sebagai alat perjuangan massa, memperkuat persatuan rakyat dan tanpa henti mengkampanyekan tuntutan politik “Laksanakan Land-reform Sejati” sebagai kepentingan khusus kaum tani dan aspirasi umum rakyat Indonesia.
IV. Kesimpulan-kesimpulan Pokok
- Pemerintah SBY selama 10 tahun berkuasa telah mengalami kegagalan total dalam meningkatkan kesejahteraan hidup kaum tani dan rakyat Indonesia. Kegagalan yang utama disebabkan karena pemerintah SBY lebih mengutamakan kepentingan kapitalis monopoli asing dan klas-klas penyokongnya didalam negeri (borjuasi komprador dan tuan tanah) melalui berbagai kebijakan neo-liberal yang dijalankannya. 10 tahun Pemerintah SBY telah berlaku sepenuhnya sebagai kelanjutan pemerintah pelayan imperialis sebelumnya, sejak Pemerintah Fasis Soeharto hingga pemerintah SBY, sehingga merugikan kepentingan umum rakyat Indonesia.
- Bukti nyata kegagalan 10 tahun pemerintah SBY adalah maraknya perampasan tanah rakyat yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar milik tuan-tanah besar, borjuasi komprador dan imperialis untuk pembukaan perkebunan skala besar, taman nasional, pertambangan dan pembangunan infrastruktur. Perampasan tanah ini telah menjadi “ibu kandung” masalah penderitaan kaum tani yang melahirkan kehancuran kedaulatan pangan nasional karena terampasnya alat produksi pertanian kaum tani. Situasi ini diperburuk dengan semakin mahalnya harga benih, pupuk, obat-obatan, tingginya bunga utang, dan rendahnya harga hasil pertanian. Liberalisasi pertanian yang dilakukan oleh pemerintah SBY juga telah menciptakan ketergantungan impor atas pangan yang semakin tinggi, menyempurnakan penderitaan kaum tani dan menciptakan ironi atas negeri agraris yang subur dan kaya-raya ini.
- 10 tahun pemerintahan SBY juga gagal total dalam menjalankan program Land-reform karena Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) pemerintah SBY adalah program Land-reform palsu dalam skema imperialis yang bukan aspirasi kaum tani dan rakyat Indonesia. Pemerintah SBY juga tidak mampu membentuk suatu badan pemerintahan dalam menjalankan program land-reform yang menjadi aspirasi umum kaum tani dan rakyat Indonesia ini. Akibatnya, tidak ada satu pun kasus perampasan tanah yang melahirkan sengketa agraria yang sangat luas terjadi di hampir semua pulau dan melahirkan banyak korban jiwa yang berhasil diselesaikannya. Pemerintah SBY telah menciptakan nasib kaum tani terampas dan terusir diatas tanah-airnya sendiri, sehingga kaum tani semakin miskin dan tertindas.
- Jokowi-JK sebagai pasangan terpilih pemilu presiden 2014 harus mengambil pelajaran berharga atas kegagalan total program land-reform palsu (PPAN) pemerintah SBY. Program land-reform Jokowi-JK yang tertuang dalam Visi-Misi pada masa kampanye, belum menunjukkan perbedaan mendasar, bahkan memiliki kesamaan dengan PPAN (Program Pembaruan Agraria Nasional) pemerintah SBY yang telah terbukti gagal total, seperti kebijakan membagi tanah 8,15 juta hektar. Satu sisi kita patut memuji keinginan pemerintah JKW-JK menjalankan program Land-reform dengan membagi tanah seluas 9 juta hektar, meningkatkan akses kepemilikan tanah petani gurem dari 0,3 ha menjadi 2 ha per KK tani sebagaimana amanat UUPA, dan pembukaan 1 juta hektar pertanian lahan kering diluar Jawa-Bali. Namun program ini akan sia-sia bila tidak diiringi tekad yang kuat untuk menghentikan atau mengurangi perampasan tanah yang massif selama periode Pemerintah SBY dan masih berjalan hingga sekarang; maupun menyelesaikan kasus perampasan tanah (sengketa agraria) yang telah menimbulkan korban jiwa, kekerasan dan penderitaan bagi kaum tani sebagai mayoritas rakyat Indonesia.
- Kaum tani dan rakyat Indonesia juga akan sangat kecewa dan marah bila pemerintah JKW-JK tidak membentuk suatu badan dalam pemerintahannya yang baru, suatu kementerian agraria sebagai bukti konkret kehendak politik untuk mengatur kekacauan masalah pertanahan; seperti mencabut berbagai regulasi yang menjadi dasar perampasan tanah, mengontrol kewenangan berbagai kementerian-departemen dan pemerintah daerah yang selama ini memberi andil besar maraknya perampasan tanah, menyelesaikan sengketa agraria dan menjalankan program Landreform sejati secara konsekwen.
V. Tuntutan Kaum Tani Indonesia
- Laksanakan Program Land-reform:
- Hentikan perampasan tanah bagi perkebunan besar, taman nasional, pertambangan dan infrastruktur.
- Bagikan tanah untuk buruh tani dan tani miskin.
- Naikkan upah buruh-tani.
- Turunkan harga-harga sarana produksi pertanian: bibit, pupuk, dan obat-obatan.Turunkan riba hutang bagi modal usaha tani.
- Bangun dan perbaiki irigasi yang rusak.
- Bangun Industri Nasional untuk menyediakan teknologi pertanian.
- Naikkan harga hasil produk pertanian.
- Batalkan seluruh perjanjian liberalisasi sektor pertanian yang telah terbukti merugikan kaum tani Indonesia.
3. Bentuk Komisi DPR bidang Pertanahan dan sumber kekayaan alam yang mengontrol pelaksanaan program Landreform.
4. Tolak pencabutan subsidi energi dan kenaikan Tarif Dasar Listrik, Gas-Elpiji dan BBM.
LAND-REFORM, TANAH UNTUK RAKYAT!!
TAK ADA DEMOKRASI TANPA LAND-REFORM!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar