Simpulan dan pokok-pokok pikiran
Hasil dari konsultasi nasioanal Anti Monopoli dan perampasan tanah
KOMNAS HAM-Jakarta 14 september 2012
Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) berusaha keras mengingkari kenyataan bahwa negara RI hingga saat ini masih bergantung hidup dari hasil pertanian terbelakang yang dijual murah, yang masih berlimpah berkat kekayaan alam semata, untuk memenuhi kebutuhan industri imperialisme Amerika Serikat, Eropa Barat dan Jepang. Sepandai apapun pemerintah menyulap angka statistik negara, tetap saja tidak bisa menyembunyikan arti penting pertanian terbelakang tersebut menjamin penghidupan mayoritas rakyat, temasuk upaya sistematis mengecilkan jumlah kaum tani secara nasional atau angkatan kerja yang terserap dalam sektor pertanian (dalam perkebunan maupun dalam pertanian perorangan berskala kecil) untuk meninggikan arti Pendapatan Domestik Bruto (PDB) sektor pertanian. Dengan cara tersebut pemerintah berusaha “mengentaskan kemiskinan,” mengurangi angka pengangguran, dan memperbaiki pendapatan kaum tani di atas kertas. Begitu juga, pemerintah sukses mengatasi kesenjangan desa dan kota, di atas kertas.
Pertanian terbelakang di Indonesia didominasi oleh perkebunan besar milik perorangan keluarga tuan tanah besar dan perkebunan besar milik negara yang kedua-duanya berhubungan langsung dan didikte oleh imperialisme dengan berbagai instrumen ekonomi dan keuangan, politik bahkan kebudayaan. Perkebunan besar tersebut mempraktekkan monopoli tanah dengan menggunakan kekuasaannya dalam negara. Praktek monopoli tanah tersebut telah melahirkan berbagai bentuk penghisapan utama yaitu sewa tanah (utamanya sistem bagi hasil) dan peribaan, serta berbagai bentuk penindasan terutama perampasan tanah milik kaum tani dengan berbagai bentuk kekerasan. Saat ini perkebunan besar ini terdiri dari perkebunan besar sawit, perkebunan besar kayu, perkebunan besar tebu atau pangan lainnya, yang keseluruhanya berorientasi ekspor dan mengabdi pada kepentingan industri imperialisme.
Di samping pertanian monopoli berskala besar tersebut, mayoritas kaum tani dengan kemampuannya yang terus merosot berusaha mempertahankan sistem pertanian perorangan berskala kecil yang semakin kehilangan kemampuan dan kebebasan dalam berproduksi. Mayoritas dari kaum tani ini adalah tani miskin yang menguasai tanah sangat terbatas, buruh tani yang tidak menguasai tanah sama sekali, dan tani sedang serta segelintir tani kaya yang selalu terancam kebangkrutan karena monopoli input dan out-put pertanian oleh imperialis dan tuan tanah besar. Kaum tani inilah yang berjuang memenuhi pangan nasional secara mandiri, utamanya makanan pokok seperti beras, sayur-mayur dan aneka protein tanpa dukungan berarti dari negara dan pemerintah-nya. Kaum tani ini menerima distribusi produk atau hasil pertaniannya sendiri yang sangat terbatas untuk menghidupi populasi di pedesaan yang sangat besar dan sangat luas. Sebagian besar hasil produknya jatuh ke tangan tuan tanah besar dan para pedagang besar yang melakukan monopoli sarana produksi dan harga produk pertanian. Sangat ironis, mayoritas kaum tani memiliki tanah pertanian dan kapital serta pengetahuan dan keterampilan bertani yang sangat terbatas, akan tetapi menyerap tenaga pertanian terbesar dan menghidupi sebagian besar rakyat di pedesaan, dibandingkan dengan perkebunan besar yang melakukan monopoli tanah dan memonopoli input dan hasil pertanian.
Penguasaan tanah secara monopoli oleh para tuan tanah dalam ukuran yang sangat luas serta hak istimewa yang mereka miliki sangat tidak sebanding dengan tingkat produktifitas perkebunan yang mereka miliki dan sumbangannya bagi penghidupan bangsa dan rakyat Indonesia. Rendahnya pengetahuan dan keterampilan kaum tani yang bekerja dalam perkebunan selalu menjadi kambing hitam atas rendahnya rendahnya produktifitas. Kenyataan sesungguhnya adalah imperialis dan para tuan tanah besar yang menjadi tangannya berusaha mempertahankan sistem produksi yang sangat terbelakang yang mengandalkan tenaga kerja kaum tani yang berlimpah di pedesaan yang terpaksa dijual dengan harga sangat murah karena kemiskinan kronis di pedesaan. Kaum tani miskin dan buruh tani yang menjadi pekerja di perkebunan besar tersebut tidak sudi di-didik dan dilatih agar memiliki pengetahuan dan keterampilan yang lebih tinggi, mereka dipaksa bekerja dengan teknologi dan alat kerja terbelakang yang telah ada sejak zaman kolonial Belanda dan Jepang. Imperialisme dan para tuan tanahnya menginvestasikan kapital untuk membeli tanah (memperoleh konsesi), membeli tenaga kerja dan teknologi dalam jumlah yang sangat kecil dan terbatas. Investasi ini berbanding terbalik dengan jumlah dana suap, dana yang dikorup dan dana pengamanan. Imperialis dan para tuan tanah besarnya di pedesaan terus melakukan perampasan tanah baru sebagai jalan untuk meningkatkan produksi, bukan dengan meningkatkan investasinya dan memodernisasi perkebunannya. Dalam kenyataannya, tanah konsesi tidak seluruhnya ditanami dan dibiarkan terlantar, sebagian hanya diambil kayunya. Sertifikat konsesi perkebunan adalah sumber pendapatan yang sangat besar dengan dengan jalan diagunkan di perbankan dan menyedot keuangan negara, seperti dana reboisasi. Saat ini para tuan tanah tersebut mengincar dana mitigasi dan adaptasi perubahan iklim serta perdagangan karbon.
Penguasaan tanah monopoli untuk perkebunan, tambang besar dan taman nasional yang sangat luas sangat tidak sebanding dengan jumlah tenaga kerja yang direkrut dan upah tenaga kerja kaum tani yang dibeli atau bagi hasil yang diterima oleh para petani “plasma.” Setiap perkebunan besar hanya menampung rata-rata hanya 200 orang pekerja per 10.000 hektar tanah konsesinya yang berasal dari tani miskin dan buruh tani yang terampas tanahnya atau tani plasma yang “terpaksa” tunduk pada tuan tanah karena ketergantungannya pada kapital untuk mengolah lahan dan pasar. Pekerja-perkeja tersebut hidup dengan upah harian yang sangat rendah, musiman, keadaan kerja sangat buruk, atau dengan sistem bagi hasil yang sangat timpang bagi petani plasma.
Demikian pula halnya dengan sistem pertambangan besar milik imperialis, pengusaha besar swasta dalam negeri dan perusahaan tambang negara. Pertambangan minyak bumi, gas, batu bara, panas bumi dan aneka mineral menggunakan areal tanah yang sangat luas dengan pemasukan negara dari pajak dan bagi hasil yang sangat rendah, tenaga kerja yang terbatas dan berupah rendah. Hal ini berbanding terbalik dengan berbagai kebijakan dan regulasi negara dan pemerintah yang memberikan mereka berbagai kemudahan, insentif dan jaminan keamanan serta perlindungan dari regulasi ketenaga kerjaan.
Simpulan dan pokok-pokok pikiran Pertama
Krisis pangan dunia yang di akibatkan oleh monopoli benih, produksi dan distribusi korporasi internasioanal bidang pangan dan dampaknya terhadap perampasan tanah
Pemerintah Indonesia sendiri dalam menyikapi krisis pangan dunia dan krisis finansial global, telah menyatakan niatnya secara terbuka ke depan publik dunia, bahwa Indonesia berambisi untuk menjadi lumbung beras nomor satu di dunia, melalui pidato Presiden SBY, dalam rangka membantu dunia mengatasi krisis pangan.
Melihat pintu terbuka semacam ini, dengan cepat investor besar masuk ke Indonesia. Saat ini sudah ada empat kawasan di Indonesia yang telah menjadi target sasaran, yakni di Sumatera Utara, di Dumai, Kalimantan Timur di Bulungan, Riau serta di Merauke, Papua. Nilai investasi yang dapat ditampung di kawasan eks Inalum di Sumatera Utara sekitar Rp 12,5 triliun. Adapun di Dumai, pemerintah memperkirakan, investasi yang akan masuk mencapai Rp 20 triliun, sedangkan di Merauke bisa dikembangkan pusat pertanian pangan terbesar di Asia dengan investasi Rp 60 triliun. Untuk Dumai dan Sumatera Utara, basis industri yang dikembangkan adalah industri hilir CPO (minyak kelapa sawit mentah). Adapun untuk Merauke, pemerintah menyediakan 1,62 juta hektar lahan sebagai pusat pengembangan pertanian pangan. Namun dalam jangka menengah, lahan yang akan dikembangkan seluas 500.000 hektar. Tahun 2010 pemerintah berupaya menawarkan 100.000 hektar terlebih dahulu. Pertanian pangan yang akan dikembangkan tidak terbatas jenisnya, mulai dari padi hingga kelapa sawit.
Dalam laporan GRAIN—kelompok hak asasi bidang pertanian yang berbasis di Spanyol, disebutkan bahwa Saudi Binladen Group menargetkan 500.000 hektar tanah pertanian di Merauke, Papua untuk produksi beras basmati dengan menggunakan benih padi Saudi, yang akan diekspor ke Arab Saudi untuk memenuhi kebutuhan domestik mereka. Menurut laporan ini, Kelompok BinLaden pada bulan Agustus 2008 menandatangani perjanjian investasi senilai kurang lebih US$ 4,3 miliar, sebagai perwakilan dari konsorsium 15 investor Arab yang dikenal dengan nama Konsorsium Produk Pangan Timur Tengah, untuk membangun 500 ribu lahan padi di Indonesia. BinLaden adalah perusahaan yang ditunjuk oleh pemerintah Arab Saudi untuk mengatasi masalah kerentanan pasokan bahan pangan negeri kerajaan itu melalui pengadaan proyek pangan di luar negeri. Pada tanggal 14 Agustus 2008, kelompok BinLaden menandatangani sebuah MoU (nota kesepakatan) dengan pemerintah Sulawesi Utara, di mana kelompok BinLaden akan diberikan lahan seluas 80 ribu hektar.
Dalam proyek pangan di Merauke, rencana investasinya diperkirakan akan mencapai hingga US$ 43 juta per 5 (lima) ribu hektar. Kelompok ini juga mempertimbangkan untuk menyediakan sejumlah beras untuk pasar lokal (agar masyarakat setempat tidak mempermasalahkan keberadaan proyek tersebut). Mitra lokalnya di Indonesia adalah Medco (minyak dan pertambangan), Sumber Alam Sutera (benih padi hibrida), dan Bangun Cipta Sarana (konstruksi).
Kerjasama dengan Saudi Binladen Group ini merupakan bagian dari proyek pusat pengembangan pertanian pangan dan energi seluas 1,62 juta hektar di atas, yang tidak saja mencakup padi, tapi juga jagung, sorghum, kacang kedelai, dan tebu, yang sebagian besar akan dikonversi menjadi bahan bakar nabati. Saudi Binladen Group memiliki 15% saham di dalam perkebunan kelapa sawit dan konglomerat pertambangan Bakrie and Brothers.
Rencana pertanian pangan skala raksasa di Merauke, Papua Barat ini telah dituduh oleh organisasi petani, organisasi mahasiswa, dan organisasi lingkungan sebagai perampasan tanah karena akan menghancurkan 2 juta hektar hutan purba (virgin forest).Program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) diluncurkan oleh pada tanggal 17 Januari 2010 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Slogan dari proyek ini adalah “Feed Indonesia and then the world” (Indonesia Berswasembada Pangan, Agar Bisa Mengatasi Krisis Pangan Dunia), namun para petani lokal berpandangan bahwa proyek tersebut akan merusak pertanian tradisional dan kedaulatan pangan di kawasan ini. Proyek MIFEE akan menyewakan tanah untuk selama 90 tahun.
Data Pemerintah Kabupaten Merauke menunjukkan, luas lahan untuk investasi proyek MIFEE adalah 2,823 juta hektar. Lahan yang berizin lokasi 670.659 hektar. Dengan MIFEE, Merauke dijadikan basis produksi pangan nasional Indonesia di bagian timur. Dalam konsepnya, masyarakat di Merauke tak akan jadi penonton. Mereka berkolaborasi menjadi petani plasma. Mereka tidak menjual lahan pertanian kepada pihak lain, tetapi menyewakan kepada para pengusaha.
Dalam menyongsong prospek komoditas pangan dunia yang kian mahal, sejumlah konglomerat besar Indonesia masuk kembali ke bidang pertanian pangan. Grup Salim misalnya, berancang-ancang melakukan ekspansi ke sektor perkebunan tebu di Nusa Tenggara Barat. Setelah mengeduk keuntungan di bisnis sawit penghasil CPO, Salim berniat menanam duit di lahan tebu. Rencananya, konglomerasi yang dinakhodai Anthony Salim itu mendirikan pabrik gula dan membuka perkebunan tebu seluas 120.000 hektar di lahan berstatus area peruntukan lain.
Selain Grup Salim, ada tiga grup lain yang mengepakkan sayap di bisnis industri pemanis itu. Yakni Medco, Bakrie, dan Wilmar. Tiga konglomerat papan atas itu berniat mengembangkan perkebunan tebu yang terintegrasi dengan pabrik gula dan etanol di Merauke, Papua. Diperkirakan, total investasinya di lahan seluas 300.000 hektar itu mencapai Rp 9 triliun. Grup Medco sendiri sebenarnya sudah mengembangkan bioetanol berbahan baku tebu dan singkong dengan produksi 1.200 barel per hari di Lampung, menurut keterangan Sekretaris Medco Holding, Widjajanto. Sebelumnya, Arifin Panigoro selaku pemilik Medco mengungkapkan, Medco Energy International akan bekerjasama dengan PT Petrogas, Brazil, untuk ekspansi bioetanol tebu dan singkong. Total dana yang disiapkan guna membangun pabrik dan perkebunan pemasok bahan bakunya mencapai US$ 350 juta.
Selain berburu dolar di lahan tebu, Medco dan Bakrie plus Grup Artha Graha milik Tommy Winata pun berniat terjun ke ladang kedelai. Dirjen Tanaman Pangan Departemen Pertanian, Sutarto Alimoeso, mengungkap bahwa Kelompok Usaha Bakrie tertarik membuka lahan di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Grup Medco di Kabupaten Merauke, sedangkan Grup Artha Graha di beberapa provinsi, antara lain Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Lampung.
Turunnya para konglomerat ke ladang kedelai itu dipicu oleh target produksi kedelai nasional tahun 2008, yang didongkrak pemerintah menjadi 1,7 juta ton. Diproyeksikan, luas tanam kedelai mencapai 1 juta hektar. Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik, tahun 2007 produksi kedelai nasional turun 20,76 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Lantaran produksi anjlok, tahun 2007 impor kedelai Indonesia mencapai 1,3 juta ton dari total kebutuhan domestik 1,9 juta ton. Pasokan impor kedelai Indonesia pada tahun 2007 mengalami gangguan, karena impor kedelai yang diandalkan dari AS sebagian besar telah dikonversi menjadi bahan bakar nabati (biodiesel) untuk industri AS sendiri. Sehingga pada tahun 2008, ribuan petani kedelai dan pengrajin tempe Indonesia melakukan demonstrasi ke Istana Negara di Jakarta, guna memprotes krisis kedelai ini.
Simpulan dan pokok-pokok pikiran ke dua
Perampasan dan Monopoli Tanah Untuk Perkebunan Besar Kelapa Sawit Dan Perbarui Sistem Produksinya
Tandan buah segar dan minyak mentah sawit (Crude Palm Oil-CPO) menjadi salah satu andalan ekspor utama pemerintah SBY saat ini. Peningkatan volume ekspor kelapa sawit ini sangat bergantung dari peningkatan luas lahan perkebunan monopoli milik para tuan tanah besar yang disokong oleh bank dan institusi keuangan serta perusahaan perdagangan komoditas pertanian monopoli milik imperialis. Peningkatan volume ekspor sangat kecil hubungannya dengan peningkatan investasi pada tenaga kerja, teknologi dan perbaikan tanah perkebunan. Perkebunan besar kelapa sawit sejak pendiriannya telah memanfaatkan melimpahnya tenaga tani miskin dan murah dari Jawa dan di daerah sekitar perkebunan di Sumatera, Kalimantan, sekarang ini Sulawesi dan papua.
Seluruh transmigran tersebut dijebak dalam sebuah sistem pertanian perkebunan kuno yang terbelakang yang hanya dapat disebandingkan penghisapan dan penindasannya dengan tanam paksa sejak 1830-1870 di era Kolonialisme Belanda dan Feodalisme masih berdominasi. Impian untuk memperoleh tanah, sokongan kapital dan rumah yang layak buyar seiring dengan kesadaran baru, bahwa mereka sengaja ditransmigrasikan sebagai tenaga kerja murah untuk membangun sistem perkebunan besar yang disebut “perusahaan inti,” dan mereka menjadi “plasma-nya.” Setelah perusahaan inti terbentuk mereka kembali harus berjuang keras untuk memperoleh tanah dan kebun sawit “hanya 2 hektar” yang mejadi haknya. Dengan licik para tuan tanah besar pemilik kebun inti mengikat mereka dengan kredit bank untuk “pembangunan kebun plasma” dengan tagihan yang tidak pernah lunas sekalipun seluruh tandan buah segar (TBS) telah diserahkan kepada para tuan tanah tersebut setiap musim panen ditambah dengan aneka potongan untuk merampas bagian bagi hasil yang sudah sangat kecil bagi tani plasma tersebut. Seluruh potongan tersebut disahkan oleh pemerintah RI melalui kementerian pertanian dan perkebunannya yang secara mistis dihubungkan dengan harga CPO internasional.
Para tuan tanah besar memperoleh segalanya dari sistem perkebunan besar kelapa sawit yang dikembangkan oleh negara dan pemerintah RI. Mereka memperoleh kredit perbankan bahkan dana “khusus” dari negara seperti dana reboisasi untuk membangun perkebunanya; mereka memanipulasi jumlah kredit untuk tani plasma untuk dirinya sendiri sementara beban pembayaran diletakkan dipundak tani plasma; mereka menikmati posisi sebagai penentu harga dan bebas memotong bagian bagi hasil dari tani plasma dengan harga yang mereka tentukan secara sepihak karena menguasai tanah dan pabrik olahan; dan sebagian besar dari mereka bahkan telah menikmati keuntungan dari hasil perjualan kayu pada saat pembukaan kebun, bila berasal dari tanah hutan primer atau sekunder.
Para kaum tani plasma tidak memperoleh apapun kecuali penghisapan dan penindasan berlipat. Bahkan impian untuk memperoleh tanah dan penghidupan layakpun mulai lenyap dari kepala karena terus ditipu dan ditindas oleh para tuan tanah dan alat kekerasan dari negara.
Sistem pertanian perkebunan besar kelapa sawit ini juga melibatkan “tani bebas” yang tidak terikat sebagai plasma. Akan tetapi mereka sama sekali tidak memiliki kebebasan untuk berproduksi karena, seluruh input dan harga produknya ditentukan oleh tuan tanah besar dan juga kapital dari perbankan yang sama yang mengusai hasil produk tandan buah segar. Untuk “petani bebas perseorangan” macam ini, mereka harus memiliki tanah dan perkebunan sawit yang luas agar dapat meraih status “petani sedang.”
Keadaan ini tentu saja bertolak belakang secara keseluruhan dengan ambisi pemerintah dan para tuan tanah besar untuk terus mempertahankan sistem perkebunan besar ini, bahkan terus memperluas tanahnya tanpa memperdulikan nasib kaum tani dalam sistem perkebunan besar ini, dan kaum tani luas yang dirampas tanahnya untuk memenuhi ambisi ekspor non migas yang dipatok selangit. Imperialis dan Pemerintah RI tutup mata dan telinga pada kenyataan pahit yang dialami kaum tani, terusir dari tanah satu-satunya dan mencari tempat baru di hutan dan teusir pula oleh taman nasional dan perkebunan kayu yang disebut Hutan Tanaman Industri.
Saat ini perluasan perkebunan besar kelapa sawit memperoleh dukungan sangat kuat dengan adanya berbagai program “ekonomi hijau (green economy)” dunia di mana pemerintah RI menjadi pegiat utamanya untuk menyelamatkan imperialisme. Setelah sebelumnya mereka berhasil memperoleh legitimasi untuk melestarikan sistem perkebunan jahat ini melalui “sistem sertifikasi imperialis dan nasional mengenai perkebunan sawit berkelanjutan.” Melalui program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, kembali perkebunan kelapa sawit mempromosikan dirinya sendiri sebagai “pelestari lingkungan” setelah bertahun-tahun merusak hutan, lahan gambut dan menghancurkan tanah serta mengisap air dengan rakus hingga kering dengan sertifikasi Konservasi Bernilai Tinggi (High Conservation Value-HCV) bagi areal perkebunannya. Berikutnya, para tuan tanah besar tersebut dengan menggandeng berbagai konsultan dunia dan berkat dukungan penuh International Finance Coorporation (IFC) anak perusahaan Bank Dunia juga sedang memformulasikan dirinya sebagai perusahaan yang layak ambil bagian dalam “perdagangan karbon,” karena menganggap tanaman sawit dapat meyerap karbon yang dilepaskan dan menganggap dirinya telah melakukan “reboisasi” di lahan “kritis.”
Imperialisme dan para tuan tanah besar ini, tidak pernah kehabisan amunisi dan akal untuk memanipulasi tuntutan rakyat untuk menghapus perkebunan besar monopoli yang telah melahirkan berbagai bentuk penghisapan dan kekerasan yang mengerikan di pedesaan Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. “istilah kemitraan,” sistem perkebunan inti-plasma, program transmigrasi bahkan dengan tidak tahu malu disebutnya sebagai program “reforma agraria” dan mengabdi pada kepentingan nasional. Mereka dengan cerdik memanfaatkan kelemahan kapital kaum tani untuk berproduksi bebas dan tidak ketidakmampuan pemerintah RI menciptakan lahan pertanian luas menjadi lahan produktif di tangan kaum tani bebas perseorangan untuk dijadikan perkebunan besar kelapa sawit. Pemerintah melihat tawaran imperialis dan tuan tanah tersebut sebagai “jalan pintas” untuk lari dari tanggung jawab terhadap kaum tani bahkan bisa menggelembungkan kantong para kapitalis birokrat, “menggairahkan perbankan nasional” dengan adanya aliran dana investasi asing dan seterusnya.
