PROFIL EVAN JENIHIN
Evan Jenihin, 28 Tahun
Pemuda suku Dayak Punan Hovongan, Penderita Kangker Usus
I. DATA DIRI DAN KELUARGA
Nama Lengkap : Evan Jenihin
Tempat dan tanggal lahir : Nanga Lapung, 05 Mei 1985
Alamat: Dusun_Nanga Lapung, Desa Bungan Jaya, Kecamatan Putussibau, Kabupaten Kapuas Hulu-Kalimantan Barat
Agama : Kristen
Evan Jenihin adalah seorang petani miskin di dusun Nanga Lapung, desa Bangun Jaya, Putussibau, yakni satu daerah pedalaman di kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Pemuda tani ini adalah salah satu angggota dari masyarakat adat suku Punan Hovongan (salah satu sub suku dayak) yang sejak turun temurun menempati belantara Kapuas Hulu, yang dikelilingi pegunungan_pegunungan besar dan dilingkari dengan sungai_sungai deras nan terjal sebagai tempat tinggal dan sumber pencahariannya bersama keluarga dan anggota sukunya.
Pemuda tani kelahiran Nanga Lapung tahun 1985 ini adalah kepala keluarga dari seorang istr (Luwuk, 26 Tahun), gadis desa sesukunya (Punan Hovongan) yang dinikahi delapan tahun silam. Atas pernihakannya, Jenihin dan Luwuk dikaruniai seorang Putra (Kevin, 6 tahun), yakni seorang anak yang cerdas, khususnya bagi seorang anak yang lahir dan tumbuh di daerah pedalaman yang jauh dan tidak tersentuh dengan pembangunan. Selain bagi anak dan istrinya, Jenihin juga sebagai tulang punggung keluarga bagi Ibu, Bapak, Saudara serta Kakeknya (Mantan Kepala Suku Hovongan Sejak Jaman kolonialisme Belanda)
Sebagai seseorang yang lahir dan tumbuh dialam bebas dan terbiasa hidup didataran hutan dan pegunungan serta sungai_sungai yang panjang dan lebar, Jenihin memiliki tubuh yang kekar dan fisik yang bugar, sehingga Diapun sesungguhnya orang yang cukup berbakat diberbagai bidang oleh raga. Khususnya di Wilayah Kapuas Hulu, Jenihin cukup terkenal sebagai seorang olahragawan yang sangat pandai bermain volley ball, karena jasanya yang beberapa kali membawa kemenangan bagi teamnya dalam berbagai kejuaraan, khususnya ditingkat kabupaten mapun provinsi. Oleh keluarga dan masyarakat “terutama” sesukunya, Jenihin juga terkenal sebagai seorang pemuda Nasrani yang taat dan berbudi pekerti baik, sabar dan ramah.
II. Jenihin bersama Alam dan Masyarakatnya (Keadaan Sosial)
A. Jenihin dan Alamnya
Bagian ini menceritakan bagaimana Jenihin dengan Alamnya ditengah belantara yang lestari, gunung-gunung perkasa dan sungai-sungai terjal yang jernih.
Tanjung Lokang adalah desa perbatasan Provinsi Kalimantan Barat dengan provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur serta dengan negara Malaysia. Ia terdiri dari tiga dusun kecil yang berpencar_pencar. Menurut pembagian administratif oleh pemerintah, desa memiliki perbatasan administratif di sebelah barat dengan desa Kreho_Sepan dan Salin, sebelah timur berbatasan dengan Provinsi Kalimantan Timur, sebelah utara dengan desa Bungan Jaya dan sebelah selatan dengan Negara Malaysia. Akan tetapi, sejak adanya sistem zonanisasi oleh Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK) batas adminsitratif desa sudah lenyap dalam kenyataannya (lihat Peta Zonanisasi TNBK). Sebab baik sebelah barat, selatan maupun timur desa ini telah dibatasi oleh Zona Pemanfaatan, Zona Rimba dan Zona Inti TNBK.
Di masa lalu pada saat mereka kembali ke desa dari Putussibau, Orang Hovongan melayari sungai Bungan dengan perahu panjang berikat rotan dan dayung panjang melawan derasnya arushingga berhari_hari menyusuri tepian sungai. Saat ini, perahu_perahu panjang tersebut telah menggunakan tenaga mesin tempel (speed) berkekuatan 15 dan 40 tenaga kuda. Dari Putusibbau ke Tanjung Lokang membutuhkan waktu sekitar delapan jam, tergantung dari berat atau tidaknya beban (muatan) yang dibawa. Motorist (pengemudi perahu) adalah mereka yang terlatih melewati batu_batu besar yang terbenam dalam air, juga riam_riam sempit dan berarus deras yang sudah menunggu mulai dari Nanga Lapung menuju Nanga Bungan.
Orang Hovongan yang tinggal di Tanjung Lokang biasanya bermalam di Nanga Lapung atau Nanga Bungan bila didalam perjalanan, senja mendahuluinya. Perjalanan kemudian baru dilanjutkan keesokan harinya. Bila air besar atau pasang mereka harus menunggu lebih lama, sementara bila musim kemarau tiba, perahu harus ditarik melewati bagian sungai yang dangkal agar tidak merusak bagian bawah perahu.
Bila tidak ada alasan yang sangat kuat, rasanya mustahil sekelompok manusia mendiami daerah ini. Mengapa Orang Hovongan bertahan hidup di daerah yang sangat sulit, penuh bahaya, sangat mahal dan tanpa sentuhan pembangunan ini?
Nanga Lapung, Tanjung Lokang adalah daerah yang telah didiami oleh masyarakat Hovongan turun_temurun berabab_abad lamanya. Masyarakat Hovongan sangat meyakini bahwa alam dan tanah yang diwariskan leluhurnya adalah sumber penghidupan utama bagi mereka. Karenanya, setidaknya terdapat dua Ikatan kuat mereka (Masyarakat Hovongan) terhadap tanah warisan leluhurnyalah, pertama_tama yang membuat mereka bertahan ditempat tersebut. Dapat dikatakan bahwa sertifikat tanah mereka adalah darah nenek moyang yang mengalir dalam tubuh_tubuh orang Hovongan masa kini, sebagaimana darah nenek moyang yang telah mengalir menyuburkan tanah ini selama berabad_abad lamanya. Kedua, tentu saja ikatan ekonomi. Sesulit apapun alamnya, orang Hovongan akan tetap bertahan hidup disitu sebab sumber penghidupan satu_satunya hanya ada disitu, demikian pula kemampuan dan pengalaman bertahun_tahun bergantung hidup pada alam hanya berguna disitu. Demikian pula dengan ikatan politik dan kebudayaan yang telah mereka ciptakan selama berabad_abad lamanya, bukan perkara mudah untuk ditinggalkan, sebab hal itu telah menjadi jati diri orang Hovongan.
Hutan belantara yang ada di sekitar desa Tanjung Lokang adalah bagian dari bentang pegunungan Muller yang perkasa dan menjadi salah_satu hutan tropis basah terbaik di Indonesia. Hutan ini tetap terpelihara dengan baik karena pemanfaatan yang sangat bijaksana oleh Orang Hovongan. Sistem perladangan bergilir (umumnya disebut: perladangan berpindah) diterapkan, sama sekali tidak memberikan dampak perusakan ekosistem hutan alamiah. Hanya dalam rentang waktu satu hingga dua tahun ibut (bekas ladang) telah menjadi belantara. Hal ini tentu saja berlainan dengan jutaan hektar hutan yang diberikan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) atau Ijin Pemanfaatan Hutan (IPK) serta pertambangan besar milik investor asing (kapitalisme monopoli) dan kaki tangannya di Indonesia.
Berbagai jenis kayu hutan tumbuh kuat di gunung dan perbukitan. Kayu_kayu seperti kayu meranti, belian, tomirisi, heng, dan tekam adalah kayu_kayu terbaik tak ada duanya di dunia. Orang hovongan memanfaatkan kayu tersebut sesuai keperluan hidupnya untuk membuat perahu dan rumah. Demikian pula dengan aneka jenis pandan, rotan dan bambu, bertahun_tahun lamanya, telah menjadi bahan utama pembuatan alat kerja seperti aneka jenis piso (keranjang), teat (keranjang panen), dan tikar. Mereka salah_satu seniman alamiah yang patut dibanggakan seperti sub suku Dayak lainnya.
Sungai_sungai besar seperti Sungai Bungan, Sungai Bulit, Sungai Buung, Sungai Langau, SungaiLea, Sungai Brui, Sungai Som, Sungai Ara Oka, Sungai Belatung dan Kovian Ane arusnya telah menyirami lembah_lembah dan menjadi penyubur ladang_ladang padi Orang Hovongan serta menjadi sarana transportasi yang tidak tergantikan hingga sekarang sekalipun riam_riam besar dan terjal tidak sanggup mengalahkan semangat hidup dan perjuangan Orang Hovongan.
Sungai_sungai tersebut juga telah melimpahkan berbagai jenis ikan batu dan air deras yang kaya protein. Ikan tersebut juga dimanfaatkan dengan sangat bijaksana sesuai dengan keperluanhidup keluarga. Akan tetapi belakangan, terutama ikan semak, mulai ditangkapi tidak hanya untuk dimakan sendiri akan tetapi diperdagangkan secara besar_besaran karena harganya yang meroket.
Mudah dipahami apabila investor asing maupun pemodal dalam negeri atau investor (borjuasi komprador) sangat menginginkan daerah ini termasuk menjadikannya sebagai Taman Nasional, baik untuk menarik dana dan proyek “pelestarian hutan” sebesar_besar serta bisnis terbaru penjualan karbon di bawah kontrol Bank Dunia. Ke depan “air liur” investor asing dan Indonesia akan menetes semakin deras setelah mengetahui potensi tambang mineral setelah kayu-kayu alamiah Kalimantan telah dieksploitasi menjadi bagian gedung pencakar langit di Jawa, Malaysia dan seluruh dunia dan menjadikan segelintir orang menjadi konglomerat terkaya di Indonesia dan dunia.
Emas, kuningan, bauksit, uranium, bijih besi, tembaga, timah, perak, gas alam, minyak bumi, gips, pasir besi, pasir batu, pasir putih, batu tras, mangan, dan alumunium. Dari sekian banyak sumber daya mineral tersebut, hanya emas yang dapat dimanfaatkan secara terbatas oleh suku Hovongan sejak pendulangan emas tradisional dikenal. Saat ini Orang Hovongan menghadapi resiko yang sangat berat untuk memperoleh sejumput emas tersebut. Tuduhan merusak lingkungan, perdagangan emas yang tidak adil, pemerasan, hingga operasi oleh aparat negara karena dianggap melakukan pertambangan emas secara liar (PETI). Jelas, Orang Hovongan bukanlah pemilik tanah ini dalam kenyataannya, sebab bukan orang Hovongan lagi yang berhak mengatakan mana yang liar dan mana yang tidak di atas tanah ulayat mereka sendiri.
Tidak hanya sumber daya mineral, aneka jenis binatang hidup dan berkembang biak bebas di daerah Orang Hovongan Tanjung Lokang ini. Babi, rusa, pelanduk dan berbagai binatang lainnya hanya dimanfaatkan sesuai dengan keperluas hidup mereka. Sepan adalah tempat paling spesial bagi orang Hovongan berburu. Air garam yang asin, di masa lalu juga digunakan sebagai sumber garam bagi nenek moyang orang Hovongan, sangat disukai oleh binatang dan berkumpul secara bergantian di tempat tersebut. Setiap orang Hovongan sangat antusias bercerita tentang sepan_sepan ini dan perburuannya, akan tetapi segera sesudah itu, mengungkapkan kecemasannya mengenai pelarangan berburu di sepan-sepan tersebut.
B. Jenihin dan Masyarakatnya
Jenihin bersama Orang Hovongan lainnya, saat ini dinaungi dalam satu Ketemenggungan yang meliputi dua desa yaitu Tanjung Lokang dan Bungan Jaya dengan tujuh dusun dengan total populasi 457 Jiwa. Akan tetapi melihat sebaran anak turunannya, maka dipastikan populasi suku ini jauh lebih besar dari itu, karena telah tersebar hingga ke desa lainnya di sepanjang sungai Bungan dan Kapuas serta Keriho, bahkan hingga pegunungan Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah, di mana mereka telah memiliki hubungan tradisi sejak lama. Banyak orang Hovongan Tanjung Lokang, terutama dari Buung dan Merarang Belatung yang pindah ke beberapa desa bahkan ke Putussibau. Seperti halnya perpindahan masyarakat lainnya di Indonesia yang banyak berpindah dari desa ke kota, dari pulau Jawa ke pulau lain, tidak satu pun perpindahan itu bersifat sukarela.
Bila sarana transportasi, sekolah, fasilitas kesehatan, listrik, terjamin keamanan dan tidak ada kecemasan akan terampas sumber penghidupan, tidak satupun orang Hovongan yang bersedia meninggalkan tanah leluhurnya. Sebagaimana orang Jawa, tak ada satupun yang bersedia meninggal pulau yang sangat subur dan indah itu bila tanah ada dan pekerjaan tersedia. Sekali lagi, perpindahan itu sangat terpaksa karena tidak adanya bantuan dan bimbingan bagi rakyat untuk memajukan kehidupan di tempatnya masing_masing. Sebaliknya, yang berkembang adalah perampasan tanah dan harta benda yang semakin merajalela. Seringkali keadaan yang sulit yang justru dijadikan alasan untuk memindahkan masyarakat dari tanahnya sendiri bukan dibantu untuk maju.
Suku Hovongan atau selanjutnya disebut juga orang Hovongan adalah salah satu sub suku dari suku Dayak yang mendiami pulau Kalimantan berabad_abad lamanya. Dilihat dari berbagai ciri etno_lingusitiknya mereka adalah rumpun sub suku Dayak yang telah dikenal luas dengan nama suku Punan. Akan tetapi karena keterpencaran dan keterisolasian dalam waktu yang lama Orang Hovongan memiliki ciri_ciri khusus yang membedakannya dengan Orang Puan pada umumnya. Suku Dayak secara keseluruhan adalah keturunan dari ras Melayu Tua (Proto Melayu)rumpun Austronesia yang berasal dari Yunan Utara, Tiongkok, pada tahun 2000 Sebelum Masehi (SM). Ras Melayu Tua ini juga menjadi nenek moyang bagi suku Batak di Sumatera Utara, Sakai di Riau, Orang Rimba (wong rimbo) di Jambi, hingga orang Ilocos di Piliphina. Kesamaan berbagai bentuk fisik, kebudayaan hingga bahasa dan alat musik masih dapat dilihat dari rumpun ras ini sekalipun telah mengalami percampuran baik karena perkawinan maupun interaksi yang sangat erat dalam rentang waktu berabad-abad lamanya.
Sebagai sebuah sub suku Orang Hovongan memiliki ciri yang lahir dari cara hidup, sistem politik bahkan sistem kebudayaannya sendiri. Keadaan alam juga telah menempa bentuk fisik dan kekuatan Orang Hovongan. Akan tetapi, tidak terbantahkan bahwa, Orang Hovongan adalah bagian dari Orang Dayak yang merupakan anak turun dari ras Melayu Tua dari Yunan Utara.
Jauh sebelum kedatangan kolonial Belanda dan kemerdekaan Indonesia, suku Hovongan telah memiliki sistem politik sendiri yang dapat memimpin sukunya sendiri dengan baik. Sekalipun telah mengalami perubahan karena penjajahan kolonial Belanda dan Jepang serta pengaruh sistem politik pemerintah pusat, sistem kepemimpinan adat yang dapat disebut sebagai sistem politik suku Hovongan masih berlaku hingga saat ini. Termasuk bagi mereka yang tinggal di Tanjung Lokang.
III. KEADAAN EKONOMI
Berada di tengah rimba belantara yang sangat kaya, tidak serta membuat hidup suku Hovongan mengalami kemajuan. Mereka tetap hidup dengan sangat sederhana dan penuh perjuangan untuk bertahan hidup. Sekarang ini mereka tidak hanya menghadapi tantangan alam yang sangat berat seperti sungai dan riam, akan tetapi sumber penghidupan dan pengetahuan yang serba terbatas tersebut harus berhadap_hadapan dengan berbagai kebijakan dan peraturan sepihak dari negara. Hidup mereka bahkan jauh dari gemerlap emas yang menjadi sumber penghidupan utamanya sekarang di samping berladang. Bahkan penghasilan yang cukup besar dari kerja emas “hanya mampir” sebentar di rumah, sementara sebagian besarnya telah ikut memberikan kemakmuran bagi masyarakat yang ada di luar daerah terutama para pedagang minyak, mesin dan perlengkapan, pedagang emas dan berbagai keperluan hidup di Putussibau.
Setelah mengalami perubahan dalam rentang waktu yang panjang, penghidupan ekonomi Orang Hovongan yang mendiami Tanjung Lokang saat ini berlaku sistem ekonomi campuran (Mix Economy System). Di satu sisi masih menaman padi dan berburu untuk memenuhi kebutuhan sendiri dengan po’otang sebagai jiwa utamanya, di sisi yang lain telah berkembang ekonomi komoditas atau barang dagangan yang terhubung langsung dengan pasar lokal bahkan internasional melalui kerja penambangan emas berskala kecil. Benih_benih individualisme telah tumbuh semakin kuat di tengah masyarakat melalui pekerjaan ini melanjutkan sejarah kerja damar, goa dan mendulang emas tradisional sebagai pembuka jalan Orang Hovongan dengan pasar secara luas.
Keadaan ekonomi dan sumber penghidupan Jenihin bersama orang Hovongan lainnya, seperti halnya masyarakat lain pada umumnya di Indonesia, di masa awal suku Hovongan hidup sepenuhnya bergantung pada alam. Ia mengembara (nomaden) dari satu bukit ke bukit serta lembah lainnya untuk mengumpulkan sagu, umbi_umbian dan binatang buruan untuk menghidupi kelompoknya. Mereka belum mendirikan kampung secara menetap. Alat_alat kerja yang dipergunakan pun masih sangat sederhana. Perladangan padi masih belum dikenal.
Saat ini, Jenihin bersama keluarga dan suku hovongan lainnya sudah mulai hidup menetap. Makanan pokok yang sebelumnya hanya sagu, kini sudah mulai bervariasi, bahkan cukup dominan dengan beras (nasi). Selama berabad_abad bergantung pada alam, hidup dari buah_buahan dan berbagai jenis binatang dan ikan yang disediakan alam, baik didaratan maupun sungai_sungai yang mengelilingi daratannya. Tradisi tersebut masih dipertahankan sampai saat ini, walaupun mereka sudah mengenal dan mulai melakukan cocok tanam dengan system perladangan. Selain itu, dalam melakukan tukar_menukar barang, mereka masih menggunakan system, walaupun saat ini mereka sudah mulai mengenal jual-beli.
Selain dengan cara produksi berburu untuk menangkap binatang, sekalipun tetap mempertahankan perladangan sebagai sumber penghidupan yang utama, suku Hovongan juga sudah mulai melakukan kerja emas lebih intensif dengan menggunakan mesin dan perahu bermesin yang lebih modern. Ketergantungan pada kerja emas mulai meningkat tajam. Arus perdagangan semakin luas baik perdagangan emasnya sendiri, minyak untuk keperluan pertambangan dan mesin perahu, serta alat-alat keperluan menambang dan berbagai kebutuhan pokok lainnya.
Selain berladang, Jenihin bersama keluarganya saat ini juga terlibat dalam kerja penambangan emas tradisional sebagai satu-satunya kandungan mineral yang mampu mereka akses.
IV. KEADAAN KESEHATAN DAN PERKEMBANGANNYA
Evan Jenihin (28), Masyarakat adat (Anggota suku Dayak_Punan Hovongan) yang berasal dari pedalaman Kalimantan Barat, adalah seorang petani miskin yang menderita kangker stadium empat (Stadium akhir) yang menggerogoti Usus hingga Otaknya, yang berpusat didalam Sarap.
Kangker yang diderita Jenihin, bermula dari tumor ganas yang bersarang diusus besarnya. Vonis dokter akan Virus mematikan tersebut pertama kali diketahui berdasarkan hasil diagnosa melalui proses scan patologi anatomi (PA) saat pertama kali datang ke Kota dan melakukan pemeriksaan di Rumah Sakit Promedika Pontianak, Kalimantan Barat. Operasi pertama kemudiandilakukan pada bulan Juli 2013 untuk pengangkatan usus besar dimana tumor bersarang. Jenihin juga menjalani perawatan hingga bulan Agustus 2013.
Praktis kurang_lebih sembilan bulan paska operasi pertama, Jenihin melawan penyakitnya tanpa perawatan rumah sakit dan penanganan dokter, sebab sesudah operasi, Jenihin lansung kembali pulang kampung menyusuri sungai kapuas dengan jarak tempuh yang memakan waktu 13 jam dengan perahu dayung atau speed boat yang berkekuatan 40_45 ekor kuda pacu. Jelas saja Jenihin tidak sanggup bertahan di RS tanpa biaya yang cukup, demikian pula akses atas obat_obatan yang masih tidak mampu dijangkaunya. Sementara itu, ganasnya virus tumor yang menggerogoti terus berkembang begitu agressif dan semakin membesar. Keluarga hanya mampu menyediakan sejumlah dedaunan dan akar pohon jenis tanaman hutan yang disediakan alam sekitarnya sebagai tumpuan pengobatan.
Dalam keadaan demikian, meskipun telah dilarang oleh keluarga, namun dengan semangat dan harapan akan kesembuhannya, Jenihin terpaksa ambil bagian dalam setiap pekerjaan produksi keluarga. Bersama keluarga dan masyarakat lainnya, Jenihin ikut kerja keras mengolah ladang, berburu bahkan mendulang emas secara tradisional untuk mengumpulkan uang biaya pengobatan. Dari hasil kerja keras bersama keluarga serta sumbangan dari masyarakat sesukunya, dalam jangka waktu kurang lebih sembilan bulan, Jenihin berhasil mengumpulkan Rp. 30 juta yang dibawanya ke Kota untuk melakukan Check up pertama kalinya, pada bulan April 2014.
Berdasarkan hasil Check up_nya di RS Kharitas Bhakti Pontianak, oleh dokter yang menangani,Jenihin direkomendasikan untuk menjalani operasi yang kedua kali. Keluarga yang baru tiba menyusul Jenihin, setelah menempuh perjalanan selama tiga hari terpaksa harus kembali pulanguntuk mencari uang tambahan biaya operasi yang disarankan Dokter.
Usai operasi, Uang Rp. 30 juta ternyata tidak dapat memberikan perubahan apapun bagi kesehatan Jenihin. Dengan kondisi tumor yang ditemukan dokter dan team medis sudah menyebar di usus dengan diagnosa yang sangat parah, ditambah dengan kondisi fisik yang juga sangat lemah, Operasi yang dijalaninya hanya dilakukan buka_tutup dan memberikan keterangan bahwa Tumor sudah melahirkan sel kangker yang tersebar diusus. Sementara Chemoterapy dan pemasangan Stoma (Saluran pembuangan alternatif) yang disarankan dokter, tidak dapat dijalankan karena keterbatasan biaya dan keadaan fisik yang lemah.
Karena mahalnya biaya berobat di RS. Kharitas Bhakti, keluarga memutuskan untuk keluar, kemudian pindah ke RS. St. Antonius Pontianak guna memastikan kondisinya tetap stabil. Di rumah sakit ini Jenihin dan keluarga berharap mendapatkan pelayanan yang baik dan biaya yang jauh lebih murah. Namun sama saja seperti rumah sakit sebelumnya, biaya yang sangat mahal menyulitkan keluarga untuk melunasinya. Karena ditahan rumah sakit (karena tidak mampu melunasi tagihan), Jenihin bertahan selama 8 hari dan, baru bisa keluar setelah ada dermawan yang bersedia menjadi jaminan untuk melunasi sisa tanggungan biaya perawatannya.
Harapan kesembuhan dan semangat hidup yang dimiliki Jenihin, sungguh satu karunia yang besar. Meskipun harus terus menahan sakit dan kembali bekerja keras untuk mengumpulkan uang terlebih dahulu, Rumah Sakit Kangker Dharmais (RSKD) di Jakarta_pun didatanginya untuk mencari penyembuhan. Dengan berbekal kartu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dan uang Rp. 5,5 juta bantuan hasil penggalangan dana yang dilakukan oleh Organisasi yang menaunginya (AGRA) bersama Jaringan di Pontianak, Jenihin bersama keluarga tetap berangkat keJakarta.
Sepekan berada di RSK Dharmais, Jenihin belum juga mendapatkan perawatan Intensif. Sampai hasil MSCT_Scan ususnya keluar, sehingga dokter menjelaskan bahwa Perawatan Jenihin sudah tidak lagi bisa ditunda. Jenihin harus segera di operasi, sebelumnya Jenihin harus dirawat Inap untuk mendapatkan perawatan intensif sebagai rangkaian persiapan menuju operasi, (Keterangan Dokter Ajoedi Spesialis Kangker Dharmais). Kendati demikian, meskipun dokter telah menerbitkan surat keterangan terkait kondisi Jenihin serta rekomendasi penyediaan kamar untuk Rawat Inap, Jenihin tetap belum dibolehkan mendapatkan perawatan Inap oleh pihak rumah sakit, dengan alasan bahwa kamar masih belum tersedia.
Sejak dua hari tiba di Jakarta dan paska ditolak untuk dirawat Inap, Siang dan malam Jenihin terus mengerang kesakitan karena ususnya sudah tersumbat dengan tumor dan hanya tersisa sedikit celah untuk saluran udara. Kondisi demikian telah menyebabkan Jenihin berhari-hari tidak bisa BAB, buang gas bahkan makan. Dengan kondisi Jenihin yang sudah sangat memperihatinkan, keluarga bersama pendamping kemudian sepakat untuk membawa Jenihin ke RS lain (RS Mediros, Pulogadung) agar mendapatkan perawatan sampai ada kejelasan dari RSK Dharmais.
Sepekan kemudian, oleh pihak RSKD Jenihin masih belum juga mendapatkan izin rawat inap. Melalui koordinasi dengan dokter spesialis bius (Dokter Yudi_Spesialis Anestesi), dokter menerangkan bahwa kondisi Jenihin memang sudah parah, operasi yang harus dijalani tidak boleh ditunda lagi, Ungkapnya. Atas kondisi tersebut, dokter Yudi kemudian, menyarankan agar Jenihin bisa dirawat Inap sementara di Ruangan HCU.
Keesokan harinya, beberapa menit sebelum jadwal operasi, Tumor Jenihin sudah semakin parah. Dokter spesialisnya menerangkan bahwa selain tumor, dikelenjar ususnya sudah tumbuh sel kangker dan, bisa berkembang dan terus merambat dengan cepat menggerogoti organ vital lainnya didalam tubuh. Dokter menyarankan untuk segera operasi dan pembuatan saluran pembuangan alternatif (Stoma). Celakanya, operasi baru bisa dijalankan tiga hari berikutnya, sehingga tumor yang hendak diangkat tidak hanya kian membesar, namun juga telah melipat bagian usus lainnya yang terjepit dengan bagian usus lainnya pula. Selain itu, terdapat luka di usus sepanjang 20 cm dan, cairan bening kemerah_merahan yang tidak pernah bisa dikeluarkan bervolume 2,5 liter.
Dengan kenyataan atas perkembangan tumor beserta isi dalam perutnya yang lain, dimana sel kangker sudah tersebar di kelenjar usus, operasi hanya bisa mengangkat tumor, mengembalikan posisi usus yang terjepit, mengeluarkan 2,5 liter cairan yang sebelumnya tidak bisa keluar dan pembuatan stoma. Sementara sel kangker dikelenjar ususnya tidak bisa diangkat, karena pertimbangan resiko yang sangat tinggi. Karenanya, perencanaan Dokter, dua minggu paska operasi jika keadaan fisik Jenihin cepat membaik, penanganan sel kangkernya akan dilakukan melalui Chemoterapy sekurang-kurangnya sebanyak 12 (dua belas) kali.
