Rabu, 10 September 2014

KOPI CAPING GUNUNG Upaya Peningkatan Ekonomi Anggota


Kopi Caping Gunung.
Caping gunung begitulah kata yang tepat untuk mempresentasikan makna asal muasal dari kopi yang diproduksi oleh AGRA Lampung. Caping gunung berusaha menggambarkan bahwa cita rasa kopi lampung yang khas dan digemari oleh setiap orang adalah hasil perjuangan yang keras dan panjang dari kawan-kawan petani penggarap yang bermukim didaerah way kutu way sabu gunung pesawaran provinsi lampung. 

Perjuangan Petani Penggarap Way Sabu dan Way Kutu
Way Kutu dan Way Sabu didiami oleh berbagai suku bangsa seperti orang Semendo dari Sumatera Selatan, orang lampung, orang Jawa, dan orang Sunda. Mereka datang pertama kali sebagai peladang pada tahun 1964 dan mulai membangun perkampungan tahap demi tahap karena keterbatasan tanah dan mata pencaharian untuk menghidupi keluarga di tempat terdahulu. Mereka hidup sebagai petani berladang dan kebun. Menanam padi untuk dimakan sendiri dan menanam berbagai tanaman komoditas untuk menambah penghasilan terutama kopi, lada dan cengkeh. Akan tetapi seiring dengan perubahan zaman, penanaman padi ladang semakin terbatas, demikian pula dengan cengkeh dan lada mengalami kemerosotan yang tajam. Saat ini tanaman yang paling luas dan menjadi sandaran hidup adalah kopi dan coklat serta beberapa tanaman cadangan seperti pisang, lada dan cabai.

Sejak pengusiran tersebut mayarakat petani penggarap Way Kutu dan Way Sabu terpaksa hidup jauh dari “tanah harapannya” hingga tahun 1998. Berkat gerakan rakyat Mei 1998, pemerintah Fasis Suharto dapat dijatuhkan. Hasil-hasil gerakan tersebut telah memberikan jalan bagi Petani pengMasyarakat Petani penggarap way kutu dan way sabu pada tahun 1990-1992 mengalami pengusiran paksa melalui program transmigrasi lokal dan pembuatan Taman Hutan Raya (TAHURA) Wan Abdurrahman untuk kepentingan pengusaha besar pemegang Hak Penebangan Hutan dan Hak Pengelolaan Hutan Tanaman Industri (HPH dan HP-HTI)) yang belakangan dijadikan perkebunan-perkebunan besar monopoli. Sehingga “hutan kecil” yang didiami masyarakat harus diambil untuk tetap menunjukkan seolah-olah pemerintah adalah “pelestari alam.” 

Petani penggarap Way Kutu dan Way Sabu yang hidup terpencar untuk kembali ke daerah yang telah dibangunnya sejak tahun 1964. Perpindahan tersebut berlangsung secara bertahap dan dimulai oleh mereka yang telah pulih keberaniannya berkat gerakan rakyat yang besar selama masa penjatuhan Suharto. Petani penggarap way kutu dan way sabu kembali ke kebun mereka merubah belatara dan belukar menjadi tanah harapnya.

Setelah kembali dan menetap hingga saat ini perjuangan petani penggarap way kutu dan way sabu belum berakhir. Pemerintah melalui Dinas Kehutanan (Dishut) dan UPTD tidak pernah berhenti mengusahakan pengusiran petani penggarap dari pemukiman dan lahan garapannya. Lewat program Revitalisasi Kehutanan Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan program penanganan perubabahan iklim (RADD) yang disponsori oleh lembaga-lembaga imperialis seperti Bank Dunia. Sejak tahun 2009, Provinsi Lampung mendapat dana revitalisasi hutan sebesar 20 milyar untuk dua taman nasional dan satu Tahura. Program revitalisasi kehutanan ini dijalankan dengan membabi buta di pemukiman dan lahan-lahan garapan yang menjadi gantungan hidup petani penggarap. Di beberapa bagian Provinsi Lampung pemerintah mempromosikan Hutan Kemasyarakatan (HKm) untuk mengusir petani penggarap dari hutannya dan mendorong berbagai aktivitas seperti pembuatan kerajinan tangan yang sangat jauh dari harapan kaum tani yang menginginkan tanah garapan dan produksi bebas untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. 

Unit usaha kopi Caping Gunung sebagai perjuangan ekonomi mempertahankan tanah garapan Mengingat sejarah perjuangan petani penggarap Way Kutu dan Way Sabu yang sangat panjang dan meyakini bahwa perjuangan kedepan akan lama dan semakin keras maka dibutuhkan satu upaya ketahanan bagi petani penggarap secara ekonomi dalam perjuangan politiknya mempertahankan tanah harapannya. Maka upaya kerjasama ekonomi harus dimulai dan dilakukan secara bertahap sesuai dengan keadaan dan kesanggupan dari organisasi kaum tani. 

Hal inilah yang menjadi dasar dimulainya usaha produksi kopi Caping Gunung oleh AGRA Lampung. Kopi Caping Gunung adalah representasi kerjasama kaum tani dari setiap anggota dan organisasi disetiap tingkatannya. Ada kontribusi atas usaha disetiap bagian organisasi yang berlandaskan prinsip saling menguntungkan antar tingkatan organisasi.

Proses awal tentu saja kopi Caping Gunung dihasilkan dari tangan-tangan terampil yang bertahun tahun menanam dan memetik kopi secara baik. Biji kopi pilihan tersebut dibeli dengan harga yang berlaku umum yaitu berkisar antar 22-23 ribu rupiah per kg. kopi pilihan tersebut selanjutnya akan diproses dengan digoreng  secara tradisional. Proses penggorengan kopi memerlukan keahlian dan kejelian dalam menetapkan warna hasil gorengan kopi yang akan mempengaruhi pada aroma dan cita rasa yang dihasilkan kopi pada saat digiling dan dikonsumsi. Untuk proses penggorengan dan penggilingan ini diserahkan pada organisasi tingkat ranting dengan penggantian biaya proses penggorengan dan giling sebesar 22-23 ribu per kg. Setelah kopi digiling kopi akan diserahkan ke organisasi tingkat cabang/wilayah untuk dikemas dan di pasarkan pada konsumen. 1 kg kopi murni dibutuhkan biaya 45 ribu rupiah ditambah biaya pengemasan 3 ribu rupiah dengan harga jual ditingkat konsumen 60 ribu rupiah per kg berarti dari setiap kg-nya organisasi tingkat cabang/wilayah bisa mendapatkan keuntungan 12 ribu rupiah per kg.

Proses produksi kopi Caping Gunung telah dimulai tanggal 30 maret 2014 yang lalu bahkan untuk peresmiannya di Launching di perancis tanggal 6 mei 2014 oleh kawan Oki Hajiansyah Wahab yang kebetulan melakukan studi karya ilmiah disana. Hingga saat ini kopi Caping Gunung sudah dipasarkan dibeberapa kota besar seperti Medan, Semarang dan Jakarta. 

Upaya pemasaran dilakukan lewat media social, jaringan pertemanan dan yang paling efektif tentu saja dengan upaya penawaran langsung pada setiap person dan lembaga untuk menjadi langganan tetap konsumen kopi Caping Gunung. Hingga saat ini tercatat sudah ada 20  konsumen tetap baik itu personal maupun lembaga yang berlangganan setiap bulannya. Jika dinilai dari hasil keuntungan yang didapat memang masih kecil tapi proses belajar dan pemahaman sebagai sebuah usaha kerjasama ekonomi  bersama itu adalah hal yang tak ternilai harganya. Mengutip kalimat yang sering diucapkan beberapa kawan..”kita tidak akan pernah bisa mengurus hal-hal besar jika kita tidak memulainya dari hal yang kecil”.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar