Senin, 28 April 2014

TIDAK ADA HARAPAN PERUBAHAN MENDASAR BAGI KAUM TANI DAN RAKYAT INDONESIA DALAM PEMILU 2014

Pendasaran Obyektif Aliansi Dasar Buruh dan Petani Melawan Rezim Anti-Rakyat Di Indonesia Dalam Periode Krisis Umum Imperialisme



Serial Propaganda Hari Buruh 1 Mei 2008

I. Analisis Situasi Obyektif Ekonomi-Politik Dunia
Kabar terkini dari sistem kapitalisme dunia adalah krisis yang terhitung paling buruk sejak berakhirnya Perang Dunia Kedua. Depresi ekonomi dunia telah di ambang pintu menuju jurang krisis yang semakin dalam. Krisis energi, krisis finansial, krisis pangan dan krisis ekosistem lingkungan telah berpadu yang semakin menjelaskan wajah dunia di bawah perintah kekuasaan kapitalis monopoli dunia. Kemiskinan dan kelaparan telah memicu berbagai kerusuhan sosial dan krisis politik yang telah merambah negeri-negeri terbelakang seperti  Afrika, Amerika Latin dan Asia. Forum G7 (Inggris, Kanada, Perancis, Jerman, Italia, Jepang, dan AS) dalam bulan April 2008 ini, melahirkan komunike bersama untuk mengatasi defisit keuangan akibat krisis finansial yang kian tak teratasi dan krisis pangan yang telah mengoyak negeri-negeri miskin seperti di Haiti dan Kamboja. Ekonomi dunia, menurut catatan IMF pada bulan April, hanya mengalami pertumbuhan 3,7 persen atau mengalami koreksi rata-rata 1 persen akibat hantaman berbagai badai krisis tersebut. 

Gejala yang paling jelas adalah apa yang tengah menimpa perekonomian Amerika Serikat sebagai negeri induk imperialisme dan hegemoni tunggal. Sejak semester kedua 2007, krisis finansial di Amerika Serikat belum menunjukkan kemajuan yang berarti. Justru sebaliknya, semakin banyak perusahaan keuangan besar raksasa dunia ”babak belur” karena kerugian besar dalam transaksi subprime mortgage, yang kemudian menular ke berbagai instrumen keuangan lainnya. Betapa parah dampak krisis keuangan bagi perekonomian AS, hal itu tercermin dari pertemuan Federal Reserve, 18 Maret 2008, ”… Penentu kebijakan The Fed menilai harga-harga yang berjatuhan di dalam negeri dan kekalutan pasar keuangan dapat mengarah kepada kecenderungan menurun yang jauh lebih hebat dan berlarut-larut daripada yang diperkirakan pada saat ini” (The Wall Street Journal, 9 April 2008). Situasi ini semakin menjelaskan, bagaimana teoritisi dan ekonom kapitalis seperti serdadu tua yang semakin ompong seiring dengan semakin tua dan sekaratnya kapitalisme itu sendiri.

Tak ada lagi keraguan bahwa perekonomian AS telah memasuki resesi. Pada triwulan I-2008 perekonomian AS hampir bisa dipastikan mengalami kontraksi, atau pertumbuhan negatif, dan akan berlanjut pada triwulan kedua. Proyeksi pertumbuhan ekonomi AS 2008 mengalami koreksi paling tajam. Persis setahun lalu, perekonomian AS tahun 2008 diproyeksikan tumbuh 2,8 persen, tetapi April tahun ini sudah terpangkas menjadi hanya 0,5 persen. Jumlah pengangguran juga meningkat pesat di AS. Mengingat sumbangan AS dalam perekonomian dunia masih dominan, yakni 25,5 persen pada tahun 2007, sudah barang tentu kemerosotan ekonomi di negeri kepala dari imperialis ini akan berimbas pada perekonomian dunia.

Perang agresi, sebagai salah satu instrumen politik kekerasan imperialis yang paling brutal dewasa ini, tak kalah besar memberi konstribusi kerusakan ekonomi AS. Menurut Joseph Stiglitz dalam bukunya berjudul “The Three Trillion Dollar War: The True Cost of the Iraq Conflict`, ia menyimpulkan bahwa operasi-operasi militer AS di Irak telah melampaui ongkos perang 12 tahun di Vietnam dan lebih dari dua kali lipat biaya yang dikuras dalam Perang Korea. Perang ini satu-satunya dalam sejarah AS yang menelan biaya lebih dari ongkos yang mesti dibayar dalam Perang Dunia II, ketika 16,3 juta tentara AS berperang selama empat tahun terakhir, yang menelan biaya sekitar lima trilyun dolar. Jika dikalkulasi dengan nilai dolar sekarang, perang Irak menguras biaya 400.000 dolar per tentara. Sebuah angka yang fantastis bila dikalikan jumlah pasukan pendudukan AS di Irak yang jumlahnya lebih dari 100.000 tentara.

Namun politik agresi dan terorisme negara dari kekuatan imperialis ini belum akan berakhir. Perebutan sumber-sumber kekayaan alam khususnya energi, yang telah menjadi penyulut api peperangan di Irak dan Afghanistan; masih akan terus berlangsung dan semakin intensif. Ketidakseimbangan pertumbuhan ekonomi dunia (negeri-negeri imperialis vs Dunia ketiga), dan gesekan kepentingan antar-negeri imperialis sendiri akan semakin meruncing yang bisa menyulut krisis keamanan dunia setiap saat. 

Di tengah situasi dunia yang demikian krisis, kampanye tentang ‘neo-liberal’ sebagai solusi ekonomi dunia juga semakin menunjukkan kebangkrutannya. Ia tak ubahnya menjadi mitos kemakmuran yang tak akan pernah dicapai. Berbagai terminologi seperti de-nasionalisasi, penanaman modal, liberalisasi perdagangan, privatisasi dan deregulasi; semua resep ini semakin merusak negeri-negeri terbelakang, rakyat pekerja, kaum perempuan dan lingkungan. Globalisasi “pasar bebas” adalah slogan dari kapitalisme monopoli untuk merayakan perkiraan mereka bahwa sejarah sudah selesai dalam kapitalisme dan demokrasi liberal. Motif kampanye ini untuk menghancurkan negeri-negeri dan rakyat pekerja yang berjuang untuk kemerdekaan nasional, nasionalisasi dan sosialisasi dari ekonomi mereka. IMF sebagai institusi promotor dari berbagai kebijakan neo-liberal juga semakin bangkrut. Salah satu lembaga piaraan imperialis itu semakin memperjelas diri sebagai lembaga lintah darat (parasit) dunia. Masih dalam bulan April 2008, IMF terpaksa menjual simpanan berupa 400 ton emas karena beberapa negara pengutang yang biasa ia cekik dengan bunga tinggi mengembalikan utang mereka lebih dini untuk menghindar beban bunga yang tinggi.

Sistem kapitalisme telah melewati periode keemasannya. Dunia kapitalis tidak akan mendapati lagi kemunculan negeri-negeri persemakmuran (welfare-state) sebagaimana terjadi pada era booming kemakmuran tahun 1970-an hingga 1980-an. Pemangkasan subsidi sosial, kesehatan, pendidikan, dsb, menjadi kenyataan pahit bagi rakyat di tengah kondisi penghidupan yang semakin dimiskinkan; baik di negeri-negeri maju belahan Utara maupun negeri-negeri bergantung di belahan Selatan. Di tengah berbagai upaya kebijakan imperialis menangani krisis dengan cara mengintensifkan penghisapan dan penindasannya terhadap rakyat dunia, khususnya rakyat di Dunia Ketiga; kabar yang terpenting adalah kebangkitan perjuangan massa rakyat yang semakin meluas di berbagai belahan dunia. Gerakan pembebasan nasional, protes rakyat menentang keberadaan rezim-rezim komprador, dan berbagai perlawanan rakyat menentang kebijakan anti-rakyat terus meluas di sektor buruh, petani, mahasiswa, perempuan, dan kaum miskin perkotaan. Gerakan rakyat semakin berkobar di pedesaan maupun perkotaan, baik dengan protes damai, reform hingga perjuangan bersenjata.

II. Analisis Obyektif Situasi Ekonomi-Politik Indonesia: Memperkuat Tesis Setengah-Feodal dan Setengah-Kolonial Masyarakat Indonesia

Bagaimana hubungan dialektis antara krisis umum imperialisme dengan krisis ekonomi di Indonesia? Persoalan ini mengandung dimensi ekonomi-politik yang sangat penting dan suatu problem yang khas di zaman imperialisme. Zaman imperialisme menjelaskan dominasi dan hegemoni kekuatan kapitalis monopoli atas tatanan ekonomi-politik dunia. Sumber masalah masyarakat dunia dengan demikian adalah segala pikiran dan tindakan yang muncul dari sistem kapitalisme tua itu sendiri. Disebabkan oleh kedudukannya sebagai negeri-negeri yang bergantung pada imperialisme, krisis umum imperialisme memiliki dampak langsung terhadap negeri setengah-jajahan dan setengah-feodal seperti Indonesia. Secara obyektif, kedudukan negeri-negeri jajahan/setengah-jajahan dan setengah feodal yang tersebar di berbagai belahan dunia merupakan basis sosial bagi kepentingan imperialisme. Negeri-negeri tersebut diperintah oleh rezim-rezim komprador (kaki-tangan) yang melayani kepentingan imperialisme dengan mengeluarkan berbagai peraturan/perundang-undangan untuk mengeksploitasi kekayaan alam dan rakyat negerinya.