Empat hari paska operasi, keadaan fisik Jenihin semakin membaik. Bahkan dokter-pun sangat apresiate atas perkembangannya yang begitu cepat. Setelah beberapa kali pemeriksaan, Dokter juga menerangkan bahwa jika kesehatan fisik tetap baik, darah tetap stabil dan Chemoterpy lancar, maka stoma diperut sebelah kiri Jenihin juga bisa ditutup. Sayangnya, keadaan berubah, saat pagi menjelang siang, Jenihin mengalami kejang_kejang kemudian pingsan tidak sadarkan diri, Setelah siuman kejang lagi dan terus berulang sampai keesokan harinya.
Berdasarkan keadaan demikian, dokter segera melakukan pemeriksaan. Muncul sejumlah dugaan yang memicu rasa nyeri dan timbulnya Kejang, seperti salah makan, kurang tidur dan terlalu banyak pikiran. Dokter kemudian melakukan pemeriksaan gula darah, kadar garam dan otak. Berdasarkan hasil pemeriksaan, Kadar gula dan garam masih stabil, namun ada gangguan di otak. Dengan demikian, dokter kembali melakukan MRI (Scan menyeluruh) bagian Otak dan menemukan bahwa sel kangker yang sebelumnya (Pra operasi) masih dikelenjar usus, ternyata sudah sampai kedalam saraf.
Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut, dokter menjelaskan bahwa kejang_kejang yang dialami oleh Jenihin disebabkan karena gangguan oleh sel kangker yang ada diotaknya. Kondisi demikian sangat memungkinkan untuk kembali melakukan operasi, guna pengangkatan sel kangker yang ada didalam Sarafnya. Namun dalam kondisi sekarang, dokter hanya bisa berupaya untuk menahan laju perkembangannya dan memperkecil ruang gerak sel melalui proses penyinaran setidaknya 10 (sepuluh) kali setiap hari. Sedangkan Chemoterapy untuk menangani sel yang ada dikelenjar ususnya, baru bisa dilakukan setidaknya setelah lima kali penyinaran dan dapat dipastikan dalam kondisi fisik yang baik dan darah (Tensi dan Hemoglobin/HB) dalam kondisi stabil.
Artinya bahwa sampai saat ini, meskipun secara fisikis Jenihin tampak sehat dan relatif cukup kuat, namun sesungguhnya Jenihin tengah berada dalam posisi yang sangat rentan, dimana sewaktu_waktu kangker disarafnya bergerak, sehingga bisa menyebabkan kejang dan pingsan secara tiba_tiba. Karenanya, Dokter tidak menjanjikan bahwa Jenihin dapat sembuh atau pulang dalam waktu yang cepat, bahkan Chemoterapy_pun akan dijalankan dengan tetap dalam penanganan intensif oleh dokter (Rawat inap).
Dari gambaran umum diatas, sebagai kritik yang dapat dipelajari dikemudian hari bahwa, penyebab utama atas semakin parahnya kondisi Jenihin, baik fisik maupun kangkernya, adalah karena lambatnya penanganan medis yang diterima, baik semenjak di RS_RS di Kalimantan barat, maupun kelambanan di RSK Dharmais melalui penolakan_penolakan yang diterima berulang kali. Selanjutnya, saat ini hingga batas waktu yang tidak bisa ditentukan, semua pihak (utamanyakeluarga dan orang_orang terdekat) diharapkan dapat membantu Jenihin menjaga kedisiplinan terkait makanan maupun pola makan, menjaga kebersihan dengan kualitas yang sangat steril serta memastikan tidak terjadinya penundaan_penundaan penanganan medis oleh dokter maupun rumah sakit dengan alasan teknis maupun alasan lainnya.
Hal lainnya secara kebudayaan, jika dihubungkan dengan keadaan sosial masyarakatnya, terlambatnya penanganan dan memburuknya kondisi Jenihin ialah karena tidak tersedianya fasilitas kesehatan didaerah tempat tinggalnya, baik rumah sakit, dokter maupun obat_obatan. Sehingga Jenihin maupun masyarakat lainnya tidak bisa mengakses pelayanan kesehatan secara cepat dan tepat. Selebihnya Masyarakat kemudian hanya bisa bersandar pada obat_obatan tradisional yang disediakan alamnya.