Karenanya, tanpa kebangkitan kaum tani sendiri untuk bergerak dan berorganisasi, berbagai praktek perampasan dan monopoli tanah oleh perkebunan besar kelapa sawit ini tidak bakal berhenti begitu saja dengan sendirinya. Bahkan akan terus meluas dan menebarkan kemiskinan bagi petani plasma dan buruh tani serta tani kelapa sawit perseorangan yang harus tunduk pada kekuasaan monopoli imperialisme dan tuan tanah besar.
Berbagai kebijakan dan regulasi yang berkenaan dengan penyediaan tanah dan sistem budi daya, sistem keuangan dan perdagangan yang terhubung dengan kelapa sawit harus diubah. Berbagai kebijakan dan regulasi baru yang memberikan sokongan atas perluasan kelapa sawit termasuk upayanya memanipulasi isu perubahan iklim dan meloloskan dirinya sebagai perusak lingkungan nomor satu harus dihentikan.
Simpulan dan pokok-pokok pikiran ke 3
Kebijakan dan Regulasi Pertanahan Negara dan Pemerintah SBY
Mayoritas kaum tani pedesaan hidup dengan hanya mengandalkan tanah dan kapital yang sangat terbatas, sebagian dari mereka bahkan tidak bertanah, akan tetapi menampung dan menghidupi bagian terbesar dari angkatan kerja di pedesaan. Kaum tani yang masih memiliki tanah, pelan namun pasti, dipaksa oleh imperialis dan para tuan tanahnya untuk menyerahkan tanahnya baik secara langsung dan dengan kekerasan untuk pembangunan perkebunan besar, pertambangan besar maupun untuk pembangunan taman nasional dan infastruktur berkedok kepentingan nasional. Sebagian lainnya dipaksa meninggalkan tanahnya secara tidak langsung, karena seluruh kapital yang diperlukan untuk mengolah lahan dikuasai oleh imperialis dan para tuan tanah, demikian pula dengan harga hasil produknya. Kebijakan dan regulasi pemerintahan SBY mengabdi pada kepentingan imperialis dan para tuan tanah besarnya, termasuk kebijakan dan regulasi tanah dan kapital serta perdagangan input dan output pertanian.
Karena itu, tanah masih menjadi masalah utama kaum tani Indonesia, berikutnya kapital yang diperlukan oleh mengolah tanah pertaniannya. Sekalipun Indonesia memiliki lahan pertanian dan potensi lahan pertanian yang sangat luas, kaum tani dan rakyat secara keseluruhan selalu kekurangan makanan pokok dan tambahan yang sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Sistem pertanian terbelakang warisan sistem kolonial dan feodalisme sebelum abad-20 tetap dipertahankan di era kapitalisme monopoli sekarang. Lahan-lahan pertanian dipergunakan sedemikian pula untuk membangunan pekebunan tanaman komoditas seperti sawit, karet, kayu, tebu, tembakau untuk industri imperialis. Kebijakan dan regulasi negara menjamin dan melindungi keberlangsungan sistem perkebunan besar monopoli ini dengan berbagai cara di setiap pemerintahan. Tanah lainnya dialokasikan untuk pertambangan dan taman nasional dengan tujuan dan cara yang sama.
Pada saat krisis pangan di dunia mengemuka seperti saat ini, pemerintah SBY dengan sigap menjanjikan tanah dan insentif serta berbagai kemudahan bagi para investor asing agar “bersedia” mengembangkan tanaman pangan di Indonesia dengan kedok “keamanan pangan dunia.” Padahal hampir setiap hari di seluruh pelosok negeri, kaum tani menuntut lahan pertanian yang cukup dan bantuan kapital untuk dapat berproduksi. Akan tetapi tuntutan-tuntutan tersebut seperti angin lalu, tidak digubris, justru tanah dan kapital yang tersedia terus dirampas dan perlemah dengan berbagai cara.