Demikianlah kenyataannya. Rezim-rezim komprador Republik Indonesia yang datang silih berganti, masih dengan setia diperbudak oleh Imperialisme dengan menerbitkan berbagai perundang-undangan betapa pun paket peraturan tersebut bertentangan dengan semangat UUD-1945 yang jelas-jelas memiliki watak anti-imperialisme (kolonialisme). Namun penjebolan atas UUD 1945 yang dilahirkan oleh perjuangan revolusi nasional anti kolonialisme 1945 tersebut telah benar-benar dilakukan oleh rezim-rezim komprador sejak zaman Suharto hingga SBY-JK.

Situasi obyektif yang menimpa rakyat Indonesia dewasa ini semakin menegaskan status Republik Indonesia sebagai negeri setengah-jajahan dan setengah-feodal. Apa hakekat masalah dan jalannya kenyataan ini? Mari kita membahasnya secara konkrit.

Setengah-jajahan (semi-kolonial) menjelaskan kedudukan politik dan setengah-feodal menjelaskan sistem ekonomi masyarakat Indonesia. Yakni kedudukan suatu masyarakat di negeri bekas jajahan yang pada perkembangnnya jatuh kembali ke dalam cengkraman imperialisme (neo-kolonialisme) secara ekonomi, politik dan kebudayaan. Fokus kajian ini menyoroti masalah ekonomi dan politik di Indonesia.

Batu pal kembalinya status setengah-jajahan Republik Indonesia ditandai oleh dua kejadian penting. Pertama, pada zaman pemerintahan Soekarno, melalui Kabinet Hatta, mengadakan persetujuan dengan pemerintahan Belanda, yaitu persetujuan Konferensi Meja Bundar (KMB) pada permulaan tahun 1949. Revolusi rakyat bersenjata yang berkobar sepanjang 1945-1948 dan berhasil mengusir rezim kolonial dari sendi-sendi kehidupan rakyat itu, telah dibatalkan oleh persetujuan damai KMB yang telah merestorasi susunan ekonomi kolonial di Indonesia sekaligus memupus habis harapan proletariat dan rakyat Indonesia untuk membebaskan diri dari penghisapan dan penindasan. Kekuatan borjuasi dengan demikian telah menyelewengkan hakekat kemerdekaan Indonesia dan menyeret jutaan nasib rakyat kembali ke dalam kubangan kolonialisme. Pengorbanan rakyat dengan darah, air mata, jiwa dan raga telah menjadi sia-sia di tangan borjuasi tersebut. Inilah hakekat yang menyatakan bahwa Revolusi Nasional tahun 1945 telah kandas di tengah jalan!

Kedua, munculnya rezim fasis Suharto pada tahun 1966. Di bawah klik Suharto-Nasution yang  disokong oleh kekuatan utama Imperialis AS, kemelut politik pada tahun 1965 telah melantik seorang boneka imperialis Suharto dengan jutaan darah rakyat Indonesia yang ditumpasnya. Segera setelah mendudukkan diri sebagai rezim komprador yang loyal kepada tuan penyokongnya, penjebolan UUD 1945 pertama dilakukan dengan terbitnya UU Penanaman Modal Asing No.1/1967. PT. Freeport yang datang dari Amerika Serikat untuk mengeksploitasi tambang di tanah Papua tercatat sebagai investor asing pertama sejak Indonesia Merdeka. Pemerintah imperialis AS sebagai majikan Suharto sudah layak mendapatkan keistimewaan tersebut dari bonekanya yang fasis tersebut. Dalam waktu yang tidak lama, imperialis Eropa dan Jepang sebagai kekuatan utama di Asia masuk ke Indonesia yang melahirkan protes gerakan sosial menentang modal asing pada tahun 1974. 

Pasca Suharto, benteng kedaulatan politik negeri semakin dihancurkan oleh rezim yang terakhir, yakni pemerintah reaksioner SBY-JK. Mereka telah menerbitkan Undang-undang Penanaman Modal paling baru Nomor. 25/2007. Salah satu bunyi pasal yang paling pro-imperialis adalah Undang-undang ini mengizinkan kepada swasta asing menggunakan (HGU) kekayaan sumber alam kita selama 95 tahun. Artinya, UU ini memiliki kadar kolonialisme tiga kali lipat dibandingkan UU PMA lama yang memberi waktu 25 tahun. Secara hakiki, rezim SBY-JK telah melipatgandakan kadar ke-kompradoran-nya dan semakin menjelaskan makna Republik Indonesia secara politik sebagai negeri setengah-jajahan; yakni negeri yang secara politik diperintah oleh dominasi kelas komprador sebagai pelayan imperialisme.

Bagaimana tanah air Indonesia menjadi surga bagi imperialisme? Undang-undang yang ditetapkan pada bulan Mei 2007 tersebut membuka lebar-lebar perampokan borjuis besar asing atas seluruh kekayaan alam kita. Minyak, aneka tambang, perkebunan, kehutanan, perikanan, dsb, sah menjadi milik asing selama 95 tahun. Pendek kata, apa yang ada di permukaan dan perut bumi, semua menjadi obyek eksploitas mereka selama dua generasi umat manusia. Sebuah penggadaian atas alam dan rakyat paling brutal sejak Republik ini berdiri. Merekalah sebagai pencipta takdir kemiskinan bagi rakyat Indonesia. Rakyat yang hidup di atas obyektifitas tanah-air subur nan kaya negeri ini, menurut angka resmi pemerintah sejumlah 4,1 juta rakyat ditimpa kekurangan gizi (malnutrisi) dan ratusan rakyat yang terkena busung lapar akibat kekurangan karbohidrat (marasmus).

Secara khusus, proletariat modern Indonesia juga mendapat pukulan yang serius dari rezim komprador SBY-JK dengan diterbitkannya UU 13/2003. Apa makna UUK ini bagi kelas buruh Indonesia? Undang-undang anti-buruh ini telah menerjang penghidupan buruh yang semakin miskin. UUK ini menjadi paket istimewa yang melayani investasi asing dan menopang kelas kapitalis dalam negeri dalam menumpuk keuntungan. Fenomena sistem kerja buruh kontrak dan outsourcing melanda dunia industrial di tanah air yang sangat merugikan proletariat Indonesia.

Dengan sistem kerja buruh kontrak, proletariat Indonesia dipreteli hak-hak dasarnya di mana  perusahaan melepas tanggung jawabnya untuk menjamin berbagai jaminan sosial seperti jamsostek, THR, bonus, pesangon, dsb. Seorang buruh kontrak, ia hanya mendapatkan upah yang sesuai dengan UMR saja. Tidak lebih. Kita bisa membayangkan, bila upah buruh di wilayah DKI Jakarta pada tahun 2008 senilai Rp. 967.000, maka hanya dengan upah itulah ia harus melanjutkan hidupnya baik bagi yang lajang atau yang sudah berkeluarga. Bila sakit ia tidak mendapat santunan kesehatan. Bila ia di-PHK, ia tidak mendapat pesangon betapapun ia sudah diperas lebih dari 5 tahun bekerja di pabrik. Bila ia kritis terhadap kebijakan perusahaan yang merugikan kau buruh, ia diputus kontaknya atau dipaksa mengundurkan diri secara sepihak. Jelasnya, kehidupan kelas buruh semakin jauh dari kesejahteraan dan perlindungan. Kelas buruh dan rakyat Indonesia dengan demikian memiliki musuh yang sama, yakni klik kekuasaan paling reaksioner pemerintah SBY-JK. Mesin kekuasaan politik yang menciptakan penderitaan rakyat yang semakin parah.

Lantas apa hakekat dari sistem ekonomi setengah-feodal? Hakekat ekonomi semi-feodal adalah perkembangan internal masyarakat ekonomi bekas koloni yang belum tuntas menghancurkan sistem sosial lama – struktur ekonomi feodalisme yang masih membelenggu perkembangan ekonomi sebagian besar pedesaan negeri ini. Revolusi Nasional 1945 pada kenyataannya kurang memiliki watak demokratik (anti-feodal) yang kuat. Masih berlangsungnya sisa-sisa feodalisme yang luas di pedesaan, pada hakekatnya adalah bentuk penindasan setengah feodal, karena dalam sejarah Indonesia belum pernah terjadi revolusi agraria secara nasional yang lahir dari pemberontakan kaum tani melawan tuan-tuan tanah atau pihak-pihak yang pada prakteknya memonopoli tanah secara luas. Relasi produksi feodalisme masih tetap ada karena akar-akar feodalisme belum dibongkar oleh gerakan massa rakyat yang paling berkepentingan, yakni kaum petani hamba, buruh-tani dan tani miskin di Indonesia. Bila kita memegang teguh perubahan sosial adalah karya massa, maka kenyataan inilah yang terjadi. Hancurnya hubungan produksi setengah-feodal tentu karya massa rakyat itu sendiri.

Bila tidak membasiskan pada analisis sejarah sebagai karya massa rakyat dan dinamika internal perjuangan massa, maka dasar teori dan analisis sering bersandar pada sangkaan subyektif yang keliru. Anggapan tersebut akan mengikuti cara berpikir bahwa imperialisme dengan sendirinya akan menghancurkan basis feodalisme di Indonesia. Secara teoritik, pandangan ini memperoleh sandarannya dari teori Karl Kautsky tentang Ultra-Imperialisme, si pemimpin revisionisme klasik dalam Internationale ke-2, yang menyatakan bahwa praktek imperialisme akan mendorong internasionalisasi produksi kapitalisme. Bila demikian halnya, imperialisme mesti disyukuri dan disambut dengan gembira oleh massa rakyat di negeri jajahan dan setengah jajahan. 

Bukankah kekonyolan yang sama sekali tidak mendapatkan pijakan ilmiahnya secara teoritik dan praktek? Pada kenyataannya, rakyat di negeri-negeri jajahan dan setengah jajahan merasakan penderitaan yang sangat berat sebagai akibat penindasan imperialisme. Sehingga merupakan hukum yang objektif bila kemudian rakyat di negeri-negeri tersebut bangkit melakukan perlawanan untuk pembebasan nasional dari cengkraman imperialisme dan pembebasan demokratis melawan sistem sosial lama feodalisme. Dan itu terjadi di semua belahan bumi ini baik di Asia, Afrika maupun Amerika Latin.

Imperialisme sebagai tahap tertinggi perkembangan kapitalisme memiliki tiga kepentingan utama di negeri jajahan dan setengah jajahan: yaitu bahan mentah untuk kepentingan industrinya, upah buruh yang murah dan sekaligus pasar bagi produk yang dihasilkan oleh industri mereka. Imperialisme tidak pernah dan tidak akan secara sungguh-sungguh membangun industri nasional yang kuat di negeri jajahan atau setengah jajahan, karena apabila dilakukannya hanya akan melahirkan negeri industri pesaing. 

Lahirnya negara industri pesaing maka akan menggagalkan kepentingan imperialisme itu sendiri untuk mendapatkan bahan mentah, buruh murah dan pasar barang komoditas mereka. Kebenaran pandangan ini dapat dibuktikan dengan beberapa kondisi yang dapat kita temui di negeri jajahan maupun setengah jajahan seperti tidak berkembangnya industri nasional karena tidak ada industri dasar dan berat; lebih berkembangnya sektor ekonomi barang dagangan (kelontong), industri perakitan sebagai pelayan bagi industri imperialis, sektor jasa dan mewabahnya ekonomi borjuasi kecil di perkotaan; hal lain juga ditandai selalu adanya defisit neraca perdagangan negara. Dan itulah yang persis terjadi di Indonesia sampai hari ini. Beberapa data terakhir yang menunjukkan gulung tikarnya industri tekstil dan produk tekstil di Indonesia sebagai akibat maraknya serbuan barang impor terutama dari Cina, India dan Vietnam (negara-negara yang diketahui biaya buruhnya lebih rendah), tingkat pengangguran yang semakin tinggi akibat PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) sebagai dampak banyak tutupnya industri dalam negeri dan relokasi investasi ke negara lain, semakin memperkuat pandangan di atas.

Perkembangan ekonomi Indonesia tidak berkembang linear sebagaimana sejarah masyarakat ekonomi Eropa; pertanian, agroindustri seiring dengan tumbuhnya manufaktur, kemudian revolusi industri yang menghantarkan pada industrialisasi modern. Ketidakseimbangan ini terkait dengan kedudukan sistem ekonomi kapitalisme yang telah memasuki tahap tertinggi dan terakhirnya bernama imperialisme. Yang dibutuhkan imperialisme adalah peranan borjuis komprador sebagai kaki-tangan mereka. Di bawah kepanglimaan politik pemerintah komprador maka rakyat di suatu negeri jajahan/setengah jajahan akan dibawa pada malapetaka kemiskinan. Imperialisme tidak akan dengan mudah membiarkan negeri-negeri bergantung lepas dari cengkeramannya. Ketergantungan negeri-negeri bergantung selalu akan diciptakan oleh imperialisme yang meliputi ketergantungan finansial, investasi modal asing, teknologi tinggi, peralatan militer, dsb.

Dengan kedudukan yang serba bergantung, struktur ekonomi semi-feodal secara hakekat selalu dalam situasi krisis dan cenderung semakin kronis disebabkan oleh kerapuhan struktur ekonomi yang dipancangkanya. Dan lebih gawatnya, situasi krisis ini akan semakin kronis menjadi kenyataan pada saat terjadi resesi ekonomi dunia seperti sekarang ini. Hal tragis terbaru adalah krisis pangan yang menimpa rakyat di negeri tropis nan subur ini. Dan ironisnya, krisis pangan ini hanya dijawab dengan kebijakan impor pangan-pangan komoditas (kedelai, jagung, hingga beras seperti tahun-tahun lalu) tanpa disertai strategi pertanian yang serius menuju keamanan pangan dan kedaulatan pangan.

Masyarakat pedesaaan semakin dihancurkan. Ekonomi pertanian pedesaan yang suram tanpa hari depan semakin dimiskinkan, dan bertambah menderita karena ditinggalkan oleh tenaga produktif (labour forces) menuju kota sebagai buruh murah (unskilled labour) atau jutaan warga desa yang menjadi buruh migran di negeri-negeri seberang. Rendahnya pendapatan masyarakat desa secara langsung telah menciptakan gisi buruk, busung lapar, hingga  rendahnya tingkat pendidikan anak-anak desa yang mengarah pada hilangnya suatu generasi (The lost generation). Inilah kenyataan hidup yang dihadapi oleh sebagian besar rakyat Indonesia. 

Struktur ekonomi semi-feodal telah terbukti kropos ketika diterpa badai krisis moneter 1998  yang telah menggulung kekuasaan politik rezim fasis Suharto. Dan kini, struktur ekonomi ini semakin megap-megap diterjang badai krisis energi, krisis finansial, krisis pangan yang berpadu dengan krisis ekosistem lingkungan. Penderitaan rakyat di negeri-negeri Selatan seperti Indonesia akan semakin kronis tanpa jaring pengaman yang setiap saat bisa menyulut kerusuhan sosial dan krisis politik.

Dalam ranah kebijakan politik, amandemen UUPA/1960 yang kini terjadi bermakna serangan hebat bagi kaum tani Indonesia. Sebagaimana kita ketahui, motif hakiki dari buah perjuangan reform parlementer terpenting bernama UUPA 1960 adalah mengurangi kadar semi-feodalisme sebagai sistem ekonomi masyarakat Indonesia. Perjuangan reform parlementer tentu hanya bisa mengurangi, karena problem menghapuskan sistem ekonomi semi-feodal hanya bisa dituntaskan oleh revolusi demokratis di Indonesia. Namun motif hakiki UUPA 1960 ini semakin jauh dari harapan rakyat mayoritas negeri ini dari buruh tani dan petani miskin; ketika rezim politik diperintah oleh kediktatoran bersama atas borjuis komprador dan tuan tanah. UU Penanaman Modal 25/2007 secara langsung telah mengkooptasi keberadaan UUPA/1960 ini. Monopoli tanah oleh negara yang berwatak tuan tanah semakin memperparah wajah pedesaan yang miskin. Kelas tuan tanah tersebut telah menjadikan hak monopolinya untuk melanjutkan kepenguasaan luas tanahnya untuk kepentingan kelas mereka sendiri dan/atau menjadikan jutaan hektar tanah untuk melayani kepentingan imperialisme. Kita bisa menyaksikan pembukaan jutaan hektar tanah bagi perkebunan kelapa sawit, untuk menyediakan CPO bagi kebutuhan alternatif energi imperialis. Demikian juga karet, kopra, kayu tanaman industri, dsb. Masih berjalannya sistem ekonomi semi-feodal dengan demikian adalah perwujudan dari kelangsungan politik tuan tanah dalam tubuh kekuasaan pemerintah Republik Indonesia dewasa ini.

III. Aliansi Dasar Buruh dan Petani sebagai Kekuatan Pokok Rakyat Indonesia

Penjabaran dan analisis atas karakter setengah-jajahan dan setengah-feodal masyarakat Indonesia di atas menjadi dasar obyektif bagi arti pentingnya aliansi dasar buruh dan Petani di Indonesia. Persoalan ini tidak semata-mata hanya didasarkan pada kuantitas jumlah petani dan buruh yang menjadi warga mayoritas negeri ini, namun secara kualitatif menjelaskan sistem ekonomi setengah feodal itu sendiri.

Dibutuhkannya aliansi dasar buruh dan tani, hal ini juga menjelaskan kekuatan kelas dan peranannya dalam perjuangan rakyat secara nasional. Kelas buruh Indonesia menjadi kekuatan pokok gerakan rakyat anti-imperialisme di perkotaan sebagaimana gerakan petani sebagai gerakan anti-feodal di pedesaan sekaligus anti-imperialisme. Berkobarnya perjuangan baik di pedesaan dan perkotaan; atau terbentuknya persatuan yang kokoh antara buruh dan petani di Indonesia tentu menjadi syarat subyektif yang pokok bagi perjuangan rakyat di Indonesia.

Tanpa ada aliansi dasar ini, maka gerakan rakyat Indonesia akan rapuh dan pincang. Resiko kerapuhan dan kepincangan ini juga akan panjang dalam strategi perjuangan pokok perubahan rakyat di Indonesia. Kepincangan ini, ibarat dua kaki manusia, yang secara obyektif tidak berpijak di atas dua kakinya dan membumi di kenyataan sosial masyarakat. Gerakan buruh di perkotaan yang mengabaikan dan menyepelekan kekuatan mayoritas rakyat bernama petani, akan lemah dan pincang secara sosial dan politik dalam melakukan pukulan yang mematikan bagi musuh-musuh rakyat dalam skala negeri. Pun sebaliknya, gerakan petani mustahil berjuangan sendiri melawan imperialisme dan sisa-sisa feodalisme dalam skala negeri tanpa kekuatan pemimpin kelas bernama proletariat modern Indonesia. Aliansi dasar buruh dan petani dengan demikian menjadi kebutuhan obyektif bagi kepentingan rakyat dalam menggelorakan perjuangan anti-imperialisme dan sistem sosial lama feodalisme di Indonesia. Suatu syarat obyektif yang kelak akan melahirkan negeri Indonesia yang bebas dan demokratis. 

