Bentrok kembali pecah antara petani Polongbangkeng Utara Kabupaten Takalar-Sulawesi Selatan dengan Aparat Brimob dan TNI pada Selasa 14 Oktober 2014 lalu. Bentrokan ini ini terjadi karena pihak PTPN XIV kembali secara paksa mengolah lahan yang menjadi sengkata dan saat ini telah ditanami tanaman pangan oleh petani kecamatan Polongbangkeng utara yang tergabung dalam Serikat Tani Polongbangkeng (STP) dan bagian dari anggota Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA).
Rahmat selaku sekertaris Jenderal Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) menyayangkan terjadi bentrokan lagi, ‘bentrok dengan Aparat sudah sangat sering terjadi sepanjang konflik ini” setidaknya terdapat tiga kali bentrok yang cukup besar, yakni pada tahun 2009 bentrok terjadi mengakibatkan 10 orang terkena tembak dan 9 orang ditangkap, tahun 2013 bentrok kembali terjadi dan mengakibatkan 1 orang petani luka tembak pluru tajam Brimob. Sebenarnya bentrokan semacam ini bisa dihindari kalau pihak PTPN XIV tidak mengerahkan Brimob (polisi dan TNI) untuk memaksa mengelola lahan yang menjadi sengketa terlebih telah ada kesepakatan untuk segera menyelesaikan konflik yang difasilitasi oleh pemerintah daerah provinsi Sulawesi Selatan.
Konflik tanah dan agraria terus meningkat jumlahnya, AGRA mencatat selama pemerintahan SBY, jumlah konflik mencapai 1.379 yang meliputi konflik perkebunan, pertambangan, infrastruktur, dan kelautan. Luasan konflik mencapai 5.686.322, 15 hektare, dengan melibatkan lebih dari 922.781 kepala keluarga. Akibatnya tidak kurang dari 1.180 petani dikriminalisasi, 556 luka-luka dan 65 orang meninggal dunia, tentu catatan ini jauh dengan fakta dilapangan sebab tidak semua konflik dan korban mampu untuk didata oleh AGRA. Karenanya Jokowi-JK setelah dilantik nanti harus memprioritaskan penyelesaian konflik agraria yang terjadi, apalagi Jokowi telah menjajinkan akan menjalankan program Land Reform. bagamana bisa menjalankan progran Land Reform jika konflik yang ada saja tidak diselesaikan Pungkas Rahmat.
Konflik antara petani Polongbangkeng Utara dengan PTPN XIV berawal adanya pengambilalihan lahan pertanian milik warga masyarakat dengan cara pembebasan lahan pada tahun 1978-1979 oleh PT. Madu Baru dan tahun 1982, pembebasan lahan dilanjutkan oleh PTP XXIV-XXV. Selanjutnya tahun 1996 pemerintah mendirikan PTPN XIV yang hingga kini menguasai lahan tersebut. Proses pembebasan lahan dilakukan dengan cara manipulasi dan intimidasi, melalui operator lapangan pihak PTPN menipu masyarakat dengan menyatakan tanahnya disewa untuk perkebunan tebu dan pabrik gula selama 25 tahun dan berakhirnya tahun 2006. Setelah 25 tahun menunggu ternyata lahan tidak dikembalikan, sehingga masyarakat mulai mempertanyakan dan meminta lahan dikembalikan. Namun, pihak perusahaan tidak memenuhi permintaan masyarakat, bahkan mempertahankan. Akhirnya masyarakat mulai melakukan penguasaan dan mengelola lahan sebagai lahan pertanian sejak tahun 2012 hingga sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar