Gagasan pemerintah untuk membentuk bank tanah semakin kuat, selain bank tanah, pemerintah melalui menteri keuangan, juga akan membentuk bank infrastruktur. Bank tanah dirasa penting kehadirannya untuk dapat lebih menjamin ketersedian tanah bagi proyek dan investasi. Pemerintah menilai, selama ini pembebasan tanah menjadi masalah utama dalam penyediaan tanah untuk kepentingan proyek dan investasi, karena selain mendapat penolakan dari masyarakat, harga tanah yang juga cukup tinggi.
Undang-undang nomor 2 tahun 2012 tentang pengadaan tanah untuk pembangunan bagi kepentigan umum, sesunguhnya tidak hanya menjamin ketersedian tanah untuk kepentingan pemerintah semata, tetapi juga mengakomodir kepentingan swasta. Namun ini dirasa belum cukup sehingga penting membentuk badan khusus yang diberi nama Bank Tanah.
Konsep pembangunan bank tanah secara khusus ditujukan untuk menyediakan tanah siap bangun baik secara fisik maupun secara adminstrasi, yaitu melalui sertifikasi atas tanah. Pada era SBY, program sertifikasi tanah dikemas dalam progra Pembaruan Agraria Nasional (PPAN). Begitu juga dalam era pemerintahan Jokowi, program ini dikemas dengan sebutan Land Reform, yang sudah dijalankan dengan membagikan sertifikat tanah kepada masyarakat di Kalimantan Tengah belum lama ini.
Menurut Sekretaris Jenderal (Sekjen) Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), Rahmat, konsep bank tanah bisa saja segera direalisasikan oleh pemerintahan Jokowi-JK, terlebih pembentukannya mendapat desakan yang sangat kuat, terutama dari para pengusaha. “Kami menilai ide konyol ini harus dihentikan, konsep bank tanah tak-ubahnya sebagai calo tanah dan akan merampas tanah-tanah rakyat,” ujar Rahmat.
Bank tanah dibentuk hanya untuk mempermudah pembebasan tanah dan sebagai langkah pemerintah melepaskan tanggung jawab dari dampak sosial yang diakibatkan oleh proyek pembangunan maupun investasi lainnya. Seharusnya pemerintah mencari solusi yang tepat didalam memecahkan masalah pembangunan, juga melihat kenyataan mengapa masyarakat menolak pembebasan lahan. Pemerintah harus mengetahui bagaimana keadaan petani dan rakyat di Indonesia secara objektif.
Mayoritas penduduk Indonesia, khususnya petani, yang sebagian besar adalah petani gurem atau petani yang tak bertanah serta petani yang memiliki tanah sangat sempit, namun lahan tersebut sangat penting bagi kelangsungan hidupnya, jika kehilangan atau terusir dari tanahnya, sama artinya dengan kehilangan hidup yang sudah lama mereka jalani. Dalam banyak kasus, hal ini tidak pernah menjadi pertimbangan pemerintah ketika melakukan pembebasan lahan. Masyarakat hanya mendapatkan ganti rugi semata, tanpa dipikirkan dampak yang dialami masyarakat setelah kehilangan tanahnya dan bagaimana mereka melanjutkan kehidupan.
Kenyataan lain, ada segelintir orang yang diberikan kekuasaan oleh pemerintah untuk memonopoli tanah yang sangat luas. Sebagai contoh, 29 taipan diberikan penguasaan tanah oleh pemerintah seluas 5,1 juta ha atau hampir setengah dari Pulau Jawa dan mendapatkan kekayaan Rp. 922,3 Triliun atau hampir setengah dari APBN dan 2/3 lebih besar dari pendapatan seluruh penduduk Indonesia? Disinilah letak ketidakadilan terjadi. (sumber: http://m.tempo.co/read/29-Taipan-Sawit-Kuasai-Lahan-Hampir-Setengah-Pulau-Jawa)
Lebih lanjut, Rahmat menegaskan bahwa ide pemerintahan Jokowi untuk membentuk bank tanah hanya akan semakin memperbanyak perampasan tanah terhadap rakyat dan semakin meningkatkan monopoli atas tanah oleh seglintir orang. Dengan kata lain, pembangunan bank tanah dan bank infrastruktur oleh pemerintahan Jokowi-JK, hanya akan melahirkan kemiskinan yang semakin luas. Seharusnya Jokowi-JK melakukan perombakan total terhadap penguasaan tanah dan sumber agraria di Indonesia untuk kepentingan dan kesejahteraan seluruh rakyat.
Jadi dapat disimpulkan bahwa baik PPAN oleh SBY dan Land Reform yang dicanangkan oleh Jokowi, bukanlah Land Reform yang sebenarnya. Dua program itu merupakan bentuk penipuan negara terhadap perampasan tanah, yang berkedok kebijakan publik.