Dengan dukungan pemerintah dan lembaga keuangan imperialis, para tuan tanah besar dengan mudah memperoleh konsesi tanah dan terus memperluas tanahnya. Perkebunan besar sawit, kayu dan karet seperti Sinar Mas Grup dan Wilmar serta perusahaan milik negara memperluas perkebunannya dengan sangat agresif bahkan sejak jatuhnya pemerintahan Suharto. Di tengah krisis imperialis sekarang, legitimasi konsolidasi dan ekspansi perkebunan-perkebunan besar monopoli tersebut mendapat dukungan penuh berlipat-lipat dari imperialis dengan ekspor kapitalnya dan “slogan palsu” penanganan iklim dan keamanan pangan. Pemerintah SBY menyambut dengan gempita berbagai “slogan palsu” tersebut dengan berbagai regulasi pertanahan, kehutanan, pertanian, perdagangan, keuangan dan perbankan untuk mendukung upaya tersebut.
Istilah “Reforma Agraria” telah diadaptasi oleh pemerintah RI sejak keluarnya TAP MPR No.XI/MPR/2001 dan untuk selanjutnya dimanipulasi sedemikian rupa sesuai dengan aspirasi dan selera imperialis dan para tuan tanah besar, dalam wakktu bersamaan istilah “reforma agraria” tersebut memiliki kekuatan untuk meredam tuntutan dan aspirasi sejati kaum tani.
Di bawah pemerintahan SBY, muslihat “reforma agraria” pemerintah tersebut mulai dimengerti dan dirasakan oleh kaum tani, dan meluapkan kemarahan di seluruh pelosok negeri. Berbagai program pertanahan SBY melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN) seperti “Larasita,” sebuah program administrasi dan sertifikasi tanah yang sangat terbatas, hanya dapat “mengilusi,” segelintir lembaga swadaya masyarakat dan aktivis-nya, akan tetapi sama sekali tidak dapat meredam kemarahan rakyat. Sebab dalam waktu bersamaan, pemerintahan SBY melalui departemen Kehutanan, Pertanian, Badan Koordinasi Penanaman Modal, Perdagangan dan Keuangannya bahkan TNI bersama-sama melakukan perampasan tanah dengan “legitimasi” Dewan Perwakilan Rakyat dan aparatur negara hingga kabupaten.
Kaum tani tidak dapat dimanipulasi lagi dengan berbagai paket program “reforma agraria palsu” pemerintah SBY. Aspirasi dan kepentingan sejati mayoritas kaum tani di pedesaan, nelayan dan suku bangsa minoritas di pedalaman adalah ditetapkannya Land Reform Sejati! Dengan seruan umum “tanah dan kapital untuk penggarap, tanah dan kapital untuk kaum tani dan rakyat,” bukan tanah untuk imperialis dan para tuan tanahnya.
1. Reforma agraria sejati akan membebaskan kaum tani yang terpaksa menyerahkan tanahnya sebagai “plasma” dalam perkebunan besar milik tuan tanah besar karena tidak memiliki kapital untuk menanam sendiri dan dipaksa oleh pemerintah dan sistem perbankannya untuk untuk tunduk pada mekanisme kapital dan pasar yang dikuasai oleh imperialis dan para tuan tanahnya.
2. Reforma agraria sejati adalah memperjuangkan pengembalikan tanah kaum tani yang telah dirampas oleh kolonial Belanda dan Jepang serta para kesultanan islam di masa lampau, oleh imperialis dan para tuan tanah di era pemerintah Suharto dan pemerintahan-pemerintahan berikutnya; menyediakan tanah yang cukup bagi kaum tani yang mengerjakan tanah secara langsung atau para penggarap, menyediakan kapital dan berbagai peralatan untuk berproduksi dan menjamin tersedianya seluruh input dan harga out-put pertanian.
3. Reforma agraria sejati adalah memperjuangkan pengembalian tanah-tanah milik suku bangsa minoritas kembali ke tangan mereka dari tangan taman nasional, tambang besar dan perkebunan besar. Dan membiarkan mereka menentukan dan mengatur pemanfaatan tanahnya sendiri secara bebas tanpa penghisapan dan paksaan dari siapapun. Pemerintah menjamin tersedianya berbagai bantuan agar mereka dapat berproduksi secara leluasa dan bebas sehingga dapat mengurus dirinya sendiri secara otonom dan memajukan kebudayaannya. Berbagai bentuk diskriminasi, penghinaan dan komersialisasi terhadap suku bangsa minoritas harus dihentikan.
4. Reforma agraria sejati adalah memperjuangkan tanah-tanah di pesisiran milik nelayan kecil dan menengah dikembalikan, dari tangan-tangan pemilik tambak besar monopoli. (Kapital) baik uang maupun alat tangkap bagi nelayan harus dijamin, demikian pula dengan harga ikan dan hasil budi daya lainnya.