Konsistensi berpikir ini juga menyangkut solusi ganda dalam strategi perubahan masyarakat Indonesia. Solusi ganda yang paling bisa menjawab akar masalah masyarakat Indonesia dewasa ini adalah menuju pembangunan industrialisasi nasional yang kuat dan dijalankannya landreform sejati di Indonesia. Keduanya solusi ini persis seperti menjejakkan kedua kaki di kedalaman kenyataan untuk berproduksi dan memenuhi kemandirian atas seluruh kebutuhan domestik rakyat Indonesia. Penjabarannya adalah landreform sejati sebagai fundasi ekonomi yang akan menjamin kedaulatan pangan dan kemajuan masyarakat desa dari situasi kemiskinannya; sedangkan industri nasional yang kuat sebagai roda penggerak kemajuan bangsa sekaligus kemandirian produktifitas nasional yang tidak bergantung lagi kepada bangsa asing (imperialisme). Tanpa salah satu dari keduanya adalah pincang. Dan tanpa kedua-duanya adalah malapetaka bagi rakyat dan bangsa Indonesia. Malapetaka itu seperti yang ditakutkan oleh pikiran maju bung Karno, “Een natie van koelies en een koelie onder da naties”: Bangsa yang terdiri dari kuli-kuli dan sebagai kuli dalam pergaulannya dengan bangsa-bangsa lain. Dan inilah yang benar-benar terjadi dewasa ini di bawah keditatoran bersama dari kelas borjuis komprador, tuan tanah dan kapitalis birokrat di zaman krisis umum imperialisme di bawah dominasi tunggal Amerika Serikat dewasa ini. Klik kekuasaan reaksioner anti-rakyat SBY-JK menjadi penghambat dari cita-cita mulai rakyat Indonesia dan sekaligus menjelaskan kedudukan mereka (SBY-JK) sebagai musuh pokok rakyat Indonesia dewasa ini. 

Kamis, 17 April 2014

Hubungi Kami


Kantor Pusat
Jalan Ketang Ketang No 9, Jakarta Timur 13220
Telepon/Fax : +6221 29568913
Email          :  agrapusat@gmail.com


MENGUBAH KEPUNGAN TEBU MENJADI HAMPARAN PADI UNTUK MELANJUTKAN HIDUP PETANI POLONGBANGKENG YANG LEBIH CERAH.


Perusahaan milik Negara seharusnya menjadi salah satu sumber kekayaan Negara yang mampu mengangkat derajat perekonomian dan mensejahterakan rakyat, setidaknya bagi masyarakat disekitar perusahaan itu sendiri. Namun apa jadinya ketika perusahaan milik Negara justru menjadi sumber malapetaka bagi masyarakat?

Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara (PTPN) XIV adalah satu dari sekian banyak perusahaan milik Negara yang dibentuk berdasarkan PP No. 19/1996, yang bergerak di bidang agribisnis. PTPN XIV merupakan penggabungan kebun-kebun proyek pengembangan dari Perseroan Terbatas Perkebun (PTP) di Sulawesi, Maluku dan NTT yaitu eks PTP VII, PTP XXVIII, PTP XXXII dan PT Bina Mulia Ternak (BMT). 

PTPN XIV memiliki 18 unit perkebunan dan 25 unit pabrik pengolahan dengan komoditi kelapa sawit, gula , karet, kakao, kelapa hibrida, kelapa Nias, pala, kopi dengan area konsesi seluas 55.425,25 hektar. Khusus komoditi gula, PTPN XIV mengelola tiga pabrik gula yaitu Pabrik Gula (PG) Camming dan PG Arasoe yang terletak di Kabupaten Bone. Sedangkan PG Takalar di Kabupaten Takalar dengan total areal seluas 14.312 ha. Dalam setahun, produksi ketiga pabrik tersebut mencapai 36.000 ton, setara dengan pasokan 1,33 % konsumsi gula nasional yang mencapai 2, 7 juta ton.

PG Takalar PTPN XIV beroperasi di Polong-bangkeng sejak tahun 1982, yang sebelumnya beroperasi dengan nama PTP XXIV-XXV. PG Takalar PTPN XIV adalah peralihan dari PT Madu Baru, sebuah perusahaan pabrik gula milik Sultan Hamengkubuwono yang beroperasi sejak tahun 1978. Namun, tahun 1980 PT Madu Baru mundur dari rencana pengolahan perkebunan tebu setelah terjerat kasus penyelewengan dana pembebasan tanah, sehingga digantikan oleh PTPN XIV berdasarkan SK Bupati Takalar tahun 1980. 

Puluhan tahun aktifitas perusahaan gula dan perkebunan tebu milik negara ini telah memberikan dampak yang luar biasa bagi masyarakat di Kecamatan Polongbangkeng Utara, Kabupaten Takalar-Sulawesi selatan. Berdirinya perusahaan ini, telah mengubah wajah kehidupan masyarakat setempat. Awalnya masyarakat mengantungkan hidup terhadap tanah untuk pertanian, akan tetapi sejak tahun 1980-an mereka harus menerima kenyataan bahwa tanahnya dirampas dan dialihfungsikan untuk perkebunan tebu.

Puluhan tahun pula masyarakat harus menderita akibat tidak adanya pekerjaan. Janji-janji perusahaan demi memuluskan perampasan tanah yang dilakukannya hanya tinggal janji belaka. Faktanya, PTPN XIV hanya merekrut sebagian kecil masyarakat untuk menjadi pekerja, namun sebagian besar dari mereka kehilangan sumber penghidupan. Kondisi ini memaksa masyarakat meninggalkan desa untuk mendapatkan pekerjaan di kota-kota lain meski dengan upah yang sangat rendah, seperti tukang batu, kuli angkutan, tukang becak, bahkan yang lebih miris kisah hidup petani yang terampas tanahnya rela melakukan pekerjaan paling hina (mencuri ternak) demi mempertahankan hidup.

Penderitaan panjang ini menjadi sejarah kelam dari kehidupan masyarakat petani Polongbangkeng yang terampas tanahnya. Selama ini, masyarakat memahami kalau perusahaan hanya mengontrak tanah selama 25 tahun dan akan dikembalikan ke masyarakat. Setelah 25 tahun berlalu, masyarakat yang tadinya meninggalkan desa kini kembali dan meminta pihak perusahaan menepati janjinya untuk mengembalikan tanah pertanian mereka di tahun 2007.

Kembali masyarakat menelan pil pahit, karena PTPN XIV dan pemerintah justru mengelak dan menyatakan bahwa masyarakat tidak memiliki hak atas lahan yang dikuasai perusahaan, aneh bin ajaib kontrak HGU perusahaan justru baru akan berakhir pada tahun 2024. Merasa di bodohi dan tetap memegang teguh janji kontrak 25 tahun, akhirnya masyarakat melakukan perlawanan. Tahun 2007 masyarakat memulai perlawanannya dengan menghentikan aktifitas perusahaan diatas lahan sengketa tersebut.

Tuntutan masyarakat dibalas dengan intimidasi dan penindasan. PTPN XIV justru meminta kepolisian untuk mengamankan kekuasaan dan monopolinya. Pengerahan Polisi berdampak terhadap kondisi di lapangan, hingga terjadinya konflik antara pihak kepolisian yang membela kepentingan PTPN dengan masyarakat yang ingin tanahnya di kembalikan. Banyak warga yang dikriminalisasi, ditembak, bahkan dipenjarakan. Intimidasi dan teror dilakukan pihak kepolisian terhadap masyarakat, mereka datang ke desa dengan membawa senjata dan masuk kerumah-rumah warga dengan dalih mencari DPO. Situasi ini kemudian menghancurkan moral dan menghentikan perjuangan masyarakat.

Situasi ini menjadi pelajaran penting bagi masyarakat, ketakutan dan trauma disatu sisi dan disisi lain penderitaan kerena ketiadaan pekerjaan dan ancaman kelaparan yang jauh mengancam nasib mereka. Sebuah semboyan bagi orang Makasar “Bajikanggangi mate ceraka na mate cipuruka”, yang berarti lebih baik mati berdarah dari pada mati kelaparan. Sehingga masyarakat memilih untuk bangkit kembali dan melanjutkan perjuangan atas tanah yang di rampas oleh PTPN VIV.

Belajar dari pengalaman praktek perjuangan yang banyak mengorbankan pihak petani di masa sebelumnya telah menjadi pelajaran penting bagi petani sampai akhirnya mereka memutuskan untuk membentuk organisasi tani Serikat Tani Polongbangkeng (STP) yang menghimpun seluruh kekuatan massa tani dalam satu wadah perjuangan yang kini berafiliasi langsung ke Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA). Untuk lebih memperkuat mereka juga membangun kerjasama dengan berbagai macam pihak mulai dari lembaga Hukum, Ormas, LSM dan lain lain.

STP yang dibentuk oleh petani Polongbangkeng kemudian menjadi tempat berkumpul sekaligus sekolah bagi kaum tani dan menjadi payung dalam melakukan perjuangannya. Berbagai pendidikan politik dan teori-teori tentang berjuang telah mengarahkan STP mamapu memimpin massa tani dalam garis perjuangan reforma agraria sejati. dengan militansi dan kepemimpinan kolektif telah membawa berbagai macam kemenangan bagi para anggota oraganisasi sampai saat ini mereka berhasil mengembalikan tanah yang sebelumnya di kuasai oleh perusahaan dibawah kontrol STP dan dikelolah oleh anggota organisasi.

Sejak 2012 kaum tani yang tergabung dalam STP telah kembali memulai kebudayaan menanam dan memanen padi dari tanah yang berhasil dikuasia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya diatas lahan kurang lebih 1500 hektar hingga tahun 2014 ini.

Cahaya cerah seakan menerangi kembali kegalapan lebih dari 25 tahun, akibat perampasan tanah yang dilakukan oleh PTPN XIV, Apresiasi dan syukur atas keberhasilan kaum tani tersebut kemudian diwujudkan dalam kegiatan pesta panen "Panen Raya" yang dilaksanakan pada 30 Maret 2014 di lahan kemenangnnya yang sudah di sulap menjadi hamparan padi yang menguning dan siap dipanen. 

Kegiatan Panen raya yang digelar mengambil tema Memajukan kebudayaan kaum tani, sebagai alat menyatukan gerak dan membumikan pengetahuan praktek berjuang. Panen Raya yang dilaksanakan STP dan AGRA juga melibatkan banyak dari kalangan organisasi seperti LBH, HUMA, dan juga dari kalangan mahasiswa terlibat akktif dalam kegiatan tersebut. 

Kegiatan ini bukanlah sebuah pesta untuk perayaan kemengan, tetapi sebaliknya kegiatan ini adalah upaya untuk memperkuat persatuan kaum tani dan untuk menarik pengalaman atas kemengan kecil, sekaligus mengabarkannya kepada massa luas agar dapat menjadi inspirasi, karena kaum tani di STP yakin bahwa kemenangan ini bukanlah sebuah kemenangan mutlak, sehingga pekerjaan penting saat ini adalah terus memperkuat dan meluaskan organisasi sebagai jaminan untuk mempertahankan kemenangan kecil yang saat ini dapat diraih.

Berbagai kegiatan dilakukan untuk mengisi pesta panen, mulai dari pagelaran drama kolosal dan teaterikal yang menggambarkan bagaimana perjuangan petani hingga mencapai kemenangan, selain itu juga diisi dengan sambutan-sambutan dan pesan solidaritas dari berbagai pihak, kemudian mengadakan seremonial bakar lamang yang di tutup dengan melakukan panen bersama oleh seluruh peserta yang datang.


Jayalah perjuangan kaum tani Indonesia
Jayalah perjuangan Rakyat .....!!!!

Sabtu, 05 April 2014

Long struggle against Indonesia oil palm land grab written by GRAIN




Sun, 03/09/2014 - 13:19 -- apc secretariat

Last year, GRAIN (a small international NGO) and the Asian Peasant Coalition (APC) jointly agreed for a collaborative project to document the struggle of peasant community affected by palm oil in Indonesia. On June 2013, the Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) hosted Devlin Kuyek from GRAIN and Pietro Polini of Terra Project. They visited Buol community in Central Sulawesi, Indonesia and they documented the struggle of Buo farmers.
The Buol community, like other indigenous communities in Indonesia, has lived on its ancestral lands for many generations, over thousands of years. Land tenure is held communally, in groups, with the capabilities and distribution of agricultural products based on the needs of each family in each group. Now, the area has been converted into oil palm plantations, office areas, camps for the plantation workers and a CPO (crude palm oil) processing factory.

Petisi Onlin dukungan perjuangan Kaum tani Bulukumba



http://www.change.org/petitions/give-back-more-than-5-000-hectares-of-agricultural-lands-taken-from-the-people-of-bulukumba-in-south-sulawesi-indonesia?share_id=FuTpulJMeB&utm_campaign=friend_inviter_chat&utm_medium=facebook&utm_source=share_petition&utm_term=permissions_dialog_false

KONSULTASI NASIONAL ANTI MONOPOLI DAN PERAMPASAN TANAH



Simpulan dan pokok-pokok pikiran
Hasil dari konsultasi nasioanal Anti Monopoli dan perampasan tanah

KOMNAS HAM-Jakarta 14 september 2012


Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) berusaha keras mengingkari kenyataan bahwa negara RI hingga saat ini masih bergantung hidup dari hasil pertanian terbelakang yang dijual murah, yang masih berlimpah berkat kekayaan alam semata, untuk memenuhi kebutuhan industri imperialisme Amerika Serikat, Eropa Barat dan Jepang. Sepandai apapun pemerintah menyulap angka statistik negara, tetap saja tidak bisa menyembunyikan arti penting pertanian terbelakang tersebut menjamin penghidupan mayoritas rakyat, temasuk upaya sistematis mengecilkan jumlah kaum tani secara nasional atau angkatan kerja yang terserap dalam sektor pertanian (dalam perkebunan maupun dalam pertanian perorangan berskala kecil) untuk meninggikan arti Pendapatan Domestik Bruto (PDB) sektor pertanian. Dengan cara tersebut pemerintah berusaha “mengentaskan kemiskinan,” mengurangi angka pengangguran, dan memperbaiki pendapatan kaum tani di atas kertas. Begitu juga, pemerintah sukses mengatasi kesenjangan desa dan kota, di atas kertas.

Pertanian terbelakang di Indonesia didominasi oleh perkebunan besar milik perorangan keluarga tuan tanah besar dan perkebunan besar milik negara yang kedua-duanya berhubungan langsung dan didikte oleh imperialisme dengan berbagai instrumen ekonomi dan keuangan, politik bahkan kebudayaan. Perkebunan besar tersebut mempraktekkan monopoli tanah dengan menggunakan kekuasaannya dalam negara. Praktek monopoli tanah tersebut telah melahirkan berbagai bentuk penghisapan utama yaitu sewa tanah (utamanya sistem bagi hasil) dan peribaan, serta berbagai bentuk penindasan terutama perampasan tanah milik kaum tani dengan berbagai bentuk kekerasan. Saat ini perkebunan besar ini terdiri dari perkebunan besar sawit, perkebunan besar kayu, perkebunan besar tebu atau pangan lainnya, yang keseluruhanya berorientasi ekspor dan mengabdi pada kepentingan industri imperialisme.  

Di samping pertanian monopoli berskala besar tersebut, mayoritas kaum tani dengan kemampuannya yang terus merosot berusaha mempertahankan sistem pertanian perorangan berskala kecil yang semakin kehilangan kemampuan dan kebebasan dalam berproduksi. Mayoritas dari kaum tani ini adalah tani miskin yang menguasai tanah sangat terbatas, buruh tani yang tidak menguasai tanah sama sekali, dan tani sedang serta segelintir tani kaya yang selalu terancam kebangkrutan karena monopoli input dan out-put pertanian oleh imperialis dan tuan tanah besar. Kaum tani inilah yang berjuang memenuhi pangan nasional secara mandiri, utamanya makanan pokok seperti beras, sayur-mayur dan aneka protein tanpa dukungan berarti dari negara dan pemerintah-nya. Kaum tani ini menerima distribusi produk atau hasil pertaniannya sendiri yang sangat terbatas untuk menghidupi populasi di pedesaan yang sangat besar dan sangat luas. Sebagian besar hasil produknya jatuh ke tangan tuan tanah besar dan para pedagang besar yang melakukan monopoli sarana produksi dan harga produk pertanian. Sangat ironis, mayoritas kaum tani memiliki tanah pertanian dan kapital serta pengetahuan dan keterampilan bertani yang sangat terbatas, akan tetapi menyerap tenaga pertanian terbesar dan menghidupi sebagian besar rakyat di pedesaan, dibandingkan dengan perkebunan besar yang melakukan monopoli tanah dan memonopoli input dan hasil pertanian.

Penguasaan tanah secara monopoli oleh para tuan tanah dalam ukuran yang sangat luas serta hak istimewa yang mereka miliki sangat tidak sebanding dengan tingkat produktifitas perkebunan yang mereka miliki dan sumbangannya bagi penghidupan bangsa dan rakyat Indonesia. Rendahnya pengetahuan dan keterampilan kaum tani yang bekerja dalam perkebunan selalu menjadi kambing hitam atas rendahnya rendahnya produktifitas. Kenyataan sesungguhnya adalah imperialis dan para tuan tanah besar yang menjadi tangannya berusaha mempertahankan sistem produksi yang sangat terbelakang yang mengandalkan tenaga kerja kaum tani yang berlimpah di pedesaan yang terpaksa dijual dengan harga sangat murah karena kemiskinan kronis di pedesaan. Kaum tani miskin dan buruh tani yang menjadi pekerja di perkebunan besar tersebut tidak sudi di-didik dan dilatih agar memiliki pengetahuan dan keterampilan yang lebih tinggi, mereka dipaksa bekerja dengan teknologi dan alat kerja terbelakang yang telah ada sejak zaman kolonial Belanda dan Jepang. Imperialisme dan para tuan tanahnya menginvestasikan kapital untuk membeli tanah (memperoleh konsesi), membeli tenaga kerja dan teknologi dalam jumlah yang sangat kecil dan terbatas. Investasi ini  berbanding terbalik dengan jumlah dana suap, dana yang dikorup dan dana pengamanan. Imperialis dan para tuan tanah besarnya di pedesaan terus melakukan perampasan tanah baru sebagai jalan untuk meningkatkan produksi, bukan dengan meningkatkan investasinya dan memodernisasi perkebunannya. Dalam kenyataannya, tanah konsesi tidak seluruhnya ditanami dan dibiarkan terlantar, sebagian hanya diambil kayunya. Sertifikat konsesi perkebunan adalah sumber pendapatan yang sangat besar dengan dengan jalan diagunkan di perbankan dan menyedot keuangan negara, seperti dana reboisasi. Saat ini para tuan tanah tersebut mengincar dana mitigasi dan adaptasi perubahan iklim serta perdagangan karbon.

Penguasaan tanah monopoli untuk perkebunan, tambang besar dan taman nasional yang sangat luas sangat tidak sebanding dengan jumlah tenaga kerja yang direkrut dan upah tenaga kerja kaum tani yang dibeli atau bagi hasil yang diterima oleh para petani “plasma.” Setiap perkebunan besar hanya menampung rata-rata hanya 200 orang pekerja per 10.000 hektar tanah konsesinya yang berasal dari tani miskin dan buruh tani yang terampas tanahnya atau tani plasma yang “terpaksa” tunduk pada tuan tanah karena ketergantungannya pada kapital untuk mengolah lahan dan pasar. Pekerja-perkeja tersebut hidup dengan upah harian yang sangat rendah, musiman, keadaan kerja sangat buruk, atau dengan sistem bagi hasil yang sangat timpang bagi petani plasma.

Demikian pula halnya dengan sistem pertambangan besar milik imperialis, pengusaha besar swasta dalam negeri dan perusahaan tambang negara. Pertambangan minyak bumi, gas, batu bara, panas bumi dan aneka mineral menggunakan areal tanah yang sangat luas dengan pemasukan negara dari pajak dan bagi hasil yang sangat rendah, tenaga kerja yang terbatas dan berupah rendah. Hal ini berbanding terbalik dengan berbagai kebijakan dan regulasi negara dan pemerintah yang memberikan mereka berbagai kemudahan, insentif dan jaminan keamanan serta perlindungan dari regulasi ketenaga kerjaan. 

Simpulan dan pokok-pokok pikiran Pertama
Krisis pangan dunia yang di akibatkan oleh monopoli benih, produksi dan distribusi korporasi internasioanal bidang pangan dan dampaknya terhadap perampasan tanah

Pemerintah Indonesia sendiri dalam menyikapi krisis pangan dunia dan krisis finansial global, telah menyatakan niatnya secara terbuka ke depan publik dunia, bahwa Indonesia berambisi untuk menjadi lumbung beras nomor satu di dunia, melalui pidato Presiden SBY, dalam rangka membantu dunia mengatasi krisis pangan.

Melihat pintu terbuka semacam ini, dengan cepat investor besar masuk ke Indonesia. Saat ini sudah ada empat kawasan di Indonesia yang telah menjadi target sasaran, yakni di Sumatera Utara, di Dumai, Kalimantan Timur di Bulungan, Riau serta di Merauke, Papua. Nilai investasi yang dapat ditampung di kawasan eks Inalum di Sumatera Utara sekitar Rp 12,5 triliun. Adapun di Dumai, pemerintah memperkirakan, investasi yang akan masuk mencapai Rp 20 triliun, sedangkan di Merauke bisa dikembangkan pusat pertanian pangan terbesar di Asia dengan investasi Rp 60 triliun. Untuk Dumai dan Sumatera Utara, basis industri yang dikembangkan adalah industri hilir CPO (minyak kelapa sawit mentah). Adapun untuk Merauke, pemerintah menyediakan 1,62 juta hektar lahan sebagai pusat pengembangan pertanian pangan. Namun dalam jangka menengah, lahan yang akan dikembangkan seluas 500.000 hektar. Tahun 2010 pemerintah berupaya menawarkan 100.000 hektar terlebih dahulu. Pertanian pangan yang akan dikembangkan tidak terbatas jenisnya, mulai dari padi hingga kelapa sawit.

Dalam laporan GRAIN—kelompok hak asasi bidang pertanian yang berbasis di Spanyol,  disebutkan bahwa Saudi Binladen Group menargetkan 500.000 hektar tanah pertanian di Merauke, Papua untuk produksi beras basmati dengan menggunakan benih padi Saudi, yang akan diekspor ke Arab Saudi untuk memenuhi kebutuhan domestik mereka. Menurut laporan ini, Kelompok BinLaden pada bulan Agustus 2008 menandatangani perjanjian investasi senilai kurang lebih US$ 4,3 miliar, sebagai perwakilan dari konsorsium 15 investor Arab yang dikenal dengan nama Konsorsium Produk Pangan Timur Tengah, untuk membangun 500 ribu lahan padi di Indonesia. BinLaden adalah perusahaan yang ditunjuk oleh pemerintah Arab Saudi untuk mengatasi masalah kerentanan pasokan bahan pangan negeri kerajaan itu melalui pengadaan proyek pangan di luar negeri. Pada tanggal 14 Agustus 2008, kelompok BinLaden menandatangani sebuah MoU (nota kesepakatan) dengan pemerintah Sulawesi Utara, di mana kelompok BinLaden akan diberikan lahan seluas 80 ribu hektar.

Dalam proyek pangan di Merauke, rencana investasinya diperkirakan akan mencapai hingga US$ 43 juta per 5 (lima) ribu hektar. Kelompok ini juga mempertimbangkan untuk menyediakan sejumlah beras untuk pasar lokal (agar masyarakat setempat tidak mempermasalahkan keberadaan proyek tersebut). Mitra lokalnya di Indonesia adalah Medco (minyak dan pertambangan), Sumber Alam Sutera (benih padi hibrida), dan Bangun Cipta Sarana (konstruksi).

Kerjasama dengan Saudi Binladen Group ini merupakan bagian dari proyek pusat pengembangan pertanian pangan dan energi seluas 1,62 juta hektar di atas, yang tidak saja mencakup padi, tapi juga jagung, sorghum, kacang kedelai, dan tebu, yang sebagian besar akan dikonversi menjadi bahan bakar nabati. Saudi Binladen Group memiliki 15% saham di dalam perkebunan kelapa sawit dan konglomerat pertambangan Bakrie and Brothers.        

Rencana pertanian pangan skala raksasa di Merauke, Papua Barat ini telah dituduh oleh organisasi petani, organisasi mahasiswa, dan organisasi lingkungan sebagai perampasan tanah karena akan menghancurkan 2 juta hektar hutan purba (virgin forest).Program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) diluncurkan oleh pada tanggal 17 Januari 2010 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Slogan dari proyek ini adalah “Feed Indonesia and then the world” (Indonesia Berswasembada Pangan, Agar Bisa Mengatasi Krisis Pangan Dunia), namun para petani lokal berpandangan bahwa proyek tersebut akan merusak pertanian tradisional dan kedaulatan pangan di kawasan ini. Proyek MIFEE akan menyewakan tanah untuk selama 90 tahun.

Data Pemerintah Kabupaten Merauke menunjukkan, luas lahan untuk investasi proyek MIFEE adalah 2,823 juta hektar. Lahan yang berizin lokasi 670.659 hektar. Dengan MIFEE, Merauke dijadikan basis produksi pangan nasional Indonesia di bagian timur. Dalam konsepnya, masyarakat di Merauke tak akan jadi penonton. Mereka berkolaborasi menjadi petani plasma. Mereka tidak menjual lahan pertanian kepada pihak lain, tetapi menyewakan kepada para pengusaha.

Dalam menyongsong prospek komoditas pangan dunia yang kian mahal, sejumlah konglomerat besar Indonesia masuk kembali ke bidang pertanian pangan. Grup Salim misalnya, berancang-ancang melakukan ekspansi ke sektor perkebunan tebu di Nusa Tenggara Barat. Setelah mengeduk keuntungan di bisnis sawit penghasil CPO, Salim berniat menanam duit di lahan tebu. Rencananya, konglomerasi yang dinakhodai Anthony Salim itu mendirikan pabrik gula dan membuka perkebunan tebu seluas 120.000 hektar di lahan berstatus area peruntukan lain.

Selain Grup Salim, ada tiga grup lain yang mengepakkan sayap di bisnis industri pemanis itu. Yakni Medco, Bakrie, dan Wilmar. Tiga konglomerat papan atas itu berniat mengembangkan perkebunan tebu yang terintegrasi dengan pabrik gula dan etanol di Merauke, Papua. Diperkirakan, total investasinya di lahan seluas 300.000 hektar itu mencapai Rp 9 triliun. Grup Medco sendiri sebenarnya sudah mengembangkan bioetanol berbahan baku tebu dan singkong dengan produksi 1.200 barel per hari di Lampung, menurut keterangan Sekretaris Medco Holding, Widjajanto. Sebelumnya, Arifin Panigoro selaku pemilik Medco mengungkapkan, Medco Energy International akan bekerjasama dengan PT Petrogas, Brazil, untuk ekspansi bioetanol tebu dan singkong. Total dana yang disiapkan guna membangun pabrik dan perkebunan pemasok bahan bakunya mencapai US$ 350 juta.

Selain berburu dolar di lahan tebu, Medco dan Bakrie plus Grup Artha Graha milik Tommy Winata pun berniat terjun ke ladang kedelai. Dirjen Tanaman Pangan Departemen Pertanian, Sutarto Alimoeso, mengungkap bahwa Kelompok Usaha Bakrie tertarik membuka lahan di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Grup Medco di Kabupaten Merauke, sedangkan Grup Artha Graha di beberapa provinsi, antara lain Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Lampung.

Turunnya para konglomerat ke ladang kedelai itu dipicu oleh target produksi kedelai nasional tahun 2008, yang didongkrak pemerintah menjadi 1,7 juta ton. Diproyeksikan, luas tanam kedelai mencapai 1 juta hektar. Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik, tahun 2007 produksi kedelai nasional turun 20,76 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Lantaran produksi anjlok, tahun 2007 impor kedelai Indonesia mencapai 1,3 juta ton dari total kebutuhan domestik 1,9 juta ton. Pasokan impor kedelai Indonesia pada tahun 2007 mengalami gangguan, karena impor kedelai yang diandalkan dari AS sebagian besar telah dikonversi menjadi bahan bakar nabati (biodiesel) untuk industri AS sendiri. Sehingga pada tahun 2008, ribuan petani kedelai dan pengrajin tempe Indonesia melakukan demonstrasi ke Istana Negara di Jakarta, guna memprotes krisis kedelai ini.    

Simpulan dan pokok-pokok pikiran ke dua
Perampasan dan Monopoli Tanah Untuk Perkebunan Besar Kelapa Sawit Dan Perbarui Sistem Produksinya

Tandan buah segar dan minyak mentah sawit (Crude Palm Oil-CPO) menjadi salah satu andalan ekspor utama pemerintah SBY saat ini. Peningkatan volume ekspor kelapa sawit ini sangat bergantung dari peningkatan luas lahan perkebunan monopoli milik para tuan tanah besar yang disokong oleh bank dan institusi keuangan serta perusahaan perdagangan komoditas pertanian monopoli milik imperialis. Peningkatan volume ekspor sangat kecil hubungannya dengan peningkatan investasi pada tenaga kerja, teknologi dan perbaikan tanah perkebunan. Perkebunan besar kelapa sawit sejak pendiriannya telah memanfaatkan melimpahnya tenaga tani miskin dan murah dari Jawa dan di daerah sekitar perkebunan di Sumatera, Kalimantan, sekarang ini Sulawesi dan papua.

Seluruh transmigran tersebut dijebak dalam sebuah sistem pertanian perkebunan kuno yang terbelakang yang hanya dapat disebandingkan penghisapan dan penindasannya dengan tanam paksa sejak 1830-1870 di era Kolonialisme Belanda dan Feodalisme masih berdominasi. Impian untuk memperoleh tanah, sokongan kapital dan rumah yang layak buyar seiring dengan kesadaran baru, bahwa mereka sengaja ditransmigrasikan sebagai tenaga kerja murah untuk membangun sistem perkebunan besar yang disebut “perusahaan inti,” dan mereka menjadi “plasma-nya.” Setelah perusahaan inti terbentuk mereka kembali harus berjuang keras untuk memperoleh tanah dan kebun sawit “hanya 2 hektar” yang mejadi haknya. Dengan licik para tuan tanah besar pemilik kebun inti mengikat mereka dengan kredit bank untuk “pembangunan kebun plasma” dengan tagihan yang tidak pernah lunas sekalipun seluruh tandan buah segar (TBS) telah diserahkan kepada para tuan tanah tersebut setiap musim panen ditambah dengan aneka potongan untuk merampas bagian bagi hasil yang sudah sangat kecil bagi tani plasma tersebut. Seluruh potongan tersebut disahkan oleh pemerintah RI melalui kementerian pertanian dan perkebunannya yang secara mistis dihubungkan dengan harga CPO internasional.

Para tuan tanah besar memperoleh segalanya dari sistem perkebunan besar kelapa sawit yang dikembangkan oleh negara dan pemerintah RI. Mereka memperoleh kredit perbankan bahkan dana “khusus” dari negara seperti dana reboisasi untuk membangun perkebunanya; mereka memanipulasi jumlah kredit untuk tani plasma untuk dirinya sendiri sementara beban pembayaran diletakkan dipundak tani plasma; mereka menikmati posisi sebagai penentu harga dan bebas memotong bagian bagi hasil dari tani plasma dengan harga yang mereka tentukan secara sepihak karena menguasai tanah dan pabrik olahan; dan sebagian besar dari mereka bahkan telah menikmati keuntungan dari hasil perjualan kayu pada saat pembukaan kebun, bila berasal dari tanah hutan primer atau sekunder.

Para kaum tani plasma tidak memperoleh apapun kecuali penghisapan dan penindasan berlipat. Bahkan impian untuk memperoleh tanah dan penghidupan layakpun mulai lenyap dari kepala karena terus ditipu dan ditindas oleh para tuan tanah dan alat kekerasan dari negara.

Sistem pertanian perkebunan besar kelapa sawit ini juga melibatkan “tani bebas” yang tidak terikat sebagai plasma. Akan tetapi mereka sama sekali tidak memiliki kebebasan untuk berproduksi karena, seluruh input dan harga produknya ditentukan oleh tuan tanah besar dan juga kapital dari perbankan yang sama yang mengusai hasil produk tandan buah segar. Untuk “petani bebas perseorangan” macam ini, mereka harus memiliki tanah dan perkebunan sawit yang luas agar dapat meraih status “petani sedang.”

Keadaan ini tentu saja bertolak belakang secara keseluruhan dengan ambisi pemerintah dan para tuan tanah besar untuk terus mempertahankan sistem perkebunan besar ini, bahkan terus memperluas tanahnya tanpa memperdulikan nasib kaum tani dalam sistem perkebunan besar ini, dan kaum tani luas yang dirampas tanahnya untuk memenuhi ambisi ekspor non migas yang dipatok selangit. Imperialis dan Pemerintah RI tutup mata dan telinga pada kenyataan pahit yang dialami kaum tani, terusir dari tanah satu-satunya dan mencari tempat baru di hutan dan teusir pula oleh taman nasional dan perkebunan kayu yang disebut Hutan Tanaman Industri.

Saat ini perluasan perkebunan besar kelapa sawit memperoleh dukungan sangat kuat dengan adanya berbagai program “ekonomi hijau (green economy)” dunia di mana pemerintah RI menjadi pegiat utamanya untuk menyelamatkan imperialisme. Setelah sebelumnya mereka berhasil memperoleh legitimasi untuk melestarikan sistem perkebunan jahat ini melalui “sistem sertifikasi imperialis dan nasional mengenai perkebunan sawit berkelanjutan.” Melalui program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, kembali perkebunan kelapa sawit mempromosikan dirinya sendiri sebagai “pelestari lingkungan” setelah bertahun-tahun merusak hutan, lahan gambut dan menghancurkan tanah serta mengisap air dengan rakus hingga kering dengan sertifikasi Konservasi Bernilai Tinggi (High Conservation Value-HCV) bagi areal perkebunannya. Berikutnya, para tuan tanah besar tersebut dengan menggandeng berbagai konsultan dunia dan berkat dukungan penuh International Finance Coorporation (IFC) anak perusahaan Bank Dunia juga sedang memformulasikan dirinya sebagai perusahaan yang layak ambil bagian dalam “perdagangan karbon,” karena menganggap tanaman sawit dapat meyerap karbon yang dilepaskan dan menganggap dirinya telah melakukan “reboisasi” di lahan “kritis.”

Imperialisme dan para tuan tanah besar ini, tidak pernah kehabisan amunisi dan akal untuk memanipulasi tuntutan rakyat untuk menghapus perkebunan besar monopoli yang telah melahirkan berbagai bentuk penghisapan dan kekerasan yang mengerikan di pedesaan Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. “istilah kemitraan,” sistem perkebunan inti-plasma, program transmigrasi bahkan dengan tidak tahu malu disebutnya sebagai program “reforma agraria” dan mengabdi pada kepentingan nasional. Mereka dengan cerdik memanfaatkan kelemahan kapital kaum tani untuk berproduksi bebas dan tidak ketidakmampuan pemerintah RI menciptakan lahan pertanian luas menjadi lahan produktif di tangan kaum tani bebas perseorangan untuk dijadikan perkebunan besar kelapa sawit. Pemerintah melihat tawaran imperialis dan tuan tanah tersebut sebagai “jalan pintas” untuk lari dari tanggung jawab terhadap kaum tani bahkan bisa menggelembungkan kantong para kapitalis birokrat, “menggairahkan perbankan nasional” dengan adanya aliran dana investasi asing dan seterusnya.

Karenanya, tanpa kebangkitan kaum tani sendiri untuk bergerak dan berorganisasi, berbagai praktek perampasan dan monopoli tanah oleh perkebunan besar kelapa sawit ini tidak bakal berhenti begitu saja dengan sendirinya. Bahkan akan terus meluas dan menebarkan kemiskinan bagi petani plasma dan buruh tani serta tani kelapa sawit perseorangan yang harus tunduk pada kekuasaan monopoli imperialisme dan tuan tanah besar.

Berbagai kebijakan dan regulasi yang berkenaan dengan penyediaan tanah dan sistem budi daya, sistem keuangan dan perdagangan yang terhubung dengan kelapa sawit harus diubah. Berbagai kebijakan dan regulasi baru yang memberikan sokongan atas perluasan kelapa sawit termasuk upayanya memanipulasi isu perubahan iklim dan meloloskan dirinya sebagai perusak lingkungan nomor satu harus dihentikan.




Simpulan dan pokok-pokok pikiran ke 3
Kebijakan dan Regulasi Pertanahan Negara dan Pemerintah SBY

Mayoritas kaum tani pedesaan hidup dengan hanya mengandalkan tanah dan kapital yang sangat terbatas, sebagian dari mereka bahkan tidak bertanah, akan tetapi menampung dan menghidupi bagian terbesar dari angkatan kerja di pedesaan. Kaum tani yang masih memiliki tanah, pelan namun pasti, dipaksa oleh imperialis dan para tuan tanahnya untuk menyerahkan tanahnya baik secara langsung dan dengan kekerasan untuk pembangunan perkebunan besar, pertambangan besar maupun untuk pembangunan taman nasional dan infastruktur berkedok kepentingan nasional.  Sebagian lainnya dipaksa meninggalkan tanahnya secara tidak langsung, karena seluruh kapital yang diperlukan untuk mengolah lahan dikuasai oleh imperialis dan para tuan tanah, demikian pula dengan harga hasil produknya. Kebijakan dan regulasi pemerintahan SBY mengabdi pada kepentingan imperialis dan para tuan tanah besarnya, termasuk kebijakan dan regulasi tanah dan kapital serta perdagangan input dan output pertanian.

Karena itu, tanah masih menjadi masalah utama kaum tani Indonesia, berikutnya kapital yang diperlukan oleh mengolah tanah pertaniannya. Sekalipun Indonesia memiliki lahan pertanian dan potensi lahan pertanian yang sangat luas, kaum tani dan rakyat secara keseluruhan selalu kekurangan makanan pokok dan tambahan yang sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Sistem pertanian terbelakang warisan sistem kolonial dan feodalisme sebelum abad-20 tetap dipertahankan di era kapitalisme monopoli sekarang. Lahan-lahan pertanian dipergunakan sedemikian pula untuk membangunan pekebunan tanaman komoditas seperti sawit, karet, kayu, tebu, tembakau untuk industri imperialis. Kebijakan dan regulasi negara menjamin dan melindungi keberlangsungan sistem perkebunan besar monopoli ini dengan berbagai cara di setiap pemerintahan. Tanah lainnya dialokasikan untuk pertambangan dan taman nasional dengan tujuan dan cara yang sama.

Pada saat krisis pangan di dunia mengemuka seperti saat ini, pemerintah SBY dengan sigap menjanjikan tanah dan insentif serta berbagai kemudahan bagi para investor asing agar “bersedia” mengembangkan tanaman pangan di Indonesia dengan kedok “keamanan pangan dunia.” Padahal hampir setiap hari di seluruh pelosok negeri, kaum tani menuntut lahan pertanian yang cukup dan bantuan kapital untuk dapat berproduksi. Akan tetapi tuntutan-tuntutan tersebut seperti angin lalu, tidak digubris, justru tanah dan kapital yang tersedia terus dirampas dan perlemah dengan berbagai cara.

Dengan dukungan pemerintah dan lembaga keuangan imperialis, para tuan tanah besar dengan mudah memperoleh konsesi tanah dan terus memperluas tanahnya. Perkebunan besar sawit, kayu dan karet seperti Sinar Mas Grup dan Wilmar serta perusahaan milik negara memperluas perkebunannya dengan sangat agresif bahkan sejak jatuhnya pemerintahan Suharto. Di tengah krisis imperialis sekarang, legitimasi konsolidasi dan ekspansi perkebunan-perkebunan besar monopoli tersebut mendapat dukungan penuh berlipat-lipat dari imperialis dengan ekspor kapitalnya dan “slogan palsu” penanganan iklim dan keamanan pangan. Pemerintah SBY menyambut dengan gempita berbagai “slogan palsu” tersebut dengan berbagai regulasi pertanahan, kehutanan, pertanian, perdagangan, keuangan dan perbankan untuk mendukung upaya tersebut.

Istilah “Reforma Agraria” telah diadaptasi oleh pemerintah RI sejak keluarnya TAP MPR No.XI/MPR/2001 dan untuk selanjutnya dimanipulasi sedemikian rupa sesuai dengan aspirasi dan selera imperialis dan para tuan tanah besar, dalam wakktu bersamaan istilah “reforma agraria” tersebut memiliki kekuatan untuk meredam tuntutan dan aspirasi sejati kaum tani.

Di bawah pemerintahan SBY, muslihat “reforma agraria” pemerintah tersebut mulai dimengerti dan dirasakan oleh kaum tani, dan meluapkan kemarahan di seluruh pelosok negeri. Berbagai program pertanahan SBY melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN) seperti “Larasita,” sebuah program administrasi dan sertifikasi tanah yang sangat terbatas, hanya dapat “mengilusi,” segelintir lembaga swadaya masyarakat dan aktivis-nya, akan tetapi sama sekali tidak dapat meredam kemarahan rakyat. Sebab dalam waktu bersamaan, pemerintahan SBY melalui departemen Kehutanan, Pertanian, Badan Koordinasi Penanaman Modal, Perdagangan dan Keuangannya bahkan TNI bersama-sama melakukan perampasan tanah dengan “legitimasi” Dewan Perwakilan Rakyat dan aparatur negara hingga kabupaten.

Kaum tani tidak dapat dimanipulasi lagi dengan berbagai paket program “reforma agraria palsu” pemerintah SBY. Aspirasi dan kepentingan sejati mayoritas kaum tani di pedesaan, nelayan dan suku bangsa minoritas di pedalaman adalah ditetapkannya Land Reform Sejati! Dengan seruan umum “tanah dan kapital untuk penggarap, tanah dan kapital untuk kaum tani dan rakyat,” bukan tanah untuk imperialis dan para tuan tanahnya.

1.      Reforma agraria sejati akan membebaskan kaum tani yang terpaksa menyerahkan tanahnya sebagai “plasma” dalam perkebunan besar milik tuan tanah besar karena tidak memiliki kapital untuk menanam sendiri dan dipaksa oleh pemerintah dan sistem perbankannya untuk untuk tunduk pada mekanisme kapital dan pasar yang dikuasai oleh imperialis dan para tuan tanahnya.

2.      Reforma agraria sejati adalah memperjuangkan pengembalikan tanah kaum tani yang telah dirampas oleh kolonial Belanda dan Jepang serta para kesultanan islam di masa lampau, oleh imperialis dan para tuan tanah di era pemerintah Suharto dan pemerintahan-pemerintahan berikutnya; menyediakan tanah yang cukup bagi kaum tani yang mengerjakan tanah secara langsung atau para penggarap, menyediakan kapital dan berbagai peralatan untuk berproduksi dan menjamin tersedianya seluruh input dan harga out-put pertanian.

3.      Reforma agraria sejati adalah memperjuangkan pengembalian  tanah-tanah milik suku bangsa minoritas kembali ke tangan mereka dari tangan taman nasional, tambang besar dan perkebunan besar. Dan membiarkan mereka menentukan dan mengatur pemanfaatan tanahnya sendiri secara bebas tanpa penghisapan dan paksaan dari siapapun. Pemerintah menjamin tersedianya berbagai bantuan agar mereka dapat berproduksi secara leluasa dan bebas sehingga dapat mengurus dirinya sendiri secara otonom dan memajukan kebudayaannya. Berbagai bentuk diskriminasi, penghinaan dan komersialisasi terhadap suku bangsa minoritas harus dihentikan.

4.      Reforma agraria sejati adalah memperjuangkan  tanah-tanah di pesisiran milik nelayan kecil dan menengah dikembalikan, dari tangan-tangan pemilik tambak besar monopoli. (Kapital) baik uang maupun alat tangkap bagi nelayan harus dijamin, demikian pula dengan harga ikan dan hasil budi daya lainnya.

5.      Reforma agraria sejati adalah memperjuangkan  penguasaan tanah bagi pemukim dan penggarap di hutan, mereka adalah korban perampasan tanah oleh perkebunan besar monopoli hingga masuk ke hutan dan membuka ladang dan perkebunan berskala kecil. Tanah mereka tidak boleh dirampas dan diusir demi mempertahankan taman nasional atau taman hutan raya. Pemerintah harus menjamin tersedianya kapital yang cukup, pengetahuan dan teknologi bertani bagi mereka.

Seluruh kebijakan dan regulasi yang memperkenankan monopoli tanah dan perampasan tanah oleh perkebunan besar, tambang besar dan taman nasional harus dihapuskan dan ditinjau ulang dengan instruksi atau dekrit presiden RI termasuk berbagai tindakan kekerasan yang mengikutinya.

Seluruh kaum tani, nelayan, para pemukim dan penggarap dihutan dan suku bangsa minoritas harus bangkit, bergerak dan berorganisasi dari desa-desa hingga tingkat nasional karena hanya dengan jalan itulah landreform sejati ini dapat diwujudkan. Imperialisme, para tuan tanah besar dan pengusaha besar yang menjadi kaki tangannya tidak akan bersedia melepaskan kekuasaan monopoli tanahnya begitu saja. Juga mereka tidak bersedia melepaskan berbagai praktek penghisapan feodal dengan sukarela.

AGRA sebagai serikat tani militan berpihak tanpa ragu sedikitpun pada perjuangan landreform sejati ini, dan mempersiapkan dirinya agar dapat mengkoordinasikan perjuangan anti-landreform palsu dan menuntut land reform sejati ini dari waktu ke waktu hingga menang. Persatuan dengan kaum buruh akan membuat perjuangan ini tidak kehilangan kesejatiannya hingga menang. Persatuan dengan pemuda, perempuan, mahasiswa dan berbagai lapisan pengusaha kecil dan menengah nasional harus diusahakan sekuat tenaga dan bahu-membahu agar perjuangan ini menjadi lebih mudah dan dapat berguna bagi bangsa dan mayoritas rakyat Indonesia.