Cp : Rahmat Sekjen Aliansi Gerkana Reforma Agraria (AGRA) +62 82110857684
Undang-undang nomor 2 tahun 2012 tentang pengadaan tanah untuk pembangunan bagi kepentigan umum, sesunguhnya tidak hanya menjamin ketersedian tanah untuk kepentingan pemerintah semata, tetapi juga mengakomodir kepentingan swasta. Namun ini dirasa belum cukup sehingga penting membentuk badan khusus yang diberi nama Bank Tanah.
Konsep pembangunan bank tanah secara khusus ditujukan untuk menyediakan tanah siap bangun baik secara fisik maupun secara adminstrasi, yaitu melalui sertifikasi atas tanah. Pada era SBY, program sertifikasi tanah dikemas dalam progra Pembaruan Agraria Nasional (PPAN). Begitu juga dalam era pemerintahan Jokowi, program ini dikemas dengan sebutan Land Reform, yang sudah dijalankan dengan membagikan sertifikat tanah kepada masyarakat di Kalimantan Tengah belum lama ini.
Menurut Sekretaris Jenderal (Sekjen) Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), Rahmat, konsep bank tanah bisa saja segera direalisasikan oleh pemerintahan Jokowi-JK, terlebih pembentukannya mendapat desakan yang sangat kuat, terutama dari para pengusaha. “Kami menilai ide konyol ini harus dihentikan, konsep bank tanah tak-ubahnya sebagai calo tanah dan akan merampas tanah-tanah rakyat,” ujar Rahmat.
Bank tanah dibentuk hanya untuk mempermudah pembebasan tanah dan sebagai langkah pemerintah melepaskan tanggung jawab dari dampak sosial yang diakibatkan oleh proyek pembangunan maupun investasi lainnya. Seharusnya pemerintah mencari solusi yang tepat didalam memecahkan masalah pembangunan, juga melihat kenyataan mengapa masyarakat menolak pembebasan lahan. Pemerintah harus mengetahui bagaimana keadaan petani dan rakyat di Indonesia secara objektif.
Mayoritas penduduk Indonesia, khususnya petani, yang sebagian besar adalah petani gurem atau petani yang tak bertanah serta petani yang memiliki tanah sangat sempit, namun lahan tersebut sangat penting bagi kelangsungan hidupnya, jika kehilangan atau terusir dari tanahnya, sama artinya dengan kehilangan hidup yang sudah lama mereka jalani. Dalam banyak kasus, hal ini tidak pernah menjadi pertimbangan pemerintah ketika melakukan pembebasan lahan. Masyarakat hanya mendapatkan ganti rugi semata, tanpa dipikirkan dampak yang dialami masyarakat setelah kehilangan tanahnya dan bagaimana mereka melanjutkan kehidupan.
Kenyataan lain, ada segelintir orang yang diberikan kekuasaan oleh pemerintah untuk memonopoli tanah yang sangat luas. Sebagai contoh, 29 taipan diberikan penguasaan tanah oleh pemerintah seluas 5,1 juta ha atau hampir setengah dari Pulau Jawa dan mendapatkan kekayaan Rp. 922,3 Triliun atau hampir setengah dari APBN dan 2/3 lebih besar dari pendapatan seluruh penduduk Indonesia? Disinilah letak ketidakadilan terjadi. (sumber: http://m.tempo.co/read/29-Taipan-Sawit-Kuasai-Lahan-Hampir-Setengah-Pulau-Jawa)
Lebih lanjut, Rahmat menegaskan bahwa ide pemerintahan Jokowi untuk membentuk bank tanah hanya akan semakin memperbanyak perampasan tanah terhadap rakyat dan semakin meningkatkan monopoli atas tanah oleh seglintir orang. Dengan kata lain, pembangunan bank tanah dan bank infrastruktur oleh pemerintahan Jokowi-JK, hanya akan melahirkan kemiskinan yang semakin luas. Seharusnya Jokowi-JK melakukan perombakan total terhadap penguasaan tanah dan sumber agraria di Indonesia untuk kepentingan dan kesejahteraan seluruh rakyat.
Jadi dapat disimpulkan bahwa baik PPAN oleh SBY dan Land Reform yang dicanangkan oleh Jokowi, bukanlah Land Reform yang sebenarnya. Dua program itu merupakan bentuk penipuan negara terhadap perampasan tanah, yang berkedok kebijakan publik.
Cp : Rahmat Sekjen Aliansi Gerkana Reforma Agraria (AGRA) +62 82110857684
Tidak ada komentar:
Posting Komentar