5. Reforma agraria sejati adalah memperjuangkan penguasaan tanah bagi pemukim dan penggarap di hutan, mereka adalah korban perampasan tanah oleh perkebunan besar monopoli hingga masuk ke hutan dan membuka ladang dan perkebunan berskala kecil. Tanah mereka tidak boleh dirampas dan diusir demi mempertahankan taman nasional atau taman hutan raya. Pemerintah harus menjamin tersedianya kapital yang cukup, pengetahuan dan teknologi bertani bagi mereka.
Seluruh kebijakan dan regulasi yang memperkenankan monopoli tanah dan perampasan tanah oleh perkebunan besar, tambang besar dan taman nasional harus dihapuskan dan ditinjau ulang dengan instruksi atau dekrit presiden RI termasuk berbagai tindakan kekerasan yang mengikutinya.
Seluruh kaum tani, nelayan, para pemukim dan penggarap dihutan dan suku bangsa minoritas harus bangkit, bergerak dan berorganisasi dari desa-desa hingga tingkat nasional karena hanya dengan jalan itulah landreform sejati ini dapat diwujudkan. Imperialisme, para tuan tanah besar dan pengusaha besar yang menjadi kaki tangannya tidak akan bersedia melepaskan kekuasaan monopoli tanahnya begitu saja. Juga mereka tidak bersedia melepaskan berbagai praktek penghisapan feodal dengan sukarela.
AGRA sebagai serikat tani militan berpihak tanpa ragu sedikitpun pada perjuangan landreform sejati ini, dan mempersiapkan dirinya agar dapat mengkoordinasikan perjuangan anti-landreform palsu dan menuntut land reform sejati ini dari waktu ke waktu hingga menang. Persatuan dengan kaum buruh akan membuat perjuangan ini tidak kehilangan kesejatiannya hingga menang. Persatuan dengan pemuda, perempuan, mahasiswa dan berbagai lapisan pengusaha kecil dan menengah nasional harus diusahakan sekuat tenaga dan bahu-membahu agar perjuangan ini menjadi lebih mudah dan dapat berguna bagi bangsa dan mayoritas rakyat Indonesia.
Halo Semua, nama saya Jane alice seorang wanita dari Indonesia, dan saya bekerja dengan kompensasi Asia yang bersatu, dengan cepat saya ingin menggunakan media ini untuk mengingatkan semua orang Indonesia yang mencari pinjaman Internet agar berhati-hati agar tidak jatuh ke tangan penipu dan fraudstars banyak kreditur kredit palsu ada di sini di internet dan ada juga yang asli dan nyata,
BalasHapusSaya ingin membagikan testimonial tentang bagaimana Tuhan menuntun saya kepada pemberi pinjaman sebenarnya dan dana pinjaman Real telah mengubah hidup saya dari rumput menjadi Grace, setelah saya tertipu oleh beberapa kreditor kredit di internet, saya kehilangan banyak uang untuk membayar pendaftaran. biaya. . , Biaya garansi, dan setelah pembayaran saya masih belurrm mendapat pinjaman saya.
Setelah berbulan-bulan berusaha mendapatkan pinjaman di internet dan jumlah uang yang dihabiskan tanpa mendapat pinjamran dari perusahaan mereka, maka saya menjadi sangat putus asa untuk mendapatkan pinjaman dari kreditor kredit genue online yang tidak akan meningkatkan rasa sakit saya jadi saya memutuskan untuk Hubungi teman saya yang mendapatkan pinjaman onlinenya sendiri, kami mendiskusikan kesimpulan kami mengenai masalah ini dan dia bercerita tentang seorang pria bernama Mr. Dangote yang adalah CEO Dangote Loan Company.
Jadi saya mengajukan pinjaman sebesar (Rp400.000.000) dengan tingkat bunga 2% rendah, tidak peduli berapa usiaku, karena saya mengatakan kepadanya apa yang saya inginkan adalah membangun bisnis saya dan pinjaman saya mudah disetujui. Tidak ada tekanan dan semua persiapan yang dilakukan dengan transfer kredit dan dalam waktu kurang dari 24 jam setelah mendapatkan sertifikat yang diminta dikembalikan, maka uang pinjaman saya disimpan ke rekening bank saya dan mimpiku menjadi kenyataan. Jadi saya ingin saran semua orang segera melamar kepada Mr. Dangote Loan Company Via email (dangotegrouploandepartment@gmail.com) dan Anda juga bisa bertanya kepada Rhoda (ladyrhodaeny@gmail.com) dan Mr. jude (judeelnino@gmail.com) dan Juga Pak Nikky (nicksonchristian342@gmail.com) untuk pertanyaan lebih lanjut
Anda juga bisa menghubungi saya melalui email di ladyjanealice@gmail.com
BalasHapusSaya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut